Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sama-sama Berada di Atas Kapal
Sudah disepakati bahwa rombongan Majapahit tetap bergegas menuju Semenanjung Melayu. Perintahnya datang langsung dari Maha Patih Majapahit sendiri. Maka dari itu, pagi-pagi buta sekali, Aji ikut dibawa. Berduyun-duyun kapal-kapal Majapahit bergegas menuju Semenanjung Majapahit.
Tampaknya Chola sudah mengintai. Ada satu-dua kapal yang sepertinya ditugaskan untuk mengintai pergerakan Majapahit. Bahkan ada satu kapal berani memanahi salah satu kapal Majapahit. Hingga salah satu perwira Majapahit tewas di atas kapal.
Meninggalnya salah satu perwira Majapahit, itu membuat nyalinya Aji ciut. Sekonyong-konyong ia teringat dengan Sari, adik kandungnya. Teringat akan mimpinya saat itu. Aji pun teringat dengan teman-temannya seperti Tumijan dan Wijaya yang masih tertinggal di kampung yang ada di permukimannya orang-orang Batak. Ia terkenang pula dengan Wayan, orang Bali yang hidup di barak Majapahit di Yawadwipa sana.
Aji membantu untuk mengobati si perwira, meski nyawanya sudah tak tertolong lagi. Walaupun demikian, kemampuan mengobati Aji bisa mengatasi luka beberapa prajurit Majapahit yang terluka. Bersyukur Wayan pernah mengajari Aji ilmu pengobatan.
Berduyun-duyun kapal Majapahit membelah laut dengan layar terkembang penuh. Angin pagi membawa bau asin yang tajam, bercampur dengan aroma kayu basah dan besi senjata. Aji berdiri di sisi kapal, jemarinya masih berlumur darah perwira yang tak tertolong itu. Darahnya telah dibersihkan seadanya, namun bau kematian masih melekat kuat di hidung dan ingatannya.
Tubuh perwira itu dibaringkan dengan kain penutup. Beberapa prajurit menunduk, ada yang merapal doa, ada pula yang memalingkan wajah karena tak sanggup menatap kematian sedekat itu. Aji menelan ludah. Dadanya sesak. Ini bukan latihan di barak. Ini bukan kisah para penutur dongeng di kampung. Ini nyata.
“Tenanglah,” ujar seorang prajurit senior, suaranya berat tapi tegas. “Yang gugur akan dicatat sebagai dharma. Yang hidup, lanjutkan tugas.”
Aji mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdetak tak karuan.
Tak lama, jeritan kembali terdengar. Anak panah Chola kembali menghujani, meski kali ini tak serapat sebelumnya. Beberapa mengenai lambung kapal, sebagian besar meleset dan jatuh ke laut. Seorang prajurit muda roboh sambil memegangi pahanya. Darah mengalir deras.
“Ada tabib di sana ternyata!” teriak seseorang dari arah Chola. Teriakan itu cukup menggema. Seperti coba menerjang ombak dan deru angin hingga mendarat di kapal yang mana Aji berasa.
Tanpa pikir panjang, Aji berlari. Ia berlutut di samping prajurit itu. Anak panah sudah tercabut, tapi lukanya menganga. Tangan Aji bergerak otomatis, seolah tubuhnya mengingat lebih cepat daripada pikirannya. Daun kering yang disimpan di kantongnya ia remas, dicampur dengan serbuk yang dulu diajarkan Wayan. Ia menekan luka itu, membalutnya dengan kain bersih.
“Tarik napas,” ucap Aji lirih. “Ikuti hitunganku.”
Prajurit itu mengangguk, menggertakkan gigi menahan sakit. Perlahan, aliran darah berkurang. Tidak sempurna, tapi cukup untuk menyelamatkan nyawa.
“Terima kasih,” bisik prajurit itu, matanya berkaca-kaca.
Aji hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pemburu dan nelayan seperti dirinya kini berada di tengah ekspedisi besar, berhadapan dengan kekuatan sebesar Chola?
Di kejauhan, kapal pengintai Chola mulai menjauh, seakan hanya ingin menunjukkan keberadaan mereka. Isyarat ancaman yang jelas sekali. Bahwa Semenanjung Melayu tak akan semudah Temasek, untuk Majapahit taklukkan.
Malam pun turun. Kapal-kapal Majapahit tetap bergerak, lampu-lampu kecil dinyalakan sekadar penanda. Aji duduk bersandar di tiang kapal, menatap bintang-bintang. Di langit yang sama, entah di mana, Sari mungkin juga sedang menatap malam. Atau mungkin sedang menghadapi nasib yang jauh lebih kejam.
“Bertahanlah, Sari,” gumamnya. “Kelak Mas kamu ini akan membawa kamu pulang ke kampung kita di sana.”
