Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Dua Jemputan, Dua Detak Jantung
Menjelang sore, cahaya matahari menyelinap masuk dari jendela besar lantai lima kantor Global Teknologi dan menerobos langsung ke deretan meja kerja di sisi tim operasional. Sinar keemasannya jatuh miring, membentuk garis-garis cahaya yang lembut di permukaan meja, memantul pada layar komputer, menyorot tumpukan dokumen, dan menciptakan bayangan panjang yang bergerak pelan di lantai marmer abu muda. Udara ruangan terasa lebih hangat, aroma kopi terakhir hari itu masih tersisa samar di udara, bercampur dengan wangi kertas baru dari mesin printer yang baru saja berhenti bekerja.
Karyawan mulai membereskan meja masing-masing—ada yang sambil tertawa kecil, ada yang sudah sibuk menutup laptop, ada pula yang berdiri di dekat jendela untuk menatap matahari yang bergantung rendah, hampir bersentuhan dengan gedung-gedung tinggi seberang jalan. Namun di sudut ruangan, tepat di area kerja Bulan dan Liora—sebuah area kecil yang biasanya paling rapi dan tenang—suasana justru kacau lucu.
Liora bergerak seperti angin puyuh yang kehilangan arah; ia membuka laci meja hanya untuk menutupnya lagi, meraih tas lalu mengeluarkan pouch makeup sebelum buru-buru memasukkannya kembali karena tiba-tiba merasa ragu, berdiri untuk merapikan rambut di kaca monitor, lalu duduk keluar ruangan menuju keruangan sebelah, ruangan Bulan. Setibanya di ruangan bulan, Liora langsung duduk di kursi depan meja bulan. Kursinya bahkan bergerak sedikit akibat gerakannya yang terlalu cepat, sementara terlihat ruangan Bulan tetap rapi seperti biasa, kontras tajam dengan kekacauan manis yang Liora ciptakan.
“Bul… Bul…” gumam Liora sambil menepuk pipinya sendiri pelan, seolah ingin memastikan ia tidak sedang bermimpi. “Pak Marvin mau jemput gue. Dia mau jemput gue. Terus makan enak. Kita berdua. Only two people. Bul… ini real kan?”
Bulan yang duduk di kursinya hanya bisa menahan tawa kecil sambil merapikan file. “Real. Lo udah bilang lima kali. Dan ya… lo kelihatan kayak mau ikut audisi drama Korea sekarang.”
Liora mendecak manja. “Bul, gue panik! Gue udah lama nggak dinner sama cowok. Apalagi cowok super dingin, super kaya, super tinggi, super tampan, super CEO.”
“Jadi intinya kamu mau bilang dia super semua?” tanya Bulan sambil menahan tawa.
“YES!” Liora membuang tubuhnya ke sandaran kursi dan menutup wajah dengan kedua tangan. “Gila banget, Bul. Gue cuma bilang ‘lapar’ terus dia tiba-tiba bilang mau jemput sore ini. Itu… itu terlalu cepat. Terlalu langsung. Terlalu—”
“Marvin,” jawab Bulan datar.
Liora terdiam sejenak.
“…iya sih. Marvin banget.”
Ia bangkit lagi, membuka kaca kecil, memeriksa pipinya yang sudah dipoles sedikit blush on. Tangannya bergetar kecil—antara gugup dan senang.
“Bul, gue kelihatan oke nggak? Lip balm gue glossy banget nggak? Rambut gue bener nggak? Gue harus pakai blazer atau nggak? Gue—”
“Liora,” panggil Bulan lembut sambil memegang bahunya.
Liora menoleh.
“Lo cantik,” kata Bulan. “Dan Marvin sudah tahu itu.”
Liora menelan ludah. Rasanya jantungnya turun naik seperti lift rusak. “Astaga Bul… gue suka banget sama kalimat itu…”
Dan Bulan pun tertawa lagi melihat sahabatnya yang biasanya bawel dan percaya diri, kini berubah jadi gadis tujuh belas tahun yang baru pertama kali diajak makan malam oleh gebetan.
*
Bulan baru saja selesai merapikan tumpukan berkas finalisasi resign ketika ponselnya bergetar pelan di meja. Ia mengambilnya tanpa pikir panjang, namun begitu melihat nama yang muncul di layar…
jantungnya memukul dadanya dengan lembut. Mas Bhumi.
