Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Plan Discussion
Di sisi lain, jauh dari hiruk pikuk kantor polisi, Indra dan Akari berada di rumah Akari yang kini terasa sunyi dan dingin, menjadi saksi bisu tragedi keluarga Otsuki.
Indra memarkirkan BMW M8 hitamnya di luar, sementara Akari membuka pintu rumah.
"Goto-san," kata Akari, memandang sekeliling ruang tamu yang penuh kenangan pahit. "Saya tidak punya tempat lain yang aman. Saya menawarkan rumah ini... untuk menjadi markas kita sementara waktu. Saya yakin mereka tidak akan mencurigai rumah korban."
Indra mengangguk, mengamati ruangan dengan pandangan profesional.
"Ide yang bagus. Tempat yang paling dicurigai adalah tempat yang paling tidak mungkin," ujar Indra, menyetujui. Ia menyukai ketenangan rumah itu untuk berpikir.
Mereka duduk di meja dapur, dan Indra mengeluarkan ledger yang mereka ambil dari klub malam. Ia mulai mencocokkan data.
Indra merangkai puzzle yang dijelaskan Akari selama perjalanan mereka dan selama Akari menceritakan masa lalunya.
Dari Klub Malam: Akari melihat Haruna mempekerjakan gadis-gadis muda sebagai operator atau umpan.
Dari Restoran Mie: Akari mengingat Ayahnya pernah menyebut bahwa tangan Haruna sangat dingin, seolah-olah dia tidak punya darah, dan Haruna berbicara tentang "sumber daya manusia" dan "harga terendah dalam hitungan detik saat kontrak."
Indra menunjuk ledger itu.
"Tangan dingin, harga terendah, sumber daya manusia," gumam Indra. "Ini bukan hanya perdagangan organ biasa, Akari. Ini adalah jaringan trafficking yang menggunakan orang sebagai komoditas. Tangan dingin itu... mungkin dia tidak memiliki emosi sama sekali, atau itu hanya kebiasaan."
Indra membalik halaman ledger.
"Tapi yang paling penting di sini: Haruna bukan sekadar penjilat. Dia adalah perekrut utama AgateX. Dia yang menarik korban, menjerat mereka dengan utang, lalu menjual mereka—hidup atau mati. Dia adalah kunci untuk menemukan Bos Besar yang berpangkat tinggi itu."
Indra melihat jam. Araya sebentar lagi akan tiba dengan informasi tentang Dokter Kevin. Indra harus siap dengan rencana serangan berikutnya, menggunakan informasi dari ledger ini.
Akari melihat Indra yang begitu fokus pada ledger dan kepingan informasi kecil yang ia sebutkan. Ia merasa perlu memberikan detail lebih lanjut, karena Indra tampak menganggap semua informasi itu penting.
Akari kembali menjelaskan yang ia tahu kepada Indra, mengulang dan memperjelas beberapa poin tentang Haruna dan AgateX.
"Saat di restoran mie itu," ujar Akari, mengingat kembali momen terakhir bersama orang tuanya, "Haruna mengatakan dia adalah 'eksekutif muda'. Dan dia menekankan bahwa AgateX memiliki koneksi yang sangat dalam. Dia bahkan dengan bangga menunjukkan arloji mahalnya dan berkata itu adalah hadiah dari 'mentor'nya yang sangat berkuasa."
"Dia juga sering menyebutkan sebuah tempat bernama 'Distrik Senja'—tempat para orang kaya dan berkuasa menyelesaikan urusan mereka. Ayah saya sempat panik mendengarnya, tapi Haruna bilang itu hanya urusan bisnis biasa."
Akari menyentuh arloji murah di pergelangan tangannya, sangat kontras dengan gambaran arloji mahal Haruna.
