NovelToon NovelToon
Suami Hyper Anak SMA

Suami Hyper Anak SMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Teen Angst / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Raey Luma

"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kompres

Taksi berhenti tepat di depan rumah saat langit sudah benar-benar gelap.

Davin turun pelan. Lampu teras menyala.

Leora berdiri di ambang pintu.

Begitu melihat Davin, ekspresinya berubahlega, tapi masih menyisakan cemas.

“Lo udah makan di sekolah?” tanyanya, nada dibuat biasa.

“Udah,” jawab Davin singkat. Bohong kecil yang tidak ingin ia perpanjang.

Leora menatapnya lama, lalu mengangguk. “Masuk. Mandi dulu. Terus tidur.”

Tidak ada debat.

Itu justru yang membuat Davin merasa ditenangkan.

Malam berjalan lebih sunyi dari biasanya.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Davin berbaring di ranjang. Leora sudah lebih dulu di sana, membelakangi, selimut ditarik sampai bahu. Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi dengan jarak tipis yang masih tersisa.

“Vin,” suara Leora pelan, memecah hening.

“Hm?”

“Besok babak final, ya?”

“Iya.”

Hening lagi.

Davin menatap langit-langit. “Gue pengen turnamen cepet kelar.”

Leora tidak menjawab. Ia hanya menghela napas kecil.

Lalu—

KRAK.

Suara keras dari arah belakang rumah.

Leora langsung menegang. Tubuhnya kaku.

“…Lo denger?” bisiknya.

“Iya,” jawab Davin cepat.

KRAK.

Seperti sesuatu menginjak ranting. Terlalu jelas untuk disebut angin.

Jantung Leora berdetak cepat. Tangannya langsung meraih ujung selimut.

“Jangan keluar,” katanya panik. “Vin—”

“Gue cek bentar,” potong Davin pelan tapi tegas. Ia sudah bangkit dari ranjang.

Leora duduk setengah. “Davin, gue serius—”

“Lo di sini aja,” katanya sambil menoleh. “Kunci pintu. Gue gak akan lama.”

Leora tidak punya pilihan selain mengangguk.

Davin mengambil senter kecil, membuka pintu belakang perlahan, lalu menghilang dan pintu ditutup kembali.

Leora menunggu.

Ia yakin. Oni bukan perasaan kosong.

Ia tidak salah lihat kemarin.

Ada orang yang sedang mengintai.

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka.

Davin masuk, wajahnya serius tapi tenang. Ia membawa segelas air.

“Minum,” katanya sambil menyerahkan gelas ke Leora.

Leora meraih gelas itu dengan tangan gemetar. “Gimana?”

“Gak ada apa-apa,” jawab Davin. “Kemungkinan kucing. Banyak yang lewat belakang rumah.”

“Lo yakin?” suara Leora pelan.

"Yakin. Gue udah cek.”

Leora mengangguk, meski dadanya belum sepenuhnya tenang.

Davin ikut berbaring kembali. Kali ini jarak mereka lebih dekat, tanpa sengaja. Bahu mereka bersentuhan tipis.

Hening kembali menyelimuti kamar.

“Leoraa,” Davin membuka suara, “Perasaan gue gak enak.”

“Iya, gue tau.”

“Gue... Bingung."

Leora menoleh. Itu pertama kalinya Davin mengucapkan kata itu tanpa dibungkus apa pun.

“Badan gue gak enak,” lanjutnya jujur. “Gue ngerasa performa gue bakal turun. Dan—”

Ia terdiam.

“Dan gue gak tau bakal ada kejadian apa lagi.”

Leora memandang langit-langit, wajahnya datar.

“Kalau gitu, jangan dateng.”

Davin menoleh cepat. “Apa?”

“Gue serius,” Leora tetap menatap ke depan. “Lo gak harus maksain diri. Kesehatan lo lebih penting.”

Davin mengerutkan kening. “Ini final, Ra.”

“Terus, kalo lo kenapa-napa, gimana?”

Ada jeda.

Di dalam hati Leora, ada konflik yang tak ia ucapkan.

Ia khawatir namun juga bimbang.

Tapi di saat yang sama—

Ia ingin Davin berhenti, agar Rey tidak menyusun rencana buruk untuknya.