Ia menghela napas kecil sebelum mengangkat sambil berdiri dari kursinya.
“Halo, Mas…” sapanya pelan, suaranya otomatis menjadi lebih lembut daripada biasanya.
Suara Bhumi terdengar rendah, tenang, dan langsung membuat dunia di sekitar Bulan seperti mereda. “Sayang… kamu udah selesai?”
Bulan memejamkan mata sejenak—satu kata itu saja sudah cukup membuat pipinya memanas. “…sudah. Ini aku baru selesai merapikan file.”
“Bagus.” Ada jeda pendek. Lalu suara Bhumi terdengar sedikit lebih dalam. “Aku jemput kamu sekarang.”
Bulan otomatis memegang tepi meja, seolah ia butuh sesuatu untuk menstabilkan dirinya.
“Sekarang, Mas? Kerjaan Mas gimana?. Apa nggak—”
“Kamu tunggu aku di lobi,” potong Bhumi lembut namun tegas. “Aku nggak mau kamu sendirian terlalu lama. Aku sudah di jalan.”
Bulan menelan ludah. Ia tidak bisa melihat Bhumi, tapi ia bisa merasakan tatapan itu—tatapan yang selalu membuatnya merasa dilihat, dijaga, dan… disayangi.
“Baik… aku turun sekarang.”
“Bagus. Aku on the way, Sayang.”
Telepon terputus.
Namun Bulan masih menatap layar ponselnya cukup lama, seolah kata “Sayang” tadi menghangatkan layar itu sampai suhu tertentu.
Liora langsung muncul di sampingnya seperti hantu penuh gosip. “Bulan. Bulan. Kenapa pipi lo kayak habis ditabok orang?”
Bulan hanya menggeleng, tapi senyum di bibirnya terlalu sulit disembunyikan. “Mas Bhumi mau jemput gue.”
“YA AMPUN—” Liora hampir berteriak, tapi ia menutup mulutnya sendiri agar tidak membuat satu kantor geger. “Kalian itu… ya Tuhan… gue sungguh-sungguh merasa hidup di tengah drama romantis kelas sultan.”
Bulan mengambil tas sambil menahan malu. “Ayo turun. Lo nanti juga dijemput.”
Liora langsung salah tingkah. “YA TAPI GUE GUGUP, BUL!”
“Gue juga,” gumam Bulan pelan, tapi wajahnya tetap memerah penuh bahagia.
Keduanya pun berjalan keluar kantor—dua perempuan yang sama-sama memegang rahasia manis di dadanya. Satu akan bertemu laki-laki dingin yang tiba-tiba protektif. Satu lagi akan bertemu laki-laki yang memanggilnya Sayang tanpa ragu.
**
Suasana depan kantor Global Teknologi selalu ramai menjelang jam pulang. Sore itu, matahari menggantung rendah di balik gedung tinggi seberang jalan, menciptakan siluet keemasan yang menimpa trotoar dan pintu kaca lobby. Lalu-lalang karyawan dengan berbagai ekspresi—lelah, gembira, dan ingin cepat pulang—mewarnai halaman depan. Suara motor, mobil, dan klakson samar dari kejauhan bercampur dengan suara sandal kantor yang berderap-derap di dekat pintu otomatis.
Namun suasana yang biasanya biasa saja, hari ini berubah total.
Karena ada dua pria luar biasa tampan dan luar biasa berkuasa yang datang bersamaan, meski mereka tidak saling berinteraksi.
Sebuah mobil mewah Porsche 911 Carrera S berwarna hitam berhenti dengan mulus di depan pintu lobby. Sopirnya tidak turun—karena pemilik mobil itu turun sendiri. Pintu terbuka… dan dari sana keluar seorang pria jangkung berkemeja charcoal abu gelap yang lengannya sudah digulung sampai siku, dengan rambut hitam rapi, jalannya pelan namun berwibawa.
Marvin Nalendra.
Langkahnya tenang namun memerintah. Setiap orang yang lewat di dekatnya secara otomatis memperlambat langkah, entah karena kagum, atau karena aura CEO-nya terlalu kuat untuk diabaikan.
Namun Marvin tidak memperhatikan mereka. Matanya langsung mencari satu sosok.