"Dan soal tangannya yang dingin," lanjut Akari, "itu bukan hanya kurangnya emosi. Ayah saya pernah bilang, saat bersalaman, tangan Haruna terasa seperti es, padahal cuaca tidak dingin. Ayah bilang, 'Seolah-olah dia selalu berada di tempat yang sangat dingin.'"
Indra menyimak Akari dengan perhatian penuh, menuliskan setiap detail di pinggiran ledger.
Arloji Mahal dari 'Mentor' Berkuasa: Mengkonfirmasi adanya Bos Besar berpangkat tinggi.
'Distrik Senja': Lokasi yang mungkin menjadi tempat pertemuan atau markas utama.
Tangan Dingin / Tempat Dingin: Petunjuk fisik yang aneh.
Indra tahu informasi detail dari seorang korban seperti ini jauh lebih berharga daripada data teknis manapun. Semua petunjuk ini mengarah pada target yang jauh lebih tinggi dan tersembunyi.
Di tengah konsentrasi Indra merangkai puzzle, suara ketukan pintu terdengar.
Beberapa saat kemudian, Araya tiba di rumah Akari dengan Porsche Carrera GT putihnya, memarkirkannya di samping taksi hitam Indra.
Akari bergegas menuju pintu dan membukakan pintu. Ia senang melihat Araya, yang selalu memberikan dukungan dan rasa aman, meskipun Akari tidak tahu peran sebenarnya Araya.
Araya menyapa Akari dengan hangat.
"Akari, aku membawakan ini," kata Araya, sambil memberikannya bingkisan yang adalah makanan beku siap masak, beberapa snack, dan minuman dingin. "Aku tidak mau kau hanya makan mie instan di tengah operasi balas dendam."
Akari terharu. Akari memeluk Araya dengan erat, pelukan singkat yang penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih, Araya-san. Kau selalu membantu," ucap Akari.
"Tentu saja," balas Araya, tersenyum tulus. "Nah, sekarang, apakah 'konsultan'-ku ada di dalam?"
Lalu Akari mengajak Araya masuk ke dalam ruangan dan bertemu dengan Indra yang sedang duduk santai di meja dapur, memegang ledger yang penuh coretan.
Araya menyapa Indra dengan formal, tetapi ada kilatan canda di matanya.
"Tuan Goto. Senang bertemu denganmu lagi," sapa Araya.
"Araya-san. Urusan kerja, ya?" Indra membalasnya dengan anggukan singkat, wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ia menangkap senyum licik Araya.
Akari kebingungan melihat interaksi formal dan santai di antara mereka.
"Tunggu, kalian... kalian saling kenal?" tanya Akari, memandang bergantian antara Kepala Detektif berwibawa dan sopir taksi misterius itu.
Indra dan Araya saling pandang, kemudian memberikan jawaban yang sudah mereka sepakati:
"Anggap saja kami kenal karena Araya terkenal di kepolisian," jawab Indra datar, membenarkan kacamatanya.
"Tentu saja. Semua orang kenal Kepala Detektif Namida Araya," sambung Araya, tetapi kemudian ia memiringkan kepalanya sedikit, sambil memuji Indra yang mana sebenarnya mensarkas Indra.
"Aku tahu sopir taksi yang mengendarai BMW M8 adalah pria yang cerdas dan sangat efisien, jauh lebih baik daripada detektif yang kubenci. Jadi aku mengenalnya," kata Araya, menyindir status Indra yang sebenarnya.
Akari mengangguk, menerima penjelasan yang setengah benar itu, meskipun ia merasa ada banyak hal yang disembunyikan. Prioritasnya adalah balas dendam.
Araya duduk di seberang Indra dan Akari, mengesampingkan bingkisan makanannya. Wajahnya kembali serius, memancarkan aura Kepala Detektif yang sedang menjalankan tugas.
Araya mengatakan kedatangannya adalah untuk menyampaikan informasi yang didapatkan dari interogasi.