Dalam kelelahan itu, Aji memejamkan mata sejenak. Namun kali ini, ia tidak tersedot lubang hitam. Tidak terlempar ke masa lain. Yang ia rasakan hanyalah dek kapal yang bergoyang lembut, dan tekad yang perlahan mengeras di dadanya.
Jika perang ini tak terelakkan, ia akan menghadapinya. Bukan demi kejayaan Majapahit semata, melainkan demi pulang. Hanya demi memastikan bahwa mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan terus menerus.
*****
Sementara itu, Sari ternyata sudah berada di dalam sebuah kapal. Kapal itu adalah sebuah kapal dagang. Kapal dagang itu terus bergerak lurus hingga Yawadwipa. Kapten kapal itu berkata bahwa memang mereka akan menuju desa di mana Aji dan Sari tinggal. Sayangnya si kapten dan beberapa kru kurang mengenali Majapahit. Karena memang Majapahit belum berdiri. Masih berkuasa Singosari.
Setidaknya Sari berhasil membebaskan diri dari gerombolan penyamun yang sudah sering memaksanya untuk berhubungan badan ala pasangan suami istri. Setidaknya, yah, seperti itu dulu. Itu yang harus Sari syukuri. Intinya, sekarang, membebaskan diri dulu dari gerombolan penyamun yang aneh, bengis, tak berperikemanusiaan, dan memiliki aji-aji yang mandraguna.
Angin laut berembus lembut, membawa bau asin yang bagi Sari terasa asing sekaligus menenangkan. Ia duduk bersandar di buritan kapal dagang itu, selimut kasar menutup pundaknya. Setiap derit papan kapal seakan mengingatkannya bahwa ia benar-benar telah menjauh. Itu bukan hanya dari gerombolan penyamun itu, tapi juga dari malam-malam panjang yang membuat jiwanya seakan tercerai-berai. Di hadapannya, laut terbentang seperti halaman baru yang belum ditulisi apa pun.
Kapten kapal, seorang lelaki paruh baya dengan janggut tipis dan mata yang tampak selalu waspada, sempat menghampirinya.
“Kau aman di sini,” kata si kapten kapal singkat, seolah tahu bahwa kata-kata panjang justru akan melukai. Sari hanya mengangguk. Ia belum sanggup menjawab. Di dalam dadanya, doa-doa berputar tanpa suara—doa untuk keselamatan, untuk pulang, dan untuk Aji.
Kapal itu bukan kapal perang. Muatannya kain, rempah, dan tembikar. Para awaknya bukan prajurit, melainkan pelaut yang lebih percaya pada arah angin dan bintang daripada senjata. Namun justru itu yang membuat Sari merasa sedikit lega. Tak ada tatapan curiga, tak ada perintah keras pula. Mereka membiarkannya diam, memberi ruang bagi luka yang belum sempat bernama.
Malam tiba perlahan. Langit menurunkan tabir bintang, dan laut memantulkannya seperti cermin retak. Sari memejamkan mata. Bayangan-bayangan lama mencoba menyusup, tetapi ia menggenggam erat kain di tangannya. Sebuah jimat kecil yang ia temukan di saku bajunya sendiri, entah sejak kapan. Ia menarik napas panjang, mengingat pesan si opung bahwa jiwa yang terluka bukan berarti jiwa yang kalah. Bahwa bertahan hidup adalah keberanian paling sunyi.
Di kejauhan, burung-burung laut berputar, menandai bahwa daratan belum sepenuhnya jauh. Kapten mengatakan mereka akan singgah sebentar di sebuah pelabuhan kecil sebelum menyeberang lebih jauh ke Yawadwipa. Sari mengangguk lagi. Setiap singgah adalah risiko, tetapi juga kesempatan. Ia belajar menerima kenyataannya dengan kepala tegak.
******
Paginya, ketika matahari memecah kabut tipis, Sari membantu awak kapal menata barang. Tangannya gemetar, tetapi ia memaksa diri bergerak. Ia tahu, bergerak adalah cara terbaik agar pikirannya tak kembali ke lorong-lorong gelap. Seorang awak perempuan memberinya segelas air hangat dan tersenyum kecil. Senyum itu sederhana, namun cukup untuk menguatkan. Di sela kesibukan, Sari menatap ke arah timur, ke arah pulau tempat ia dibesarkan.
"Mas Aji,” bisiknya pelan. Ia percaya, entah bagaimana, benang tak kasatmata masih menghubungkan mereka. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Bahwasanya ia akan pulang bukan sebagai korban, melainkan sebagai seseorang yang telah memilih untuk bertahan hidup.
Kapal itu kembali berlayar. Angin mengembang di layar, membawa Sari menuju Yawadwipa. Menuju kemungkinan. Di balik luka yang belum sepenuhnya sembuh, tumbuh tekad yang tenang. Apa pun yang menanti, ia tak akan lagi menyerahkan nasibnya pada kegelapan. Ia akan berjalan, satu gelombang demi satu gelombang, sampai cahaya terasa cukup dekat untuk digenggam.