Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Smart in Code, Broken in Emotion (Bagian 2)
“Oke. Denger ya. Felix itu tipe cowok yang understands dominance. Dia gak akan minta bantuan ke orang lain, apalagi perempuan. Serius. Satu-satunya makhluk perempuan yang dia izininkan mengacak-acak hidupnya adalah ibunya. Dan kucing peliharaannya—itu pun kucingnya punya batasan privasi yang ketat.”
Aku nahan tawa. “Jadi gue ini—special?”
Pedro nyengir. “Bukan special. Lebih kayak—force of nature. Tapi iya, gue kaget banget. Karena seinget gue, dulu Felix bahkan gak mau kerja kelompok pas kuliah kecuali dia bisa ngatur semuanya sendiri. Makanya dia bahkan gak punya teman. Malahan teman satu-satunya dari SMA harus mohon-mohon ke gue buat membujuk Felix. Dan sekarang dia—ngajak lo testing?”
Aku cengar-cengir penuh kemenangan palsu. “Berarti gue—mendobrak bentengnya?”
Pedro nggak jawab. Dia malah menatapku dalam-dalam, dengan ekspresi penuh analisa seperti dosen lagi ngebedah skripsi mahasiswa yang kayaknya bukan ngerjain sendiri.
Lalu dia tertawa. Pelan, lalu makin lama makin keras. Tapi bukan tawa biasa. Ini—tawa misterius. Tawa penuh rahasia. Tawa yang kalau ada efek sinetron bisa diiringi “duarr” dan music gelap.
Aku, Rahma dan bahkan staff Mas Johan di belakang kami menoleh dengan wajah bingung.
“Kenapa?” tanyaku curiga. “Mas Pedro? LO NGAPAIN?”
Pedro cuma geleng-geleng. “Nggak, nggak. Gue Cuma—penasaran. Kalau cowok kayak Felix, yang selama ini hidupnya steril dari manusia absurd—tiba-tiba enjoy ngobrol sama lo—itu artinya ada sesuatu.”
Rahma yang dari tadi nyeruput kopi caramel dingin nyeletuk, “Mungkin karena Meisya ini—fresh. Kayak angin sepoi-sepoi di tengah ruang server yang panas dan penuh error.”
Aku ngakak. “Bisa jangan nyamain gue sama pendingin ruangan gak?”
Pedro masih senyum misterius. “Tapi serius, mungkin dia nyaman sama lo karena lo absurd. Lo unpredictable. Dan—mungkin juga karena kalian juga seumuran.”
Aku reflek angkat tangan. “Stop. Kita semua tahu arah percakapan ini mau kemana.”
Tapi semuanya udah terlambat. Mbak Elga—yang tadi katanya udah cabut—muncul dari balik pilar, mungkin nyari HP-nya yang ketinggalan. Dan dengan senyum innocent dia menambahkan, “Lho, Meisya udah tiga puluh tahun, loh. Udah melewati batas pakai skincare remaja.”
Pedro melongo. “APAAAA?! TIGA PULUH?!”
Rahma langsung rebah di meja, ketawa ngakak sampe suaranya jadi frekuensi kelelawar. “Tuh, Sya. Lo tuh—HAHAHA—gue gak bisa!”
Aku udah gak bisa ngelak. “Lo pikir gue umur berapa, Mas?”
Pedro masih bengong. “YA GUE PIKIR—26? 25? Atau 27 paling tua?!”
Mbak Elga duduk sebentar, geleng-geleng. “Meisya emang bikin orang mikir dia adik kelas. Tapi itu karena tingkahnya. Kadang childish. Kadang kayak bocah lari-lari di lobi kantor, sambil bawa boba dan nge-gibah sendiri.”
Aku langsung manyun. “Jadi semua karena gue childish?!”
Semua kembali tertawa.
Lalu—tibalah momen pamungkas.
Rahma, masih ketawa, nyeletuk, “Eh, kalau gitu umur Felix berapa, Mas?”
Pedro masih linglung.
“Apa jangan-jangan—lebih tua?” tambah Rahma.
Pedro menjawab pelan, “Dua puluh enam.”
Rahma dan aku teriak bareng. “DUA PULUH ENAM?!”
Pedro yang tadi kayak professor mendadak freeze. Lalu mengangkat alis setinggi langit.
“MEANS—LO BERCANDA DAN NGETAWAIN HIDUP SAMA COWOK YANG BEDA EMPAT TAHUN?!”
Aku langsung nutup muka. “Gue udah nggak tau lagi. Gue cuma pengen hidup normal!”
“Ngomong-ngomong Mas, memangnya perusahaan Felix seflexible itu ya? Karena Felix bisa meminta Meisya langsung, gue rasa mungkin nggak ada approved dari kantornya?” tiba-tiba Rahma mengajukan pertanyaan yang sudah lama ada dalam kepalaku.
“Nah, benar sih. Tapi karena Felix CTO jadi gue rasa dia dikasih kuasa penuh.”
“CTO? Chief Technologi Officer?” teriak Aku da Rahma hampir barengan.
