Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pengantin Yang Sunyi
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam ketika pintu unit apartemen mewah di lantai 20 itu terbuka. Bunyi beep digital dari kunci otomatis terdengar nyaring, memecah keheningan koridor yang sunyi.
Argantara melangkah masuk lebih dulu, menendang sepatu pantofel mahalnya begitu saja di dekat rak sepatu. Ia melonggarkan dasi yang sejak pagi mencekik lehernya, lalu menghembuskan napas panjang—seolah baru saja melepaskan beban ratusan kilogram dari pundaknya.
Di belakangnya, Intan berdiri ragu di ambang pintu. Gadis itu menyeret koper besar berwarna pink pastel—satu-satunya benda yang terasa familiar baginya di tempat asing ini. Matanya menyapu sekeliling ruangan.
Apartemen itu luas, modern, dan... dingin.
Segalanya bernuansa monokrom. Sofa abu-abu tua, dinding putih bersih tanpa hiasan foto, dan perabotan hitam minimalis. Tidak ada vas bunga, tidak ada bantal sofa berwarna cerah, tidak ada kehangatan. Tempat ini lebih mirip lobi kantor daripada rumah tinggal. Sangat mencerminkan kepribadian pemiliknya.
"Masuk. Jangan berdiri di situ seperti patung," tegur Arga tanpa menoleh. Pria itu berjalan menuju dapur bersih, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air mineral dingin.
Intan tersentak kaget, lalu buru-buru menarik kopernya masuk dan menutup pintu. Suara pintu yang terkunci otomatis membuat nyalinya sedikit menciut. Kini, ia benar-benar terperangkap berdua saja dengan dosen killer itu.
"Kamar kamu di sebelah kiri, pintu kedua," ucap Arga setelah meneguk airnya hingga setengah botol. Ia menunjuk lorong pendek dengan dagunya. "Barang-barang saya ada di kamar utama, pintu paling ujung. Jangan pernah masuk ke kamar saya tanpa izin, kecuali ada keadaan darurat seperti kebakaran atau gempa bumi."
Intan mengangguk pelan, masih merasa canggung luar biasa. "Iya... Mas."
Arga menatapnya sekilas, alisnya berkerut mendengar panggilan itu, namun ia tidak berkomentar. Ia meletakkan botol air di meja island, lalu berjalan melewati Intan menuju kamarnya sendiri.
"Saya mau mandi dan ganti baju. Kamu juga, bersihkan make-up itu. Menakutkan lihatnya malam-malam begini," komentar Arga pedas sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.
Intan mengelus dadanya, menahan dongkol. "Sabar, Intan. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan, kalau nggak sabar nanti stroke muda," gumamnya pada diri sendiri.
Gadis itu menyeret kopernya menuju kamar yang ditunjuk Arga. Saat membuka pintu, ia sedikit lega. Kamar itu cukup luas, meski sama kaku-nya dengan ruangan lain. Setidaknya ada kasur queen size yang terlihat empuk. Intan meletakkan kopernya, lalu duduk di tepi ranjang. Kakinya terasa mau patah karena seharian memakai heels tinggi.
Tiga puluh menit kemudian, Intan sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Ia mengenakan piyama lengan panjang bermotif beruang—jauh sekali dari gambaran lingerie seksi yang mungkin dibayangkan orang-orang untuk malam pertama. Wajahnya kini bersih dan segar, rambut panjangnya ia ikat asal.
Rasa lapar mulai menyerang perutnya. Sejak resepsi tadi siang, ia hampir tidak makan apa-apa karena terlalu gugup dan sibuk menyalami tamu.
Intan memberanikan diri keluar kamar, berniat mencari dapur untuk membuat mie instan atau setidaknya mencari roti. Namun, langkahnya terhenti di ruang tengah.
Arga sudah ada di sana.
Tapi pria itu tidak mengenakan piyama atau baju santai rumahan. Arga mengenakan celana jeans gelap, kaos hitam polos yang dibalut jaket denim, dan sepatu sneakers. Rambutnya yang tadi kaku oleh gel kini terlihat sedikit berantakan namun tetap stylish. Aroma parfumnya juga sudah berganti, lebih segar dari yang tadi siang.
Dia terlihat rapi. Sangat rapi.
Intan mengerjap bingung. "Mas Arga... mau ke mana?" tanyanya spontan.
Arga yang sedang membetulkan jam tangan di pergelangan kirinya menoleh. Ia menatap Intan dari ujung kaki ke ujung kepala—dari sandal rumah berbulu hingga piyama beruangnya. Tatapannya datar, tak terbaca.
