Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.
Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
unwavering determination
“Hey, Ar... itu dia Saturn, ya?” tanya Dina, tatapannya tertuju pada pria bertubuh raksasa yang berdiri beberapa meter dari mereka.
“Mungkin,” jawab Arya santai. “Gamma hanya bilang dia orang otak-otot, tapi nggak nyebutin ciri-cirinya.”
“Lihat badannya... dua meter? Atau dua setengah?”
“Dua koma tiga meter,” sahut Arya cepat, tanpa mengalihkan pandangan.
Pria itu memang mencolok. Bertubuh kekar, tinggi menjulang, berambut cokelat pendek, dengan aura arogan yang terpancar dari setiap geraknya.
Saturn menoleh dengan suara berat. “Kalian sedang membicarakanku?”
“Tidak ada apa-apa, Pak,” jawab Arya dengan anggukan kecil.
“Kalau begitu, bisa kita mulai?”
“Silakan.” Arya menarik pistol dari balik mantelnya. Ia menoleh pada Dina. “Minggirlah. Seperti katamu... biar aku saja yang hadapi.”
Dina mengangguk. “Semoga beruntung.”
“Hanya kau sendiri?” Saturn tertawa kasar. “Kalian meremehkanku?”
“Maaf, aku tidak pernah meremehkan lawanku,” balas Arya tenang. “Tapi kurasa... aku sudah cukup.”
“Bocah tengik!”
Dengan raungan marah, Saturn menerjang ke depan. Tubuhnya besar, tapi gerakannya cepat. Namun Arya dengan ringan melangkah ke samping, menghindar tanpa mengaktifkan sihir.
“Woo, kurang cepat, Pak!” cibirnya ringan.
Saturn mendengus, lalu menerjang lagi.
(Dia mengulangi gerakan yang sama? Apa dia sebodoh itu?) pikir Arya dalam hati.
Sekali lagi, ia menghindar dengan mudah. Lalu, dengan cepat mengarahkan pistol.
“Dor!”
Peluru melesat, tapi hanya memantul di kulit Saturn yang keras.
“Tidak mempan, Nak!” ejek Saturn, tertawa penuh percaya diri.
(Dia percaya diri dengan tubuhnya, ya?) Arya meringis. “Kalau begitu... coba ini. Ice Shot! Fire Shot!”
Kedua pistolnya menyala, masing-masing menembakkan lima peluru sihir dingin dan panas. Saturn terdorong ke belakang, tapi efeknya masih belum cukup signifikan.
“Bocah kurang ajar!” geram Saturn. “Earth Golem!”
Tanah di bawah mereka berguncang dan membentuk sosok besar dari tanah.
Arya tersenyum. “Nah, ini baru menarik. Swap!”
Tubuhnya berpindah-pindah cepat di berbagai arah. “Ice Shot! Fire Shot!”
Dalam hitungan detik, golem itu runtuh menjadi debu.
“Apa?!” Saturn terkejut. “Kau... menghancurkan golemku?”
“Aku pernah melawan makhluk yang lebih mengerikan dari golem tanahmu.”
Saturn meraung, mengaktifkan banyak sihir sekaligus. “Earth Golem! Earth Golem! Earth Golem! Earth Golem! Earth Golem! Sand Storm! Sand Suction! Earth Lancer!”
Tanah berubah menjadi badai pasir, lalu menyedot segalanya ke tengah sebelum melemparkan tombak tanah padat ke arah Arya.
“Swap! Swap! Blazing Bullet! Frostbite Bullet!”
Peluru sihir berkekuatan tinggi menghancurkan segalanya, menembus pertahanan dan tubuh Saturn.
“Aargh! Apa-apaan ini?! Kenapa tubuhku bisa terluka?!”
“Otak-otot sepertimu tak sadar kelemahan sendiri,” ujar Arya. “Seperti semut yang bisa menggigit gajah sampai mati.”
“Beraninya kau!” Saturn menghantam tanah. “Tectonic Rage!”
Getaran keras merambat seperti gempa.
“Woah! Kenapa jadi gempa? Swap! Swap!”
“Terra Burst!”
Ledakan tanah meletup ke atas, menyerang posisi Arya.
“Hoo... ternyata bisa pakai taktik juga,” gumam Arya.
“Boulder Storm! Earth Fist!”
Arya menghindar lalu melompat tinggi. “Swap! Blazing Bullet! Frostbite Bullet!”
Serangan kombinasi itu mengenai Saturn dari atas, membakar dan membekukannya sekaligus.
Saturn menjerit, namun tidak menyerah.
“Earth Meteor!”
Sebuah bongkahan tanah raksasa muncul di langit.
“Apa itu?! Gede banget!” Arya melompat, “Swap!” Ia menarik katana. “Strength! Fire Slash!”
Sabetan pedang menyala membelah meteor di udara, lalu meluncur lagi ke arah Saturn. “Fire Slash!”
Tubuh Saturn terbelah, namun ia masih berdiri.
“Kenapa dia sekuat itu?! Sialan!” geram Saturn.
“Masih hidup?” Arya mengernyit. (Gigih sekali orang ini...)
“Earth Meteor! Earth Meteor! Earth Meteor!” jerit Saturn. “AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MENGGANGGU RAJAKU!”
Tiga meteor tanah muncul bersamaan.
“Ar!” seru Dina panik. “Hancurkan itu lagi! Kita bisa tertimpa!”
“Sialan...! Fire Slash! Fire Slash! Fire Slash!”
Tiga meteor hancur. Arya mengangkat pistol.
“Blazing Bullet! Frostbite Bullet!”
Kedua peluru menembus tubuh Saturn. Sebagian tubuhnya terbakar, sebagian membeku... namun tetap, dia berdiri.
