NovelToon NovelToon
JENDELA TERBUKA YANG LUPA DITUTUP

JENDELA TERBUKA YANG LUPA DITUTUP

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Suami Tak Berguna / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Harem / Cintapertama
Popularitas:449
Nilai: 5
Nama Author: Siti Zuliyana

Rina menemukan pesan mesra dari Siti di ponsel Adi, tapi yang lebih mengejutkan: pesan dari bank tentang utang besar yang Adi punya. Dia bertanya pada Adi, dan Adi mengakui bahwa dia meminjam uang untuk bisnis rekan kerjanya yang gagal—dan Siti adalah yang menolong dia bayar sebagian. "Dia hanyut dalam utang dan rasa bersalah pada Siti," pikir Rina.
Kini, masalah bukan cuma perselingkuhan, tapi juga keuangan yang terancam—rumah mereka bahkan berisiko disita jika utang tidak dibayar. Rina merasa lebih tertekan: dia harus bekerja tambahan di les setelah mengajar, sambil mengurus Lila dan menyembunyikan masalah dari keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Zuliyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KETIKA ANAK-ANAK MULAI TERBANG, DAN JENDELA YANG TERBUKA UNTUK CITA-CITA BARU

Lima tahun berlalu seperti kilat—waktu sungguh cepat ketika kita sibuk dengan kehidupan. Sekarang, Lila sudah 24 tahun, sudah lulus dari universitas seni, dan memiliki galeri seni sendiri di Jakarta yang sering diisi pengunjung. Dia dan Doni sudah pacaran selama 3 tahun, dan mereka sering bekerja sama pada proyek seni bersama. Ayu sudah 23 tahun, lulus dari universitas tari, dan menjadi penari utama di sebuah kelompok tari tradisional yang sering tampil di luar negeri. Arif sudah 20 tahun, sedang kuliah jurusan teknik informatika di Bandung, dan sudah merilis aplikasi pertama yang digunakan oleh ribuan orang.

Rina dan Adi sudah memasuki usia 50-an. Rina sudah menerbitkan 5 buku yang semuanya sukses, dan dia sering diundang sebagai pembicara di acara tentang sastra dan keluarga. Adi sudah naik jabatan menjadi direktur di perusahaan, tapi dia mulai merasa lelah—dia ingin waktu lebih banyak untuk diri sendiri dan Rina, setelah bertahun-tahun mengorbankan waktu untuk keluarga dan pekerjaan.

Satu hari, Lila datang ke rumah dengan wajah cerah. Dia duduk di teras bersama Rina dan Adi, jendela kamar tidur terbuka segar angin pagi. "Pa, Bu, aku punya kabar baik. Aku dan Doni akan mengadakan pameran bersama di Eropa—di Paris, London, dan Madrid. Kita akan pergi selama 6 bulan untuk mempersiapkannya."

Rina dan Adi senang banget, tapi juga sedih. "6 bulan? Itu lama banget, sayang," ujar Rina dengan suara lemah.

"Ya, Bu, tapi ini kesempatan sekali seumur hidup. Galeri di Eropa mau berkolaborasi dengan kita. Kamu akan datang menyaksikannya kan?" tanya Lila dengan harapan.

"Pastinya, sayang. Kita akan datang," jawab Adi, tapi di hatinya, dia merasa kosong—seolah-olah anaknya akan pergi dan tidak akan kembali.

Beberapa hari kemudian, Ayu juga datang ke rumah. Dia membawa surat dari lembaga tari di Jepang. "Ma, Pa, aku diterima untuk magang selama setahun di Jepang. Mereka mau ajari aku tari tradisional Jepang dan mengajak aku tampil bersama mereka."

Sekali lagi, Rina dan Adi senang, tapi rasa kosong semakin besar. "Jepang? Jauh banget dari sini," kata Rina, menangis sedikit.

"Aku akan pulang setiap bulan, Ma. Dan kamu bisa datang mengunjungiku," kata Ayu, memeluknya.

Tidak lama setelah itu, Arif menghubungi dari Bandung. "Pa, Bu, aku diterima beasiswa untuk kuliah pascasarjana di Amerika. Mulainya tahun depan, selama 2 tahun."

Rina menjawab telepon dengan tangan yang gemetar. "Amerika? Semua anakku akan pergi jauh dari aku?" dia berpikir. Di sisi lain, Adi merasa lega melihat anak-anak sukses, tapi juga merasa hilang—apa yang akan dia lakukan ketika semua anak sudah pergi?

Malam itu, Rina dan Adi duduk di teras sendirian. Jendela terbuka, melihat bintang-bintang yang bersinar. "Kita akan sendirian di rumah ini nanti," kata Adi dengan suara lemah.

"Ya, Sayang. Semua anak sudah besar, sudah punya cita-citanya sendiri. Kita harus senang untuk mereka," jawab Rina, tapi dia juga merasa sedih.