Leora tahu siapa yang bermain di balik layar.

Dan justru karena itu, ia tidak ingin Davin maju dalam kondisi seperti itu.

“Kadang,” lanjut Leora pelan, “mengalah bukan berarti kalah.”

Davin menatapnya lama. Ada kebingungan, luka, dan tekanan yang tidak pernah ia ceritakan ke siapa pun.

“Gue gak tau harus gimana,” ucapnya lirih.

“Tidur dulu,” katanya akhirnya. “Masih ada waktu.”

Davin memejamkan mata, meski pikirannya tidak benar-benar tenang.

Lampu kamar sudah dipadamkan.

Davin tertidur miring ke arah dinding, Leora menatapnya lama.

Lama sekali.

Ada rasa bersalah yang mengendap di dadanya, tapi ia menekannya dalam-dalam. Ia tahu, kalau perasaan itu dibiarkan naik ke permukaan, ia bisa goyah.

Pelan, Leora meraih ponselnya dari meja samping ranjang, memastikan Davin benar-benar tertidur, lalu membalikkan badan membelakangi pria itu.

Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdebar.

Rey.

Chat itu belum lama sunyi.

Leora mengetik pelan, jari-jarinya gemetar tipis.

Kamu yakin semua ini akan aman?

Balasan datang cepat.

Aman.

Dari awal juga nggak ada yang bisa halangin aku. Kamu tau sendiri kan, Sayang?

Leora memejamkan mata sejenak.

Ia tahu apa yang Rey lakukan sore tadi kepada Davin. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Leora:

Kamu juga harus hati hati, Rey…

Tiga titik muncul. Lalu hilang. Muncul lagi.

Kamu gak usah khawatir, Ra.

Di duniaku, orang yang ikut campur dan nganggep aku remeh harus dapat imbalannya.

Napas Leora tertahan.

Dan Davin…

Dia salah satunya.

Leora menggenggam ponsel lebih erat.

Sementara itu, Davin bergeser sedikit dalam tidurnya, membuat Leora refleks menyimpan ponselnya.

Ia memejamkan mata.

Ia mencintai Rey. Terlalu dalam.

Rey adalah puncak yang ia kejar sejak lama. Popularitas, pengakuan, dan posisi. Semua yang membuatnya merasa bernilai.

Ia juga tahu jika Davin adalah suaminya.

Tapi Rey adalah mimpinya. Lebih dari apapun.

Ia sadar, dirinya adalah gadis populer yang mengorbankan diri terlalu banyak untuk berada di sisi Rey. Ia tidak bisa kehilangan sesuatu yang ia usahakan dengan sia-sia.

Apalagi jika Rey tahu semuanya.

Itu akan berbahaya untuk dirinya. Ia mengambil ponselnya lagi, lalu mengetik satu pesan pendek.

Lakuin apa yang kamu mau. Tapi tetap jaga batasan.

Pesan terkirim.

Rey membalas dengan satu kalimat terakhir.

Pinter.

Percaya deh, kamu nggak salah pilih cowok.

Leora menurunkan ponselnya perlahan.

Dadanya terasa kosong.

Ia memandang layar yang sudah gelap, lalu menoleh sedikit, melihat punggung Davin yang masih membelakanginya.

“Maaf…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Leora mematikan ponsel, menyelipkannya kembali ke meja, lalu berbaring diam.

Ketika akhirnya Leora hampir terlelap, tiba tiba tubuh di belakangnya bergerak pelan.

Hampir tak terasa.

Davin berbalik arah dalam tidurnya. Lengannya bergeser, nyaris menyentuh pinggang Leora.

Leora mengernyit.

“Vin…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara.

Tidak ada jawaban. Tapi dahinya berkeringat.

Leora menoleh sepenuhnya sekarang. Tangannya ragu-ragu menyentuh kening Davin dan ia langsung menariknya kembali.

Panas.

“Ya ampun…” gumamnya lirih.

Davin demam.

Bukan demam biasa. Tubuhnya tegang, napasnya tidak teratur, dan wajahnya terlihat pucat di balik cahaya redup lampu tidur.

