NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Diplomasi

Kegelapan di dalam Penjara Hampa tidak seperti kegelapan di dasar Abyss yang penuh dengan energi kehidupan purba. Di sini, kegelapan terasa mandul, dingin, dan berbau tajam seperti batu obsidian yang telah ratusan tahun direndam dalam sihir penekan. Kaelan duduk bersila di tengah selnya, membiarkan punggungnya yang penuh lebam akibat lemparan batu warga Solaria bersandar pada dinding yang membeku.

Setiap kali ia bernapas, paru-parunya terasa berat. Belenggu penekan mana yang melingkari pergelangan tangannya bukan sekadar rantai besi biasa; benda itu secara aktif menyedot pendar putih dari kulitnya, mencoba memadamkan sirkulasi energi yang baru saja stabil. Namun, di dalam sumsum tulangnya, teknik rahasia yang ia pelajari terus berdenyut, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa dijangkau oleh sihir mana pun.

"Kau masih memiliki keberanian untuk bermeditasi di tempat seperti ini, Manusia?"

Suara itu berat, berwibawa, dan sarat dengan tekanan mental yang mampu membuat prajurit biasa pingsan seketika. Kaelan tidak membuka matanya. Ia sudah mengenali frekuensi energi itu—energi yang sama dengan yang ia rasakan saat menyaksikan pengadilan penuh fitnah di masa sebelum ia mengenal arti pengorbanan yang sesungguhnya.

"Penjara hanyalah sebuah ruang, High Lord Valerius," jawab Kaelan dengan suara tenang, meski tenggorokannya terasa kering. "Pikiran yang bebas tidak bisa dirantai oleh obsidian sesal sekalipun."

Langkah kaki Valerius terdengar mendekat, berhenti tepat di depan jeruji kristal. "Bebas? Kau menyebut dirimu bebas sementara putrimu sedang menjerit di Kuil Pemurnian karena ulahmu?"

Mata Kaelan terbuka seketika. Pendar putih di pupil matanya menyala redup dalam kegelapan. Di pangkal lidahnya, ia merasakan rasa pahit empedu yang tiba-tiba menusuk—sebuah resonansi penderitaan yang ia bagikan dengan Lyra. Ia tahu, di suatu tempat di atas sana, Lyra sedang dipaksa menelan cairan pembersih mana yang menyakitkan.

"Dia menjerit bukan karena aku, Valerius," Kaelan berdiri perlahan, bunyi rantai yang beradu dengan lantai marmer hitam menciptakan gema yang menyakitkan. "Dia menjerit karena ayahnya sendiri lebih memilih martabat darah murni daripada keselamatan jiwanya."

"Lancang!" Valerius menghantam jeruji dengan telapak tangannya. Gelombang energi Sovereign membuat debu-debu di langit-langit berjatuhan. "Kau tidak tahu apa-apa tentang beban yang kupikul! Kau hanya seorang budak yang beruntung bisa bertahan hidup di Red Line!"

"Beruntung?" Kaelan terkekeh pelan, sebuah tawa dingin yang tidak mencapai matanya. "Aku bertahan hidup karena aku tidak memiliki kemewahan untuk menyerah. Sementara kau, kau memiliki segalanya namun membiarkan pangeran manipulator itu meracuni pikiranmu."

Valerius terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, otot-otot di wajahnya yang mulai menua tampak menegang di bawah cahaya lampu sihir yang temaram. Ia memberi isyarat kepada penjaga di kejauhan, dan sebuah nampan kecil dengan gelas kristal berisi cairan berwarna ungu pekat dimasukkan melalui celah bawah jeruji.

"Minumlah," perintah Valerius.

Kaelan menatap gelas itu. Bau tajam herbal yang membakar tercium dari sana—cairan penebusan yang berfungsi melumpuhkan sirkulasi energi secara permanen bagi manusia biasa. "Apa ini? Hadiah untuk kepulanganku?"