"Keluar," jawabnya singkat. Pria itu meraih kunci mobil di atas meja kopi.
"Keluar?" ulang Intan, otaknya sedikit lambat memproses. "Malam-malam begini?"
"Ini baru jam sepuluh, Intan. Bagi saya ini masih sore," jawab Arga santai sambil memasukkan dompet ke saku celana belakang.
"Tapi..." Intan menggigit bibir bawahnya, ragu untuk melanjutkan kalimatnya namun rasa penasarannya terlalu besar. "Ini kan... malam pertama kita. Maksudku, kita baru saja menikah tadi pagi."
Arga menghentikan gerakannya. Ia menatap Intan dengan pandangan yang sulit diartikan—campuran antara rasa geli dan sinis.
"Lalu?" tanyanya retoris. "Kamu berharap apa? Kita duduk berdua nonton TV? Atau melakukan hal-hal yang dilakukan pengantin normal?"
Pipi Intan memanas seketika. "Bukan! Bukan itu maksudku! Maksudnya, masa Mas Arga tega ninggalin aku sendirian di apartemen baru ini? Aku kan belum hafal tempat ini, gimana kalau ada apa-apa?"
Arga mendengus pelan, seolah alasan Intan adalah lelucon yang tidak lucu.
"Gedung ini punya keamanan 24 jam. Ada intercom di dekat pintu kalau kamu butuh bantuan sekuriti. Kulkas penuh makanan. Wi-Fi password-nya ada di bawah router," jelas Arga cepat, tak ingin membuang waktu.
"Saya ada janji dengan teman-teman saya di lounge biasa. Mereka sudah menunggu," lanjutnya sambil berjalan menuju pintu keluar.
Mata Intan membelalak tak percaya. "Teman-teman? Mas Arga lebih milih nongkrong sama teman daripada nemenin istri sendiri?"
Langkah Arga terhenti tepat di depan pintu. Ia berbalik badan, wajahnya kembali serius. Aura dosennya kembali muncul.
"Koreksi, Intan. Saya memilih berkumpul dengan teman-teman saya daripada terjebak dalam kecanggungan yang tidak perlu dengan mahasiswi saya sendiri," ucapnya tajam, menohok tepat di ulu hati Intan.
"Lagipula, pernikahan ini tidak mengubah jadwal sosial saya. Tidurlah. Besok pagi saya mungkin pulang telat."
Tanpa menunggu jawaban Intan, Arga membuka pintu dan melangkah keluar.
Brak.
Pintu tertutup kembali. Bunyi beep pengunci otomatis terdengar lagi, kali ini terdengar seperti ejekan bagi Intan.
Keheningan kembali menyergap apartemen luas itu. Intan berdiri mematung di tengah ruangan, menatap pintu kayu yang kini memisahkan dirinya dan suami "sah"-nya.
Rasanya sesak, tapi bukan karena sedih. Rasanya panas, tapi bukan karena marah. Itu adalah perasaan terhina. Di malam di mana seharusnya seorang wanita merasa paling istimewa, Intan justru ditinggalkan demi segelas kopi dan obrolan tongkrongan bapak-bapak dosen.
"Dasar dosen gila!" teriak Intan pada pintu yang tertutup rapat, melampiaskan kekesalannya. "Awas aja, besok aku habisin stok makanannya!"
Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, lalu berjalan menuju dapur dengan perasaan dongkol yang meluap-luap. Malam pertamanya resmi hancur. Bukan dengan air mata, tapi dengan sebungkus mie instan rasa ayam bawang yang ia masak sendirian di dapur apartemen mewah yang terasa seperti penjara sepi ini.
Sementara itu, di basement, Argantara menyalakan mesin mobil sport-nya. Ia menyandarkan punggung sejenak di jok kemudi, menatap ke arah lift. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap di hatinya meninggalkan gadis remaja itu sendirian di tempat asing.
Namun, bayangan harus menghabiskan malam berdua dengan gadis 17 tahun dalam situasi canggung membuatnya merinding. Ia butuh udara segar. Ia butuh melupakan fakta bahwa status KTP-nya kini telah berubah menjadi 'Kawin'.
Arga menginjak pedal gas, membawa mobilnya melaju membelah jalanan Jakarta, meninggalkan istrinya—dan tanggung jawab barunya—di belakang punggungnya.
makan tuh gengsi Segede gaban😄