Dan begitu pintu lobby terbuka, muncullah Liora—dengan blouse putih lembut, rok hitam selutut, dan rambut Italian bob-nya yang berayun pelan karena gerakan gugupnya.
Marvin terhenti sepersekian detik. Ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Tidak terkejut. Tidak melongo.
Tetapi… dadanya menegang halus. Mata gelapnya memeriksa Liora dari ujung kepala hingga ujung kaki, bukan dengan cara menilai… tapi dengan cara memastikan bahwa ia datang untuk perempuan yang benar-benar membuatnya keluar dari zona nyamannya.
Liora, sementara itu, langsung kacau.
“Oh my God Bul… aku nggak siap… dia terlalu ganteng pakai kemeja kaya gitu… dia kayak keluar dari iklan parfum harga sepuluh jutaan…” gumamnya sambil menepuk pipi, lalu berdiri mematung seperti patung kucing lucu yang lagi error.
Marvin mendekat.
Setiap langkahnya membuat napas Liora makin pendek.
“Liora,” panggil Marvin, suara rendah dan dalam.
Liora yang tadinya ingin tersenyum malah memegang tasnya erat-erat seperti pelampung. “P—Pak Marvin… hai…”
Marvin berdiri di depan Liora, lebih tinggi, lebih besar, dan lebih intens dibanding biasanya. “Kamu sudah siap?”
“S-siap,” jawab Liora gugup.
Marvin mengangguk sedikit, lalu—dengan gerakan halus namun penuh niat—mengambil alih tas Liora.
Liora panik. “Eh?! P-Pak Marvin! Itu—”
“Biar aku pegang,” katanya singkat. “Kamu pegang ini.”
Marvin menyerahkan jasnya untuk dipakai Liora. Liora hampir meleleh.
“Kita makan dulu. Kamu pasti lapar,” lanjut Marvin sambil berjalan kecil sambil menuntunnya dengan posisi tubuh yang sedikit miring menjaga.
Liora tidak tahu harus bagaimana. Antara ingin berteriak bahagia atau pingsan.
“Bul…,” katanya ke Bulan sambil menengok kebelakang, “kalo gue nggak pulang malam ini, tolong kasih tau Bunda, kalo gue sangat bahagia.”
Bulan tertawa kecil. Marvin melirik sebentar. “Dia pulang,” katanya datar tapi terdengar seperti ancaman lembut.
Liora makin gugup. Dan makin gemas.
Marvin membuka pintu mobil untuknya. Seperti gentleman. Seperti laki-laki yang sudah lama menunggu momen ini.
Ketika Liora masuk, Marvin menunduk sedikit. “Pasang seatbelt baik-baik,” katanya lembut.
Liora tidak bisa membalas apa pun. Ia hanya mengikuti… sambil berusaha keras menyembunyikan wajahnya yang sudah merah merona.
Liora sempat melambai kearah Bulan yang sedang berdiri di dalam lobby kantor. Bulan melambai balik kea rah Liora yang sudah pergi meninggalkannya sendiri didalam lobby.
Beberapa detik setelah mobil Marvin pergi membawa Liora, sebuah mobil hitam yang tak kalah mewah berhenti dengan keheningan presisi di tempat yang sama.
Pintu supir terbuka… dan Bhumi turun.
Kemeja hitamnya digulung sampai lengan, jasnya ditinggalkan di kantor, rambutnya rapi tapi sedikit berantakan seperti habis mengusapnya dengan tangannya sendiri. Dan meskipun wajahnya selalu dingin dan terkontrol, senyum tipis muncul ketika matanya melihat sosok yang keluar dari lobby.
Bulan.
Dengan blouse satin ivory, rok span hitam, dan rambut yang ia rapikan terburu-buru… Bulan terlihat seperti sinar sore itu berkumpul hanya untuk jatuh di tubuhnya.
Bhumi berhenti. Matanya melembut.
Tubuhnya seolah otomatis menjadi lebih tenang—dan lebih hangat.
Bulan melangkah pelan menuruni anak tangga lobby. Saat matanya bertemu mata Bhumi… dunia di sekelilingnya seperti memudar.
“Mas…,” sapanya pelan.
Suara itu seperti satu-satunya suara yang ingin didengar Bhumi.
