Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Butuh Bicara
Pagi itu kantor kembali berjalan dengan ritmenya yang rapi dan teratur.
Livia sudah duduk manis di kubikelnya. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya segar meski matanya menyimpan kelelahan yang samar. Secangkir kopi panas berada di samping keyboard, uapnya naik perlahan. Ia menyeruputnya santai, sambil menelusuri email tanpa beban, setidaknya terlihat begitu dari luar.
Namun di dalam, ia selalu merasa tetap waspada.
Tak lama kemudian, Pintu lift terbuka.
Narendra melangkah keluar dengan setelan jas rapi, wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya berbeda. Lebih tajam. Lebih fokus. Seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, atau entah justru sebaliknya.
Ia berjalan lurus ke arah kubikel Livia, tanpa basa-basi.
“Livia,” panggilnya singkat.
Livia menoleh, refleks menegakkan tubuh. “Iya, Pak?”
“Masuk ke ruangan saya. Sekarang.”
Nada suaranya tenang, profesional, tanpa celah untuk ditolak.
Beberapa kepala karyawan lain sempat melirik. Livia mengangguk cepat, mematikan layar laptop, lalu berdiri. Ia membawa buku catatan, menyingkirkan kopi yang belum habis.
Saat melangkah melewati Narendra, detak jantungnya menguat. Ia menahan diri untuk tidak menatap wajah pria itu terlalu lama.
Pintu ruang kerja Narendra tertutup di belakang mereka.
Hening.
Narendra berdiri beberapa langkah dari meja kerjanya, membelakangi Livia sejenak, seolah mengatur napas. Livia berdiri tegak, profesional, menunggu perintah, menunggu alasan.
“Duduk,” kata Narendra akhirnya, tanpa menoleh.
Livia duduk perlahan.
Ada sesuatu di udara ruangan itu, tegang, berat, dan tak sepenuhnya tentang pekerjaan. Livia menggenggam pena di tangannya, berusaha tenang.
Narendra berbalik.
Tatapan mereka bertemu.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, mereka berada di satu ruang tertutup, tanpa jarak, tanpa saksi, hanya batas yang semakin tipis di antara mereka.
Narendra tidak langsung duduk.
Ia berdiri di depan meja, kedua tangannya bertumpu di permukaan kayu, pandangannya tertuju lurus pada Livia. Bukan tatapan atasan pada bawahan, melainkan seorang pria yang menahan sesuatu terlalu lama.
“Kenapa kamu menghindar?” tanyanya akhirnya.
Livia tertegun. Jemarinya yang menggenggam pena sedikit mengendur. “Maksud Bapak…?”
Narendra menghela napas pendek, rahangnya mengeras. “Kamu tahu maksud saya.” Suaranya diturunkan, tetap tenang namun sarat tekanan. “Sejak hari itu… kamu menjaga jarak. Kamu menghindar. Bahkan pesan saya tidak pernah kamu balas.”
Livia menatap meja, memilih kata dengan hati-hati. “Itu pesan di luar jam kerja, Pak.”
“Jangan beri alasan yang nggak logis, Livia,” potong Narendra, kali ini menatapnya langsung. “Saya tidak sedang bicara sebagai CEO.”
Kalimat itu membuat dada Livia berdebar. Ia mengangkat wajahnya perlahan. “Kalau begitu justru Bapak lebih tidak pantas,” jawabnya pelan namun tegas. “Bapak juga punya istri.”
Hening jatuh di ruangan itu, berat dan tajam.
Narendra menelan ludah. “Saya tahu.”
“Dan saya karyawan Bapak,” lanjut Livia. “Saya tidak ingin orang-orang salah paham. Saya tidak ingin... Membuat masalah.”
Narendra tersenyum tipis lebih ke senyum getir. “Masalah itu sudah ada, Livia. Bahkan sebelum kamu memilih menghindar.”
Livia terdiam. Ada kejujuran yang terlalu jelas di mata pria itu, membuatnya sulit bernapas. “Menghindar adalah satu-satunya cara saya menjaga diri,” katanya lirih. “Dan untuk kebaikan Bapak juga.”
Narendra melangkah mendekat satu langkah, lalu berhenti, menahan dirinya sendiri. “Kamu membuat saya merasa seperti orang asing yang tersesat,” ucapnya pelan. “Padahal—”
Ia menggantung kalimat itu, menarik napas dalam-dalam.
“Padahal apa, Pak?” tanya Livia, suaranya hampir bergetar.
Narendra memalingkan wajahnya ke jendela. “Padahal saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Livia tersenyum tipis, pahit. “Saya selalu terlihat baik-baik saja.”
“Apa kamu yakin ?” sanggah Narendra pelan. “Saya tidak yakin, karena tahu bedanya.”
Hening kembali mengisi ruangan. Livia berdiri, merapikan penampilannya. “Kalau tidak ada urusan pekerjaan, izinkan saya kembali ke meja saya, Pak.”
Narendra menoleh, menatapnya lama, seolah ingin mengatakan banyak hal namun memilih menelan semuanya. “Silakan,” katanya akhirnya.
Sebelum Livia melangkah ke pintu, ia berhenti sejenak dan menatap Narendra tanpa rasa takut. “Terima kasih atas perhatian Bapak. Tapi mulai sekarang… tolong biarkan semuanya tetap profesional.”
