NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Tiga

***

Serena melangkah ke kantor dengan napas yang lebih ringan. Matanya masih sedikit sembab karena belum sepenuhnya lepas dari rasa cemas akan kehidupan barunya, tapi ada semangat baru yang menyelinap dalam langkah-langkahnya. Ia kini punya tempat pulang yang benar-benar miliknya.

Saat memasuki gedung kantor, aroma kopi pagi dan suara pintu lift yang terbuka menyambut seperti biasa. Tapi ada yang berbeda dalam dirinya. Serena tak lagi terbebani oleh bayang-bayang bentakan pagi dari Bibi Nani atau ejekan dari Vina. Pagi ini, dia merasa utuh.

"Pagi, Serena!" sapaan ceria itu datang dari Hafiz yang sedang berjalan menuju pantry.

Serena tersenyum lebih lebar dari biasanya. "Pagi, Mas Hafiz.”

Hafiz melirik wajah Serena, sedikit terkejut dengan pancaran ketenangan yang baru ia lihat. "Kamu kelihatan beda. Lebih... santai."

Serena mengangkat alis, geli. "Beda ya? Mungkin karena kemarin aku pindahan."

Hafiz tersenyum, “Maaf ya waktu itu aku dengar teriakannya Bibi kamu, mau bantu tapi aku takut memperunyam. Tapi sekarang aku merasa lega pas kamu bilang sudah pindah dari rumah itu.” 

Serena hanya tersenyum, Malu sebenarnya karena di dengar oleh orang baru. Mungkin kalau waktu itu Hafiz tidak mengantarkan nya pulang, pasti sampai sekarang Hafiz tidak akan tahu soal kejadian itu. 

.

Hari itu berjalan dengan ritme yang lebih nyaman. Serena kembali duduk di mejanya, menyusun laporan, membalas email, dan menyiapkan data presentasi seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak merasa seperti sedang menanggung beban dunia. Ia bekerja dengan ringan, dan bahkan sempat tertawa kecil saat makan siang bersama dua rekan kerjanya yang biasanya hanya ia sapa singkat.

Saat jam istirahat tiba, Serena sedang duduk sendiri di sudut kantin kantor, menikmati nasi goreng dan es teh manis. Tempat itu cukup ramai, tapi Serena memilih kursi dekat jendela yang menghadap ke taman kecil.

Tak lama, Hariz muncul sambil membawa nampan berisi soto ayam dan air mineral. Ia melirik kursi kosong di hadapan Serena. "Boleh temenin?"

"Tentu," jawab Serena sambil tersenyum.

Mereka makan dalam keheningan sejenak, tapi suasana tidak canggung. Justru ada rasa tenang yang menyelimuti. Setelah beberapa suapan, Hafiz berkata, "Kamu tahu? Waktu kamu nggak masuk dua kemarin, kantor rasanya... beda."

Serena terdiam, tak menyangka akan mendengar itu.

"Aku cuma... terbiasa lihat kamu tiap hari di sini. Nggak tahu kenapa, tapi keberadaanmu bikin suasana lebih... seimbang," lanjut Hafiz sambil tersenyum ringan.

Serena menunduk sedikit, menahan senyum. "Terima kasih. Aku juga senang bisa kembali ke sini."

"Kalau butuh bantuan atau sekadar teman ngobrol, kamu tahu ke mana nyarinya, kan?"

Serena mengangguk. "Aku ingat."

Jam istirahat itu berlalu lebih hangat dari biasanya. Ada percakapan ringan, gurauan kecil, dan tawa yang pelan. Dan saat mereka kembali ke meja kerja masing-masing, Serena tahu: hari-hari ke depan mungkin masih penuh tantangan, tapi kini ia tidak lagi benar-benar sendiri.

.

Saat jam pulang tiba, kantor mulai sepi. Serena merapikan mejanya dan menyampirkan tas di bahu. Saat itulah Hafiz menghampiri.