"Aku baru saja menginterogasi salah satu penjaga yang ditangkap Akihisa di gudang malam itu," kata Araya, menatap langsung ke Indra.
Ia memberikan kabar terbaru kepada Indra dan Akari.
"Operasi di gudang gagal karena itu adalah jebakan. Dokter Kevin dan korban sudah kabur. Tapi kami mendapatkan dua informasi penting," jelas Araya.
Araya mengangkat dua jarinya.
"Pertama, Dokter Kevin tidak beroperasi di gudang, melainkan di rumah sakit ternama di Shirayuki. Gudang itu hanya pancingan. Dia menggunakan fasilitas resmi, yang berarti ada lebih banyak perlindungan di sana."
Wajah Akari mengeras.
"Kedua, dan ini yang paling krusial," lanjut Araya, suaranya diturunkan. "Ada informan di internal kepolisian. Orang-orang berpangkat tinggi. Mereka yang memberitahu Agate tentang rencana penyergapan kami."
Araya menoleh ke Indra, mencari konfirmasi. "Informan itu pasti yang membuat Agate selalu selangkah di depan. Kita tidak bisa bergerak secara resmi lagi, Indra."
Akari terkejut, menyadari betapa dalam akar kejahatan yang ia hadapi.
"Jadi, bukan hanya mafia, tapi juga polisi... yang terlibat dalam kematian orang tua saya?" tanya Akari, nadanya dipenuhi kepedihan.
"Ya," jawab Araya tegas. "Oleh karena itu, sekarang kita harus mengandalkan caramu, Akari. Kita harus melumpuhkan mereka dari bayangan, sebelum informan internal itu menyadari kita telah mendapatkan ledger dari klub malam."
Indra mengangguk, mengambil ledger di depannya. Informasi Araya mengkonfirmasi bahwa mereka tidak punya pilihan selain terus bekerja di luar hukum.
Indra menyerap semua informasi yang diberikan Araya. Ia tahu ledger itu kini lebih aman di tangan Araya sebagai bukti hukum.
Indra memberikan Ledger itu kepada Araya.
"Buku ini adalah bukti hidupmu. Amankan," kata Indra singkat.
Araya menerima ledger itu, mengangguk. Ia kemudian menoleh ke Akari. Mata Akari terlihat sembab dan lelah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
"Akari, aku tahu kau tidak tidur semalaman karena memikirkan semua ini, ditambah seranganmu di klub tadi malam," ujar Araya dengan nada perhatian yang tulus.
"Kau telah memberikan kami kunci, yaitu ledger ini, dan informasi tentang Haruna serta Distrik Senja. Sekarang, giliran kami para orang dewasa untuk bekerja."
Sebagai orang dewasa, Araya menyarankan Akari tidur saja hari ini.
"Kau harus beristirahat. Biar aku dan Indra yang bergerak. Kami akan pergi sebentar untuk merencanakan selanjutnya. Indra akan menjelaskan rencananya nanti kepadamu saat dia kembali. Kau akan butuh energi untuk menjalankan misi yang lebih besar dari sekadar klub malam."
Akari mengangguk dan menurut. Meskipun dendam menguasai dirinya, ia tahu Araya benar. Kekuatan fisiknya adalah modalnya, dan ia tidak boleh lelah.
Araya berdiri, dan tanpa ragu, ia merangkul Indra—sebuah gerakan kepemilikan yang ia lakukan di hadapan Akari.
"Ayo, Tuan Goto," kata Araya. "Kita butuh tempat yang lebih tenang daripada dapur ini untuk merencanakan cara menjebak Dokter Tampan itu."
Araya mengajaknya keluar dari rumah Akari.
Mereka meninggalkan Akari di rumah itu, sendirian namun aman, sementara dua orang yang paling penting dalam hidupnya (yang ia kenal sebagai Kepala Detektif dan Sopir Taksi) pergi untuk menyusun rencana penyerbuan ke Rumah Sakit Shirayuki.