"Itu adalah jalan keluar bagimu dan pasukanmu," ucap Valerius, suaranya kini sedikit merendah namun tetap tajam. "Akui di depan umum bahwa kau menggunakan sihir terlarang untuk menyesatkan Lyra. Akui bahwa luka di matanya adalah akibat dari kecerobohanmu. Jika kau melakukannya, aku akan membiarkan pasukanmu pergi dari Solaria dengan nyawa mereka."

Kaelan meraih gelas itu, jemarinya yang kasar bersentuhan dengan kristal yang halus. Ia merasakan dilema martabat yang menghimpit dadanya. Satu pengakuan palsu bisa menyelamatkan Bara, Mina, dan yang lainnya. Namun, ia juga tahu bahwa satu kebohongan di tempat ini akan mengubur kebenaran tentang kebusukan Alaric selamanya.

"Kenapa kau begitu ingin aku berbohong, Valerius? Apa kau takut jika publik tahu bahwa calon menantumu adalah pengecut yang melarikan diri saat naga penjaga muncul di Abyss?" tanya Kaelan sambil menatap cairan di dalam gelas.

"Alaric mengatakan hal yang berbeda. Dia membawa bukti bahwa kau sengaja memicu amukan naga itu untuk menculik Lyra ke kedalaman yang lebih jauh," sahut Valerius.

"Dan kau lebih percaya pada kata-kata seorang pemuda yang bahkan tidak berani mengotori jubahnya dengan debu pertempuran?" Kaelan mengangkat gelas itu tinggi-tinggi. "Kau ingin aku meminum ini untuk menebus dosa yang tidak kulakukan?"

"Minum, atau aku tidak bisa menjamin keselamatan siapa pun besok pagi," ancam Valerius.

Kaelan menatap lurus ke dalam mata High Lord itu. Tanpa memutuskan kontak mata, ia meminum cairan pahit itu dalam satu tegukan besar. Rasa getir yang luar biasa segera membakar kerongkongannya, merambat turun ke perutnya seperti aliran lava. Kaelan merasakan tubuhnya sedikit terhuyung, namun ia memaksa kakinya tetap tegak. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal hingga kuku-kukunya merobek telapak tangan yang sudah terluka sebelumnya.

"Rasanya... sama getirnya dengan kepemimpinanmu," desis Kaelan, meski napasnya mulai tersengal.

"Kaelan!" suara Valerius terdengar sedikit terkejut melihat Kaelan meminumnya tanpa perlawanan. "Kau... kenapa kau begitu keras kepala?"

"Karena martabat tidak bisa dibeli dengan pengampunan palsu," Kaelan menyeka sisa cairan di sudut bibirnya dengan punggung tangan yang dirantai. "Kau membawa racun ini untuk membungkamku? Lidahku mungkin akan mati rasa, tapi kebenaran tentang apa yang kami hadapi di bawah sana akan tetap mengalir di pembuluh darah Solaria."

"Apa maksudmu?"

"Alaric menggunakan teknik pencurian jiwa. Aku melihatnya sendiri saat energinya berinteraksi dengan Void," Kaelan melangkah lebih dekat ke jeruji, mengabaikan rasa perih yang mulai melumpuhkan syaraf kakinya. "Dia bukan hanya memfitnahku, Valerius. Dia sedang memanen energi dari prajuritmu sendiri untuk memperkuat posisinya. Apa kau tidak pernah bertanya kenapa begitu banyak ksatria elitmu hilang tanpa jejak di perbatasan?"

Valerius mundur selangkah, wajahnya memucat sesaat sebelum ia kembali menguasai diri. "Kau hanya mencoba mengadu domba. Alaric adalah pilar masa depan Aethelgard."

"Masa depan yang dibangun di atas tumpukan mayat rakyatmu sendiri?" Kaelan menggelengkan kepala. "Lihatlah telapak tanganku, High Lord."