"Serena, kamu pulang naik apa? Kalau kamu belum pesan apa-apa, aku bisa anterin. Sekalian lewat juga," tawar Hafiz, suaranya hangat seperti biasa.

Serena tersenyum, lalu mengangkat layar ponselnya. "Makasih banyak, Mas. Tapi aku udah pesan ojol barusan. Tinggal beberapa menit lagi sampai."

Hafiz mengangguk, walau ada sedikit kekecewaan yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. "Oke, hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Mas. Terima kasih. Sampai besok."

Serena melangkah keluar gedung dengan perasaan damai. Ia menatap jalanan yang mulai dipenuhi lampu kendaraan, lalu menoleh sebentar ke belakang. Hafiz masih berdiri di lobi, melambaikan tangan sebelum akhirnya berbalik.

Hari ini... benar-benar hari yang baik, pikir Serena. Dan ia tahu, ini baru permulaan.

Dalam perjalanan pulang, Serena meminta ojol berhenti di sebuah minimarket yang berada di persimpangan sebelum kontrakannya. Ia ingin membeli sabun mandi, lampu kecil, dan beberapa kebutuhan harian.

Namun, saat baru melangkah menuju pintu masuk, matanya secara tidak sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. Vina.

Sepupunya itu sedang berdiri di bagian rak makanan ringan bersama seorang pria yang terlihat lebih dewasa—berpenampilan rapi, memakai kemeja biru dan celana panjang gelap. Mereka tampak berbicara akrab, bahkan tertawa kecil.

Serena sontak mundur setengah langkah dan bersembunyi di balik papan promosi minuman. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak menyangka akan melihat Vina di sana, apalagi bersama seorang pria.

Tanpa pikir panjang, Serena memutar arah. Belanja bisa ditunda. Ia tak ingin berurusan dengan drama atau tatapan sinis Vina malam ini. Ia memilih berjalan kaki pelan ke arah kontrakan, menatap lampu jalanan sambil mengatur napas.

"Sudah cukup kejutan untuk satu hari," gumamnya lirih.

*

Sementara itu, di tempat lain, Hafiz baru saja sampai di apartemennya. Ia membuka pintu dan menemukan dua sosok yang sudah akrab menunggunya di ruang tamu.

"Akhirnya pulang juga kamu, Nak," suara lembut tapi tegas itu milik Farhana, ibunya.

Di sampingnya duduk sang ayah, Fadlan, yang sejak tadi hanya memperhatikan Arga dengan pandangan penuh makna.

Hafiz menggantung jasnya di dekat pintu dan berjalan mendekat. "Iya, Ma, Pa. Maaf baru bisa pulang malam. Ada kerjaan lembur sedikit."

Fadlan menyilangkan tangan di dada. "Kerjaan di kantor Om kamu itu, ya? Sudah berapa lama kamu di sana, Fiz? Dua tahun?"

hafiz mengangguk, duduk di hadapan mereka. "Kurang lebih, Pa."

Farhana menyahut, "Mama dan Papa bukan nggak suka kamu kerja di sana. Tapi sampai kapan kamu mau terus di posisi itu? Kamu tahu, perusahaan kita juga butuh penerus."

Fadlan menatap anaknya dalam-dalam. "Kamu satu-satunya pewaris, Hafiz. Perusahaan keluarga ini dibangun dari nol oleh kakekmu, dan kami berharap kamu yang melanjutkannya."

Hafiz menghela napas panjang. "Aku tahu, Pa, Ma. Tapi aku belum siap. Aku ingin belajar lebih dulu, dan kerja di tempat Om buat aku belajar banyak hal... termasuk gimana rasanya jadi orang biasa."

Farhana tersenyum tipis. "Mama ngerti. Tapi jangan terlalu lama. Kamu punya tanggung jawab lebih besar dari yang kamu sadari."

Hafiz  mengangguk pelan. Malam itu, pikirannya tidak hanya dipenuhi soal pekerjaan—tapi juga tentang seseorang di kantor yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong di hatinya.

Serena.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!