Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
candaan di pagi hari
Di rumah keluarga Alegria, pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari menyusup lembut lewat jendela besar ruang makan, menyinari meja yang sudah penuh dengan hidangan lezat buatan Mama Cintya. Tawa kecil terdengar dari Papa Bram dan ketiga kakak Alethea—Ares, Aryan, dan Arvel—yang sudah duduk rapi di meja. Tapi, masih ada yang kurang.
Sang putri kecil keluarga, Alethea, belum terlihat. Tanpa kehadirannya, pagi belum terasa lengkap.
Papa Bram (tersenyum sambil menyesap kopi):
"Sepertinya istana belum lengkap tanpa sang putri turun dari menaranya, ya?"
Aryan (dengan nada usil):
"Aku yakin dia masih memilih baju buat sarapan."
Ares (berteriak lembut ke lantai atas):
"Aletheaaa! Princess, rakyatmu sudah menanti!"
Arvel (mengangkat sendok seperti tongkat kerajaan):
"Atas nama kerajaan Alegria, kami meminta sang putri untuk turun dan menyantap hidangan kerajaan bersama kami!"
Mama Cintya (tersenyum sambil menata piring):
"Alethea sayang, sarapanmu bisa dingin, lho..."
Tak lama kemudian, terdengar langkah kecil dari tangga. Dengan piyama lucu dan rambut dikuncir dua, Alethea muncul sambil menguap kecil.
Alethea (dengan suara manja):
"Aku datang, rakyatku... tapi boleh nggak aku duduk di samping Papa?"
Papa Bram (membuka tangan lebar-lebar):
"Tentu saja, Princess. Singgasana ini hanya untukmu."
Alethea tersenyum lebar mendengar gurauan pagi dari keluarga tercintanya. Tawa kecil keluar dari bibir mungilnya saat ia menuruni tangga dan berlari kecil menuju meja makan. Ia langsung duduk di sebelah Papa Bram, yang menyambutnya dengan pelukan hangat, dan diapit oleh kakak sulungnya, Ares, yang dengan lembut mengacak rambutnya.
Suasana pagi itu begitu cerah—penuh tawa, aroma makanan, dan cinta yang tak kasat mata. Tapi perlahan, semua menjadi hening ketika Alethea, sambil memotong rotinya perlahan, membuka suara dengan nada lembut.
Alethea (pelan):
"Pa... Ma... Aku mau nanya. Kapan aku mulai sekolah lagi?"
Sendok dan garpu yang semula berdenting pelan di atas piring kini terdiam. Semua mata memandang ke arah Alethea. Tak ada yang langsung menjawab. Wajah-wajah yang tadi ceria kini berubah menjadi penuh perhatian—bukan karena pertanyaan itu mengejutkan, tapi karena mereka tahu, bagi Alethea, sekolah bukan sekadar tempat belajar. Itu dunia yang dulu sempat ia tinggalkan.
Ares (lembut, menoleh ke arah adiknya):
"Kamu pengin balik secepatnya, Thea?"
Alethea (mengangguk perlahan):
"Iya... aku kangen teman-teman. Tapi juga... agak takut."
Mama Cintya (mengelus punggung Alethea):
"Itu wajar, sayang. Tapi kamu nggak sendiri. Kita semua di sini buat nemenin kamu."
Papa Bram (tersenyum hangat):
"Kapan pun kamu siap, kita akan dukung. Kamu kuat, princes. Dan sekolah... akan jadi petualangan baru buat kamu."
Setelah keheningan sejenak, percakapan mulai mengalir lagi di meja makan. Kali ini, lebih tenang, lebih serius, tapi tetap hangat. Semua mata tertuju pada Alethea—sang putri kecil yang mereka sayangi sepenuh hati.
Papa Bram (menatap Alethea lembut):
"princes, kamu tahu kan… kamu boleh sekolah, tapi dengan satu syarat."
Alethea (penasaran):
"Apa, Pa?"
Papa Bram:
"Kamu nggak boleh capek-capek Kalau udah mulai lelah, kamu harus istirahat. Nggak boleh maksain diri, ya?"
Mama Cintya (menimpali sambil menaruh segelas susu di depan Alethea):
"Kesehatan kamu nomor satu, sayang. Pelan-pelan aja. Nggak usah kejar-kejaran sama yang lain."
Aryan (dengan nada menggoda):
"Jangan khawatir, kita bisa kasih kamu sepatu roda biar nggak capek jalan!"
Semua tertawa kecil, kecuali Arvel yang tampak berpikir serius.
Papa Bram (beralih ke Arvel):
"Arvel, Papa mau minta tolong sama kamu."
Arvel (langsung duduk lebih tegak):
"Apa, Pa?"
Papa Bram:
"Kamu anak kelas tiga di SMA itu. Papa titip adik kamu selama di sekolah. Jagain dia baik-baik, pastiin dia nggak kelelahan, dan selalu temani kalau dia butuh sesuatu."
Arvel (mengangguk cepat, matanya mantap):
"Iya, Pa. Aku janji bakal jagain Thea. Nggak akan aku tinggal sendirian."
Alethea (tersenyum lebar, menoleh ke Arvel):
"Makasih, Kak. Tapi aku juga bisa jaga diri kok."