Kaelan menunjukkan tangan kirinya yang masih berbalut perban compang-camping, kini basah oleh darah segar. "Batu yang dilemparkan rakyatmu padaku di gerbang tadi... batu itu mengandung residu mana yang sangat spesifik. Mana yang hanya dimiliki oleh seseorang yang telah melakukan kontak dengan inti pilar sihir Alaric. Dia yang memprovokasi massa. Dia yang menginginkan kerusuhan itu terjadi."

"Kau berbohong," suara Valerius bergetar.

"Jika aku berbohong, kenapa kau merasa perlu datang ke sini sendirian di tengah malam hanya untuk memberiku racun ini?" Kaelan menatap Valerius dengan iba. "Kau sedang ketakutan, Valerius. Kau takut bahwa manusia yang kau anggap budak ini lebih mengenal putri dan duniamu daripada dirimu sendiri."

Valerius terdiam, matanya menatap nanar pada debu hitam yang luruh dari telapak tangan Kaelan. Keheningan di dalam sel itu terasa begitu pekat, hanya diinterupsi oleh suara tetesan air dari langit-langit obsidian yang menghantam lantai dengan irama yang membosankan. Sang High Lord, yang biasanya berdiri tegak sebagai simbol otoritas tertinggi di Benua Langit, tampak seolah-olah baru saja kehilangan fondasi pijakannya.

"Jika apa yang kau katakan benar," suara Valerius terdengar parau, "kenapa kau tidak mengatakannya di Gerbang Azure tadi? Kenapa kau membiarkan rakyat melemparimu?"

"Karena kata-kata seorang manusia tidak akan didengar oleh kerumunan yang sudah diracuni kebencian," Kaelan menjawab sambil mengatur napasnya yang mulai terasa berat. Racun dari gelas kristal tadi mulai bekerja, mengirimkan sensasi dingin yang melumpuhkan sirkulasi energinya. "Aku memilih diam untuk melindungi Lyra. Jika aku melawan rakyatmu di depan umum, Alaric akan memiliki alasan untuk membantainya saat itu juga. Aku menyerahkan martabatku agar dia tetap hidup."

Valerius memejamkan mata. Bayangan putrinya yang buta, dengan kain perban yang kusam dan tubuh yang kurus akibat perjalanan di Abyss, menghantam kesadarannya. Ia teringat masa ketika Lyra masih kecil, berlari di antara Bunga Janji di kebun Azure. Kini, ia sendiri yang mengirim putrinya ke Kuil Pemurnian untuk menjalani ritual yang bisa menghapus kepribadiannya.

"Kau mencintainya?" tanya Valerius tiba-tiba.

Kaelan tertegun sejenak. Ia merasakan resonansi penderitaan di dadanya sedikit melunak, berganti dengan getaran hangat yang samar—sebuah tanda bahwa di suatu tempat, Lyra sedang memikirkannya dengan kerinduan yang sama. "Aku melindunginya karena itu adalah satu-satunya janji yang membuatku tetap merasa menjadi manusia di dunia yang memperlakukanku seperti binatang."

Valerius menatap gelas kristal yang kini kosong di tangan Kaelan. Penyesalan tampak melintas di wajahnya, namun ego seorang High Lord masih menahannya untuk meminta maaf. Ia berbalik, jubah putihnya menyapu lantai penjara yang kotor.

"Istirahatlah, Kaelan. Racun itu tidak akan membunuhmu, tapi akan mematikan energimu selama tiga hari. Itu adalah waktu yang dibutuhkan Alaric untuk mempersiapkan sidang pemurnian," ucap Valerius tanpa menoleh. "Aku akan menyelidiki bukti yang kau katakan. Namun jika kau berbohong, aku sendiri yang akan memastikan rantaimu tidak akan pernah dilepas."