Tanpa banyak kata, Bhumi berjalan mendekat. Ia mengambil alih tas kerja Bulan dengan gerakan alami—seolah ia sudah melakukannya bertahun-tahun. Lalu sebelah tangan yang satunya menggandeng tangan Bulan lembut.
“Kamu capek?” tanya Bhumi lembut.
“…nggak terlalu,” jawab Bulan, pipinya merona halus.
“Ayo pulang.”
Bulan mengangguk kecil.
Dan tepat saat itu—Bhumi membukakan pintu mobil untuknya. Dengan cara yang sangat pelan, sangat perhatian, dan sangat… suami masa depan.
Bulan terpaku beberapa detik sebelum masuk.
Saat ia duduk, Bhumi menunduk sedikit, satu tangan bertumpu di bingkai pintu, wajahnya dekat sekali, suaranya rendah dan hangat.
“Pakai seatbelt, Sayang.”
Bulan tersentak halus. “Iya, Mas…”
Setelah menutup pintu untuk Bulan, Bhumi memutar ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil, dan begitu ia duduk, tangannya langsung mencari dan meraih tangan kanan Bulan, menggenggamnya dengan mantap namun hangat—tanpa kata-kata, tanpa perlu penjelasan apa pun, hanya sebuah sentuhan sederhana yang terasa seperti kalimat utuh yang berbicara lebih jujur daripada apa pun, bahwa ia ada di sana untuknya, bahwa ia menjemputnya karena ingin menjaganya, dan bahwa sore itu mereka pulang bersama bukan hanya sebagai dua orang, tetapi sebagai dua hati yang mulai saling memilih tanpa ragu.Bulan menahan senyum malu sambil menatap jendela.
“Mas Bhumi…”
“Hm?”
“Kok… pegangannya erat banget?”
Bhumi menatapnya, mata gelap itu penuh intensitas lembut. “Soalnya kamu milik aku.”
Bulan merasa jantungnya seolah meleleh.
‘Aiss, bisa aja ni laki bikin jantung gue awut awutan’ suara hati Bulan berteriak dengan kencang.
**
Restoran steak itu berada di lantai tinggi sebuah hotel, dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan Surabaya malam hari. Lampu-lampu kota berpendar seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi, dan musik jazz pelan mengisi ruangan, menambah kesan intim pada setiap meja.
Marvin berjalan di depan, menuntun Liora menuju meja yang sudah ia reservasi. Dari pintu masuk sampai ke meja, pandangan beberapa wanita di restoran sempat terpaku ke arahnya—pria tinggi berkemeja charcoal abu gelap , wajah tampan dingin yang terasa seperti dinding es, dan aura CEO yang tidak bisa disembunyikan. Tapi yang membuat mereka salah fokus adalah perempuan yang berjalan di sampingnya, yang kelihatan… gugup. Gemes. Dan sedikit linglung.
Begitu mereka duduk, Liora hampir menjatuhkan sendoknya hanya karena Marvin menarik kursinya dengan sangat gentleman. Pipinya memerah tanpa bisa dilawan.
“Pak—eh… Pak Marvin… kok tempatnya mewah banget ya,” katanya sambil memegang menu dengan tangan bergetar halus.
Marvin yang sedang membuka menunya hanya menatap sebentar, bibirnya terangkat tipis. “Karena kamu bilang mau makan yang enak. Jadi aku bawa kamu ke tempat yang terbaik.”
Liora ingin teriak. Tapi ia memilih minum air.
Mereka memesan makanan, dan setelah beberapa menit, suasana menjadi sunyi pelan—sunyi yang tidak canggung, tapi sunyi yang membuat jantung Liora memukul tulang rusuknya tak beraturan.
Marvin memperhatikannya.
Liora memutar gelas, menggigiti sedotan, memainkan ujung rambutnya, lalu menggigiti sedotan lagi. “Pak Marvin… boleh nggak aku tanya sesuatu?”
“Hm.”
“Kenapa… tadi cepat banget angkat telpon aku?” Nada suaranya pelan. Hatinya ragu. Tapi ia benar-benar ingin tahu.
Marvin tidak menjawab langsung. Ia menaruh gelas minumannya, menyandarkan tubuh sedikit ke sandaran kursi, dan menatap Liora dengan fokus penuh—tatapan yang membuat Liora ingin bersembunyi di bawah meja.