Pedro angguk. Kayak hal itu adalah hal yang biasa dia temui sehari-hari. Sedangkan aku dan Rahma ketawa setengah menangis. Terkadang dunia kadang gak adil. Felix yang masih dua puluh enam tahun tapi udah jadi CTO? Kejutan dari semesta lebih mengemparkan dari bom atom Hiroshima. Kami langsung menghela nafas pasrah dengan hidup yang penuh plot twist.
Dan Pedro?
Dia cuma menatapku lama, sebelum akhirnya dengan nada sok misterius bilang.
“Meisya—lo tuh bukan cewek biasa. Lo plot twist.”
Hari itu kami berpisah di depan coffee shop Mas Johan dengan kepalaku penuh teori dan hati—entah kenapa cukup kecewa.
Karena jujur saja aku sempat berfikir kalau aku dan Felix mungkin bisa menjadi sesuatu di masa depan, tapi mengingat perbedaan umur kami yang signifikan. Aku akhirnya mendesah pelan.
“Bukankah lebih baik kecewa di awal daripada menyesal kemudian. Dan lagi mungkin aku yang terlalu mengartikan sikap Felix terlalu berbeda”
Aku kemudia tertawa lirih. Rasanya kepercayaan diriku kembali anjlok.
‘Mungkin udah paling bener, fokus aja sama kerjaan Meisya’
Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan dari Felix.
“Kalau lo gak sibuk, mau bantuin gue tes AI lagi besok sore?”
Aku menatap lama ke layar ponsel, ibu jariku mulai bergerak untuk mengetik “deal” tapi tertahan karena aku merasa mungkin sebaiknya aku menjaga jarak darinya.
Setelah satu jam hanyut dalam pikiran-pikiran negatif. Akhirnya aku mengambil ponsel yang mulai mengetik:
“Gue in kalau ada cemilan.”.
**
Sore besoknya di kantor Felix—lantai 12, ruangan yang wangi karet baru, udara AC dingin berwibawa dan interior yang—terlalu minimalis sampai aku curiga ini kantor atau simulator tanpa perasaan.
Aku datang dengan niat membantu, tapi jujur—otakku masih nyangkut di coffee shop Mas Johan kemarin. Tiap ngeliat Felix, aku kayak harus ngingetin hati buat memanifestasikan bahwa Felix adalah kelinci di bulan penuh. Hanya bisa dikagumi tapi nggak bisa di gapai.
Aku duduk di kursi ergonomis yang rasanya kayak kursi penjara versi mahal. Di depanku, layar monitor penuh warna. Game-nya bagus. Smooth. Tapi dari tadi—kenapa hawa ruangannya aneh, ya?
Mungkin karena suhu AC-nya terlalu dingin?
Atau—karena Felix duduk di ujung ruangan, diem aja, ngetik-ngetik sesuatu yang bahkan nggak kelihatan dari sisiku. Biasanya dia bakal meminta assistennya buat mengawasi sementara dia akan pergi beberapa saat. Tapi hari ini, dia nongol. Kayak entitas misterius yang muncul pas kamu klik NPC rahasia di game.
Aku nyalain mic testing, “Karakter utama nge-freeze pas lompat ke level tiga. Tapi cuma kalau lompatnya pas habis manjat pohon. Itu bug atau hidden feature?”
Suara kursi digeser. Felix jalan pelan-pelan ke belakangku.
‘Kenapa suara napasnya kedengeran ya?
Aku merinding, bukan karena serem, tapi—tapi kenapa dia berdiri deket banget?
“Bukan hidden feature. Itu bug. Tapi lo satu-satunya yang nemu pattern-nya.”
“Oh. Gue emang jago nemu hal-hal aneh.”
Felix diam lama, kemudian menjawab pelan hampir gak kedengaran.
“…Iya. Gue tahu.”
‘Hah? Nadanya beda. Tapi mukanya biasa aja. Flat. Bahkan mata dia—ya ampun, kenapa malah kayak ekspresi orang habis ngoding tiga hari tanpa tidur?’
Aku hendak balik badan. Tapi tiba-tiba tangan Felix di pundakku.
“Stt—diamlah sebentar, rambut lo nyangkut.”
Aku ngefreeze. Dia memegang lembut kepalaku untuk menarik rambutku yang nyangkut di resleting hoodienya. Beberapa menit berlalu. Tapi dia masih disana. Kaku.kayak loading stuck.
“Udah? Lo nggak ada kerjaan lagi?”
“Banyak. Tapi gue bisa ngerjain sambil nemenin lo testing.”
Dia diam sejenak kemudian cepat-cepat menambahkan.
“Maksud gue, biar kalau ada bug lo langsung bisa kasih tau. Real time.”
Aku menepuk jidat pelan. Mengatakan kepada diriku bahwa Felix itu professional. Dia gak mungkin flirting. Dan kayaknya dia kalau flirting perlu coding dulu. Di tambah dengan apa yang di bilang Pedro kemarin. Semakin meyakinkan ku bahwa aku dan Felix mungkin hanya akan menjadi sebatas rekan beta testing aja.
**