"Penyelidikanmu akan terlambat jika kau tidak menghentikan ritual itu sekarang, Valerius!" Kaelan berteriak, namun suaranya pecah saat rasa sakit di perutnya semakin menjadi.

"Aku tidak bisa membatalkan ritual tanpa alasan hukum yang kuat di depan Council. Solaria bukan hanya milikku," sahut Valerius dingin sebelum melangkah pergi meninggalkan kegelapan sel.

Begitu pintu besi besar di ujung lorong tertutup dengan dentuman keras, Kaelan ambruk ke lantai. Tubuhnya gemetar hebat. Cairan ungu yang ia minum tadi kini sedang berperang dengan energi Ignition di dalam sirkulasinya. Ia merasakan syaraf-syarafnya seperti ditarik paksa, mencoba memutuskan koneksi antara sumsum tulang dan meridian energinya.

"Tidak... belum saatnya..." gumam Kaelan, giginya bergeletuk menahan dingin yang luar biasa.

Ia memejamkan mata, memusatkan seluruh kesadarannya pada inti sirkulasi Iron Bone Marrow. Di tengah kelumpuhan yang merayap, ia mencoba membayangkan wajah Lyra—bau melati yang samar, kehangatan jemarinya saat mereka berada di oase bawah tanah, dan keberanian wanita itu saat mengorbankan penglihatannya untuk melawan Naga Void. Kenangan itu menjadi jangkar emosi yang mencegah jiwanya tenggelam dalam ketidaksadaran.

Di dalam kegelapan batinnya, Kaelan melihat pendar putih energinya mulai meredup, namun di pusatnya, sebuah percikan kecil berwarna perak pucat mulai berputar. Racun itu justru menjadi katalisator; tekanan yang diberikan oleh cairan pelumpuh itu memaksa energi Ignition miliknya untuk berevolusi lebih cepat guna menetralisir ancaman. Ini adalah proses yang menyakitkan, seolah-olah tulang-tulangnya sedang dipatahkan dan disambung kembali secara berulang-ulang.

Kaelan mengerang rendah, tangannya mencengkeram lantai obsidian hingga kuku-kukunya berdarah. Resonansi penderitaan dengan Lyra kembali menguat. Ia bisa merasakan Lyra sedang kedinginan, berbaring di atas meja batu di Kuil Pemurnian, dikelilingi oleh para pendeta yang melantunkan mantra penghapus memori.

"Lyra... bertahanlah..." bisik Kaelan dengan sisa tenaganya.

Pandangan Kaelan mulai kabur. Cahaya lampu sihir di luar sel tampak seperti bintik-bintik air yang menjauh. Ia tahu, pingsan dalam kondisi ini bisa berarti kematian bagi sirkulasi energinya, namun tubuh fananya sudah mencapai batas. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia merasakan getaran kecil pada rantai di pergelangan tangannya—sebuah tanda bahwa sirkulasi energinya tidak mati, melainkan sedang memasuki fase hibernasi defensif.

Di atas sana, di menara tertinggi Solaria, Pangeran Alaric berdiri menatap rembulan, memegang sebuah sapu tangan Azure yang compang-camping milik Lyra yang ia temukan di Gerbang Azure. Ia tersenyum, menyadari bahwa rencananya untuk menghapus jejak Kaelan dari ingatan dunia tinggal selangkah lagi. Ia tidak tahu bahwa di lubang gelap di bawah kakinya, sang Komandan sedang menempa kembali jiwanya dalam api penderitaan yang jauh lebih panas dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

Kaelan akhirnya jatuh pingsan, wajahnya pucat pasi di atas lantai yang membeku. Namun, di bawah kulitnya, pendar putih itu tidak benar-benar hilang. Ia terus berdenyut dalam ritme yang tenang, seperti jantung seekor pemangsa yang sedang menunggu fajar untuk bangkit kembali dan menuntut balas atas setiap tetes darah yang telah tumpah.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!