Leora menegakkan badan perlahan, berusaha tidak membangunkannya. Pikirannya berputar cepat. Ia butuh kompres. Air dingin dan kain bersih.

Keluar kamar?

Tidak mungkin.

Jam sudah terlalu malam. Bi Marni pasti sudah tidur. Dan… ketakutan aneh itu masih ada. Bayangan orang yang mengintai kemarin belum sepenuhnya hilang dari pikirannya.

Leora menggigit bibir.

Ia menurunkan kaki dari ranjang, berjalan pelan menyusuri kamar, membuka lemari dengan hati-hati, lalu meraih kaos bersih yang tipis, dan menuju kamar mandi kecil di dalam kamar.

Air keran mengalir pelan.

Leora membasahi kain itu, memerasnya, lalu kembali ke ranjang.

Ia duduk di sisi Davin, ragu sejenak sebelum akhirnya menempelkan kain dingin itu ke dahi pria itu.

Davin mengerang pelan.

Matanya terbuka perlahan.

“…Leora?”

“Diem,” bisik Leora refleks. “Lo panas.”

Davin mengerjap beberapa kali, matanya masih buram oleh demam. Tapi saat fokusnya kembali, ia menatap Leora cukup lama.

Tatapan itu dalam.

Seolah untuk sesaat, dunia berhenti, dan hanya ada mereka berdua.

Leora terdiam. Dadanya berdenyut aneh.

“Kenapa… lo belum tidur?” tanya Davin serak.

“Karena lo sakit,” jawab Leora singkat, kembali mengusap dahinya dengan kain dingin.

Davin menahan pergelangan tangannya.

“Udah,” katanya pelan. “Gue nggak butuh beginian.”

“Lo demam,” Leora menatapnya kesal. “Jangan sok kuat.”

Davin memalingkan wajah, gengsinya langsung muncul, seperti tameng otomatis.

“Gue cowok,” gumamnya. “Badan kekar begini masa harus dikompres segala.”

Leora mendengus kecil. “Iya, kekar. Terus kenapa? Kekar bukan berarti kebal.”

Davin mencoba duduk, tapi langsung meringis kecil. Leora refleks menahan bahunya.

“Lo malah bikin gue makin kelihatan lemah,” lanjut Davin, “Malu sama badan.”

Leora berhenti bergerak.

Beberapa detik ia hanya menatapnya.

“Lo tau nggak?” katanya akhirnya. “Orang yang pura-pura kuat sendirian itu entar sakitnya parah.”

Davin terdiam.

Leora kembali menempelkan kain itu ke dahinya, kali ini lebih hati-hati.

“Gue nggak ngelakuin ini karena perhatian,” lanjutnya. “Gue cuma… nggak mau lo ngerepotin gue nantinya.”

Davin menatap langit-langit, rahangnya mengeras. Ada emosi yang ingin keluar tapi ia tekan.

“Tidur aja,” katanya, lebih lirih. “Gue nggak apa-apa.”

1
Shifa Burhan
author tolong jawaban donk dengan jujur

*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri

*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain

tolong Thor tanggapan dan jawaban?
Raey Luma: Sementara contoh yang kakak sebutkan mungkin lebih menonjolkan karakter pria yang arogan, sehingga apa pun yang dia lakukan selalu tampak salah di mata pembaca. Apalagi di banyak novel, perempuan yang dinikahkan secara paksa biasanya digambarkan berasal dari tekanan ekonomi atau tanggung jawab keluarga, sehingga karakternya cenderung lebih lemah dan rapuh. Dan itu yang akhirnya membuat tokoh pria terlihat seperti pihak yang “dibenci”.


Beda dengan alur ceritaku di sini, di mana pernikahan mereka justru terjadi karena hal konyol dua orang ayah yang sama-sama sudah kaya sejak lama, jadi dinamika emosinya memang terasa berbeda.

Kurang lebih seperti itu sudut pandangku. Mohon maaf kalau masih ada bagian yang kurang, dan terima kasih sudah berbagi opini 🤍
total 2 replies
Felina Qwix
kalo aja tau Rey si Davin suaminya Leora haduh🤣🤣🤣
Raey Luma: beuuh apa ga meledak tuh sekolah🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!