Beberapa minggu kemudian, semua anak berkumpul di rumah untuk makan malam bersama. Lila, Ayu, Arif, beserta Doni yang datang bersama Lila. Meja dipenuhi makanan favorit semua orang—nasi goreng Pa Adi, sambal matah Bu Rina, kue lapis Mama Siti, dan kue kering yang dibuat Ayu. Rio dan istrinya beserta anaknya yang sudah 9 tahun juga datang.

Selama makan, Lila melihat wajah Rina dan Adi yang sedih. Dia berdiri, mengangkat cangkir jus: "Kita semua tahu bahwa kita akan pergi jauh nanti, tapi kita ingin ngucapin terima kasih. Tanpa Pa dan Bu yang selalu membuka jendela rumah ini untuk kita, kita tidak akan sampai sini. Kita tidak akan pernah lupa rumah dan keluarga kita."

Ayu juga berdiri: "Ya, Ma, Pa. Kamu selalu mendukung kita, bahkan ketika kita ingin melakukan hal yang sulit. Sekarang, kita ingin kamu mendukung diri sendiri juga. Apa yang kamu inginkan lakukan setelah kita pergi?"

Pertanyaan itu membuat Rina dan Adi terkejut. Mereka tidak pernah berpikir tentang itu—selama bertahun-tahun, hidup mereka hanya untuk anak-anak. Adi melihat Rina: "Aku ingin berlibur ke tempat-tempat yang kita belum kunjungi. Seperti pulau-pulau indah di Indonesia, atau bahkan ke Eropa untuk menyaksikan pameran Lila."

Rina tersenyum: "Aku ingin menulis buku yang berbeda—buku tentang perjalanan kita sebagai pasangan, tentang bagaimana kita mengatasi semua masalah dan menemukan kebahagiaan kembali. Dan aku juga ingin belajar melukis—seperti Lila. Aku selalu suka melihat dia melukis, tapi tidak pernah punya waktu untuk mencobanya."

Semua orang bersorak senang. Lila mengambil cat dan kertas dari tasnya: "Nah, mulai hari ini, aku akan mengajarkan kamu melukis, Bu!"

Arif berkata: "Dan aku akan membuat aplikasi untuk memudahkan kamu merencanakan perjalanan, Pa!"

Malam itu, setelah semua tamu pergi, Rina dan Adi duduk di teras. Jendela kamar tidur tetap terbuka, angin segar bertiup, dan bintang-bintang bersinar terang. Adi memegang tangan Rina: "Kita akan punya kehidupan baru, ya. Hidup yang untuk kita sendiri."

"Ya, Sayang. Dan jendela ini akan selalu terbuka untuk anak-anak kita ketika mereka pulang, dan juga untuk cita-citanya baru kita," jawab Rina, menyandarkan kepalanya di bahu Adi.

Beberapa bulan kemudian, Lila dan Doni pergi ke Eropa. Sebelum pergi, Lila membuat lukisan untuk Rina dan Adi—gambar mereka berdua di teras, dengan jendela terbuka ke langit penuh bintang dan anak-anak yang terbang seperti burung ke arah masa depan. Dia menempelkannya di dinding ruang tamu, dengan tulisan: "Kamu adalah pangkal kita, dan jendela ini adalah jalan kita kembali."

Ayu pergi ke Jepang beberapa minggu kemudian, membawa dengan dia pakaian tari yang dibuat oleh Rina. Arif pergi ke Amerika setahun kemudian, membawa dengan dia laptop yang diisi dengan pesan semangat dari keluarga.

Setiap hari, Rina dan Adi menghubungi anak-anak melalui telepon. Rina mulai belajar melukis—dia membuat lukisan tentang jendela rumah, tentang perjalanan mereka, dan tentang kebahagiaan yang dia rasakan. Adi merencanakan perjalanan mereka ke Bali, tempat mereka dulu berbulan madu. Mereka juga mulai mengumpulkan materi untuk buku Rina—cerita-cerita tentang masa muda mereka, tentang perjuangan rumah tangga, dan tentang kebahagiaan dalam melihat anak-anak tumbuh.

Satu malam, Rina dan Adi duduk di teras, melihat jendela yang terbuka. Rina menunjukkan lukisannya yang baru selesai: "Ini gambar kita di Bali nanti, Sayang. Dengan jendela yang terbuka ke pantai."

Adi tersenyum: "Sangat indah, Bu. Kita akan membuat banyak kenangan baru bersama."

Angin segar bertiup, menyebarkan bau bunga melati dan harapan untuk masa depan yang cerah—masa depan yang bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk mereka sebagai pasangan yang telah melalui semua hal bersama, dengan jendela yang selalu terbuka untuk apa pun yang akan datang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!