Arvel (tersenyum balik):
"Aku tahu. Tapi tugas kakak kan tetap jagain adik, walaupun adiknya hebat."
Ares (bercanda):
"Cieee, jadi bodyguard sekarang!"
Aryan:
"Harus beli jas hitam dan kacamata item tuh, Vel."
Tawa kembali memenuhi meja makan. Tapi di balik gurauan itu, tersimpan rasa saling menjaga yang begitu dalam. Keluarga Alegria tak hanya menyayangi Alethea, mereka melindunginya, bersama-sama. Dan pagi itu, mereka semua tahu, perjalanan Alethea kembali ke sekolah akan jadi babak baru—yang akan mereka lalui bersama.
Hari demi hari berlalu, dan keluarga Alegria mulai membantu Alethea bersiap untuk kembali ke sekolah. Setiap anggota keluarga punya peran masing-masing—semua ingin sang putri kecil kembali dengan percaya diri dan senyum ceria.
Di kamar Alethea, malam sebelum sekolah dimulai...
Mama Cintya (membuka lemari sambil memegang seragam):
"Seragam kamu masih muat, Thea. Tapi Mama beliin yang baru juga, biar kamu makin semangat."
Alethea (duduk di tempat tidur, tersenyum):
"Makasi, Ma. Rasanya deg-degan... tapi juga excited."
Mama Cintya (membelai rambutnya):
"Itu wajar, sayang. Semua anak pernah merasa begitu. Yang penting kamu percaya, kamu bisa."
Sementara itu, di ruang keluarga, Papa Bram sedang berbicara dengan ketiga putranya.
Papa Bram:
"Ares, Aryan, Arvel… besok pagi kita berangkat bareng. papa mau kalian semua ada buat Alethea, biar dia ngerasa didukung."
Ares (mengangguk):
"Tentu, Pa. Aku bahkan bisa bantu antar sampai kelasnya."
Aryan (bersemangat):
"Dan aku siap bikin jokes receh sepanjang jalan biar dia nggak tegang."
Arvel (tersenyum tenang):
"Aku yang bakal jagain di sekolah. Nggak akan jauh dari dia."
Papa Bram (tersenyum puas):
"Papa bangga sama kalian."
Matahari menyambut lebih cerah dari biasanya. Meja makan penuh dengan sarapan bergizi. Alethea duduk dengan rambut dikuncir rapi, seragam putih abu yang baru, dan ransel yang nyaris lebih besar dari tubuhnya. Matanya bersinar.
Alethea (berbisik pelan):
"Aku siap..."
Mama Cintya (memeluknya erat):
"Kamu luar biasa, sayang. Jalanin hari ini dengan senyum, ya?"
Papa Bram (memberi high-five):
"Putri Alegria siap menaklukkan dunia!"
" siap dong pa , aku pasti bisa semangat !!!!... Ucap alethea dengan penuh semangat
Dengan langkah kecil tapi penuh keberanian, Alethea keluar dari rumah bersama keluarganya. Mobil keluarga melaju pelan menuju sekolah, penuh tawa dan semangat. Hari itu bukan sekadar hari pertama sekolah. Itu adalah awal dari babak baru kehidupan Alethea—dan cinta keluarganya akan selalu menjadi sayap di belakangnya.
alethea merasa beruntung mempunyai keluarga yang hangat sama seperti di kehidupan lalu nya , tak tersadar ia pun menangis melihat semua keluarga yang mengantarkan nya ke sekolah di hari pertama masuk sekolah ,
" sayang nya mama kenapa nangis hmm" ??
ucap mama Cintya sembari menghapus air mata anak nya.
papa dan ketiga kakak nya pun langsung menoleh kearah nya melihat apa yang di katakan istri dan ibu mereka ,
" hey princes nya papa kamu kenapa nak ??" apa ada yang sakit ?? Kalau begitu jangan pergi sekolah kita kerumah sakit aja ya ??"" ucap papa Bram dengan penuh ke khawatiran
ketiga kakak nya pun tak kalah panik melihat adik nya yang menangis ,
Tapi Dengan lembut alethea berkata bahwa dirinya baik-baik saja dan tak perlu kerumah sakit , " aku ga papa kok ma ,pa ,kak , aku hanya terharu kalian semua begitu sayang dan perhatian padaku , aku merasa beruntung bisa ada di tengah-tengah kalian semua"...
lirih alethea pelan.
Tpi saya mw sedikit berkomentar, saya membaca novel kk karna tertarik membaca sinopsisnya.
Tapi menurut saya, percakapan ringannya terlalu banyak, membuat pembaca cepat bosan. Coba kakak kurangi percakapan2nya, tpi lebih menggambarkannya aja dan alur konfliknya buat lebih dalam kata2nya.
Terus penggambaran tokohnya agak kurang menjalankan perannya. seperti papa bram( kaya, hebat, punya banyak pengawal) tpi knapa anaknya kurang terjaga, gk ada pengawal yg memantauan dari dekat/jauh.
Arvel ( berjanji mau jaga adeknya di sekolah) tpi gk tw adek tersesat, pergi menyelatkan Aliando.
Gitu aja sih thor, semoga kedepannya lebih bagus, dan mohon jangan tersinggung dengan komentar saya.😊