Narendra membalas tatapan gadis itu lebih dalam, napasnya berat. Pertanyaan itu tak terjawab seperti yang ia inginkan, namun satu hal kini pasti: Livia menghindar bukan karena tak peduli. Melainkan karena ia terlalu peduli.
Narendra reflek melangkah cepat, tangannya hampir meraih pergelangan Livia, namun berhenti di udara.
Ia sadar.
Ini kantor.
“Livia,” panggilnya, lebih rendah, nyaris tertahan.
Livia berhenti melangkah, tapi tidak berbalik. “Pak, kita sedang di kantor,” ucapnya tenang namun tegas. “Kalau ada pembahasan pekerjaan, saya siap. Kalau tidak, saya rasa percakapan ini sudah cukup.”
Narendra menghembuskan napas kasar. “Kamu selalu saja punya alasan.”
“Apa yang saya lakukan bukan alasan,” balas Livia pelan. “Ini batasan.”
Kalimat itu seperti tamparan halus. Narendra menatap punggungnya, tegak, rapi, seolah tak ada celah untuk ia dekati. Semakin Livia menjaga jarak, semakin ia merasa kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.
“Baik,” kata Narendra akhirnya, nadanya berubah lebih formal. “Kalau di kantor tidak pantas, kita bicara di luar.”
Livia berbalik cepat. “Pak—”
“Sore ini,” potong Narendra. “Setelah jam kantor. Saya minta waktumu.”
Ada jeda sepersekian detik. Livia menimbang. Menolak berarti memicu pertanyaan baru. Mengiyakan berarti membuka pintu yang sejak awal ingin ia tutup rapat-rapat.
“Baik, kalau hanya sebentar,” jawabnya akhirnya, datar. “Dan tidak di tempat umum.”
Narendra mengangguk. “Tentu.”
Livia melangkah pergi tanpa menunggu respons lain. Sepatu haknya berdetak pelan di lantai, menjauh, meninggalkan Narendra dengan perasaan campur aduk antara lega dan gugup.
Di balik meja kerjanya, Narendra menatap jam dinding. Kali ini dengan tidak sabar, ia menunggu jam kantor berakhir, bukan karena lelah bekerja, melainkan karena satu percakapan yang bisa mengubah segalanya.
Jam kantor akhirnya usai.
Basement gedung itu lengang, hanya suara langkah kaki dan mesin mobil yang sesekali menyala. Narendra sudah berada di dalam mobilnya yang terparkir di sudut agak tersembunyi. Lampu kabin menyala redup, tangannya menggenggam setir tanpa benar-benar fokus. Sesuai permintaan Livia, ia tidak menunggu di lobi. Tidak di kafe. Tidak di tempat umum mana pun. Ia menghormati itu, meski hatinya memberontak.
Beberapa menit kemudian, dari kejauhan, Livia muncul. Langkahnya cepat, tas diselempangkan tepat di bahunya. Ia menoleh sekilas ke kanan dan kiri, memastikan tak ada rekan kerja yang memperhatikan, lalu berhenti tepat di samping mobil Narendra.
Pintu penumpang terbuka.
Livia masuk tanpa banyak bicara. “Maaf kalau saya terlambat,” ucapnya singkat.
“Tidak,” jawab Narendra. “Kan Aku yang minta waktumu.”
Mobil masih diam. Mesin belum dinyalakan. Hening kembali jatuh, lebih tebal daripada sebelumnya. Livia menatap lurus ke depan, kedua tangannya bertaut di pangkuan, jelas sedang menjaga jarak.
“Pak,” ucap Livia lebih dulu, nadanya tertahan. “Kita jangan bicara di sini.”
Narendra menoleh. “Kenapa?”
Livia menatap lurus ke depan. “Saya tidak nyaman. Basement pun tetap bagian dari kantor. Saya tidak ingin ada yang melihat atau salah paham.” Ia menarik napas pendek. “Kalau Bapak masih ingin bicara… kita ke apartemen saya saja.”
Narendra terdiam sesaat. Permintaan itu mengejutkannya, berat, berisiko, namun jujur. Ia menimbang, lalu mengangguk. “Baik. Kalau itu membuatmu lebih tenang.”
Mesin mobil dinyalakan. Narendra melajukan kendaraan keluar dari basement, menyusuri jalanan sore yang mulai lengang. Lampu kota menyala satu per satu, memantul di kaca depan. Di dalam mobil, hening terasa rapat, bukan canggung, melainkan penuh hal-hal yang tak terucap.
Livia memeluk tasnya, menatap lampu lalu lintas yang berganti. “Saya minya, Kita bicara sebentar saja,” katanya pelan, seolah mengingatkan diri sendiri.
“Iya, sebentar saja.” Narendra mengiyakan, meski hatinya enggan. Suaranya tenang, namun jemarinya mencengkeram setir lebih erat dari biasanya.
Beberapa menit kemudian, Mobil berbelok ke area apartemen Livia. Mobil mewah itu melaju masuk dan berhenti di tempat parkir. Mesin dimatikan. Hening kembali turun.
Narendra menoleh. “Aku tidak akan memaksamu mendengar apa pun yang tak ingin kamu dengar.”
Livia mengangguk kecil. “Dan saya tidak akan memberi harapan apa pun.”
Mereka turun dari mobil dan melangkah menuju lift, mereka terlihat seperti dua orang dewasa dengan batas yang rapuh, membawa percakapan yang terlalu jujur untuk dihindari, menuju ruang yang akan memaksa semuanya terucap.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung......
lanjut dong🙏🙏🙏