Darah menetes dari bibir Saturn. “Sialan...” Air matanya menetes. “Maafkan aku... Rajaku... Aku... gagal...”
Ia jatuh. Diam.
Arya menatap tubuh raksasa itu, terdiam. (Kenapa dia segigih itu? Apa artinya setia kepada raja sebusuk itu?)
Di tempat lain, di dalam istana...
Sekius, sang Raja, menyusun pion catur di hadapannya. “Jadi, Saturn yang gugur kali ini.”
Noctis berdiri dalam diam di belakangnya.
Dina menghampiri Arya. “Hei, kamu baik-baik saja?”
“Aku tak apa-apa. Tapi... aku tak bisa berhenti memikirkan sesuatu.”
“Apa itu?”
“Saturn... Dia bertarung dengan kegigihan luar biasa. Meski tubuhnya terbelah, terbakar, dan beku, dia tetap tak mundur. Kalimat terakhirnya pun... penuh penyesalan kepada rajanya.”
Dina mengangguk perlahan. “Ya, aku juga merasa aneh. Tapi... kenapa kamu pikirkan sampai sejauh itu?”
“Tentu kupikirkan. Apa istimewanya raja itu? Baginya ini bukan hanya perintah. Seolah ini... permainan.”
“Permainan?”
“Dia bilang, ‘maafkan aku, rajaku’. Itu berarti dia sedang menjalankan misi. Dan dia percaya diri bisa membunuh kita. Bahkan di ambang kematian pun dia hanya menyesal karena gagal, bukan takut mati.”
“Ya juga sih...” gumam Dina. (Aku benar-benar tak paham jalan pikiranmu.)
“Aku menyesal telah meremehkannya,” ujar Arya pelan.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Sekarang kita mau ke mana?”
“Aku mau melakukan sesuatu dulu.”
“Apa?”
“Aku ingin menguburkannya. Layak.”
Dina menatapnya heran. “Kenapa?”
“Sesama pria yang punya tekad... harus saling menghargai.”
Arya mengumpulkan sisa tubuh Saturn dan menguburkannya dengan tenang.
Meski mungkin tak banyak, tapi itu satu bentuk penghormatan terhadap tekad seorang lawan.
“Baiklah, kita pergi sekarang. Ayo, Dina.”
“Y–ya... (Aku benar-benar nggak ngerti).”
Arya menatap ke kejauhan. “Setelah kita bunuh penguasa kota Zerio, kita akan menuju ibu kota... Sisa Seven Eclipse tinggal empat orang lagi.”
“Di mana kita akan bertarung?”
“Kalau bisa di hutan, itu lokasi ideal. Tapi kalau mereka muncul di kota, kita harus cari cara.”
“Di kota, aku tidak bisa bertarung leluasa... terlalu banyak orang.”
“Aku juga,” ujar Arya. “Hei, Dina. Berdirilah di sana. Sekitar sepuluh meter dari sini.”
“Kenapa?”
“Aku mau uji coba teleportasi. Apakah bisa memindahkan orang lain dalam jarak sepuluh meter.”
“Untuk... memindahkan lawan?”
“Tepat sekali. Kalau bertemu di kota, kuharap bisa memindahkan mereka ke hutan.”
“Sudah sepuluh meter nih.”
“Baiklah. Teleportasi!”
Cahaya menyelimuti Dina.
“Woah! Di mana ini?!”
“Di hutan Azura,” jawab Arya, tersenyum. “Berarti berhasil, ya?”
“Hm?” Sebuah suara berat terdengar.
Seekor naga muncul dari balik semak. “Kenapa kalian kembali?”
“Tuan Noctarion!” Arya dan Dina serempak.
“Oh, itu kalian.”
“Aku sedang menguji teleportasi, Tuan. Apakah bisa memindahkan orang lain dalam radius sepuluh meter.”
“Teleportasi? Bukankah radiusnya lima puluh meter?” tanya Noctarion heran.
“Lima puluh?!”
“Bukannya itu terlalu luas?” gumam Dina.
“Memang. Tapi ada risikonya.”
“Risiko?”
“Jika makhluk hidup yang dipindahkan tidak bisa menggunakan sihir, maka tubuhnya akan hancur.”
“Apa?!” Dina terperanjat. “Hei Ar! Kau hampir membunuhku!”
“Tenang! Kau kan pengguna sihir. Yang mati cuma makhluk biasa.”
“Kalau Gamma bagaimana?” tanya Dina. “Dia cuma bisa menyalurkan sihir ke benangnya.”
Noctarion mengangguk. “Masih tergolong pengguna sihir. Selama bisa menyalurkan energi, aman.”
“Terima kasih, Tuan Noctarion,” ujar Arya.
“Ya, terima kasih banyak,” sambung Dina.
“Bagaimana dengan hutan ini?” tanya Arya.
“Sangat nyaman. Suhunya cocok, dan tak ada yang menyerang.”
“Hahaha, syukurlah. Kalau begitu kami pamit dulu, Tuan.”
“Ya, sampai jumpa.”
“Teleportasi!”
Cahaya menghilang.
Noctarion mendesah pelan. “Saatnya tidur lagi...”
Di ruangan Seven Eclipse...
Noctis berdiri memandangi papan bidak.
“Saturn sudah mati. Jadi... siapa yang akan maju kali ini?”
Venus tersenyum dingin. “Si otak-otot itu mati juga, ya. Malang sekali.”
Jupiter berdiri. “Aku yang akan melawannya.”
Mercury tetap diam. Dan jauh di sudut ruangan, Gamma mengepalkan tangan dalam diam.
(Sudah kuduga... Kakak memang hebat.)