“Karena aku memang menunggu telepon kamu,” jawab Marvin, akhirnya.
Liora mematung. Matanya berkedip pelan—sekali, dua kali.
‘…apa maksudnya ituuuh???’ teriak batin Liora.
Marvin melihat itu. Dan untuk pertama kalinya malam itu… ia tertawa kecil. Tertawa yang tampak sangat jarang muncul dari seseorang yang berwajah sedingin lemari pendingin dua pintu.
Liora makin pusing.
“Ma—maksud Pak Marvin apa ya barusan?” tanyanya, suara pelan tapi jelas ingin tahu.
Marvin mengusap pelipisnya ringan, seperti lelah dengan formalitas yang Liora ciptakan sendiri. “Jangan panggil aku ‘pak’ kalau kita lagi berdua.” Ia mencondongkan tubuh sedikit. “Bhumi saja kamu panggil ‘mas’. Masa aku masih kamu panggil ‘pak’.”
Wajah Liora terbakar sampai telinga. Ia menutup mulutnya, menarik napas dalam.
“…Ja—jadi maksud omongan Ma – Mas Marvin tadi apa ya?” Suaranya bergetar manja, gemes, tapi juga takut berharap.
Marvin menatapnya lama. Tatapannya tidak intens seperti pria yang agresif—tatapannya tenang, dewasa, dan dalam. Tatapan seorang pria yang memikirkan satu orang lebih sering dari yang ia akui.
Ia tidak terburu-buru. Ia tidak panik. Ia tidak mencari kata. Ia memilih kata.
Dan ketika akhirnya ia bicara, suaranya rendah, hangat, dan jujur dengan caranya yang tenang:
“Aku tidak pernah menemukan kata-kata untuk mengatakan bahwa kamu adalah orang yang aku pikirkan setiap hari.”
Liora berhenti bernapas. Jantungnya meloncat. Dunianya berhenti. Otaknya nge-freeze.
Ia berkedip cepat, seperti komputer lama yang sedang memproses file terlalu berat.
“…apa… apa maksudnya ituuuh?” tanyanya akhirnya, suara kecil dan nyaris putus asa karena kepala dan hatinya adu balap.
Marvin tersenyum pelan lagi—senyum tipis yang mematikan dari seorang pria yang jarang menunjukkan emosi.
“Kamu benar-benar gak paham?” Suaranya menggoda, tapi tetap dengan ketenangan khasnya.
“A—aku… ya… aku paham sih… mungkin… sedikit…”
“Kalau begitu,” Marvin meluruskan duduknya, suaranya serius namun lembut, “aku permudah.”
Ia menatap Liora tanpa kedip.
“Setiap pagi, sebelum aku mulai kerja, kamu yang pertama muncul di pikiranku. Setiap ada hal lucu, hal bagus, hal penting, aku ingin kamu dengar dulu. Dan setiap hari selesai bekerja…”
Ia berhenti, suaranya melembut tajam. “…aku berharap punya alasan untuk melihat kamu lagi.”
Liora merasakan dirinya meleleh secara emosional dan fisik.
Marvin menambahkan—tanpa tersenyum, tanpa dramatisasi, hanya kejujuran polos dari seorang pria dingin yang sedang jatuh hati,
“Kalau aku harus menyederhanakan semuanya… aku ingin kamu ada di hidup aku. Dan aku ingin ada di hidup kamu.”
Tidak ada ungkapan “aku cinta kamu.” Tidak ada pula “I love you.” Tidak ada kalimat manis yang berlebihan.
Tapi… itu jauh lebih dalam. Lebih nyata. Lebih seperti Marvin.
Liora menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca kecil karena terlalu banyak emosi masuk sekaligus. Ia hampir tidak bisa bicara.
“Jadi…” suaranya kecil, hampir bergetar, “Mas Marvin… lagi… nembak aku?”
Marvin mengangkat alis sedikit, matanya lembut. “Kalau kamu mau bilang seperti itu…” Ia mencapai tangan Liora perlahan, menyentuh punggung tangannya dengan jari. “…ya. Aku sedang bilang kalau aku memilih kamu.”
Liora langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu mengangguk dalam diamnya.
Dan Marvin hanya tersenyum—senyum lembut yang mungkin dunia belum pernah lihat sebelumnya.
**
tbc