Liora: Mama Untuk Salwa

Liora: Mama Untuk Salwa

Liora dan Lagu dari Rumah Goni

🎶“Wa... wa... wa... ma...”🎶

Suara serak itu memecah keheningan pagi. Lagu yang seharusnya lucu malah terdengar seperti ratapan kecil dari dunia yang salah alamat.

Ketika Liora membuka mata, pandangannya disambut atap seng karatan yang bolong di sana-sini. Cahaya matahari menetes masuk seperti bocoran dari langit. Ia sempat berharap ini cuma mimpi buruk, tapi rasa sakit di pelipisnya membantah dengan kejam—terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Ruangan itu kecil dan pengap. Karung goni digantung seadanya, jadi pembatas antara dapur dan kamar. Di pojok ada kompor gas kecil, lemari plastik retak tanpa laci, kasur tipis di lantai penuh tambalan, dan satu meja kayu pincang yang seolah bisa tumbang kalau disentuh. Lantainya bukan semen—hanya tanah yang dilapisi plastik, mungkin sudah diganti puluhan kali.

Liora menatap semuanya lama-lama. Dunia di sekitarnya asing, tapi tubuh ini terasa nyata. Potongan kenangan yang bukan miliknya datang berdesakan: seorang perempuan bernama Liora juga, umur dua puluh satu, tanpa suami, hidup di rumah sempit di pinggiran Jakarta bersama anak kecil bernama Salwa.

Liora menarik napas panjang, separuh dongkol, separuh takut. Ia tahu dirinya sudah mati. Terakhir yang diingat, ia seorang gadis desa, umur tujuh belas tahun, cuma lulusan SD, pekerjaannya Hanya membantu neneknya mencangkul dan menanam sayur. karena menginjak kulit pisang, ia terjungkal ke belakang—ujung kayu runcing lah yang menyambutnya. Liora mengira akan berakhir dikubur. Sekarang entah kenapa, ia malah bangkit di tubuh seorang ibu muda yang bahkan tak punya laci untuk menyimpan mimpi.

“Ma... ma... wa...?”

Suara kecil itu membuatnya menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang balita, rambut acak, mata besar, gigi depan hitam dan pecah. Liora menatapnya bingung.

“Apa?” suaranya serak.

Anak itu menatapnya lama, lalu dengan langkah gontai mengambil gelas plastik kosong di atas meja. Kukunya kotor, bajunya penuh noda. Ia mengulurkan gelas itu sambil bersuara, “Wa... wa... wa... ma...”

Liora mengerutkan kening. “Hah? Apa sih?”

Anak itu menekan gelas ke dada Liora.

“Kau... haus?” tanya Liora ragu.

Balita itu diam.

“Mau minum?” ia memastikan.

Mata anak itu langsung berbinar. “Num num num!” serunya, melompat kecil. Ia menarik baju lusuh Liora, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

Liora berdiri—dan hampir jatuh lagi. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ia bersandar pada tiang rumah sebelum melangkah ke dapur. Di sana ada botol air mineral setengah isi. Ia menuangkan air ke gelas, tapi Salwa keburu merampasnya dengan semangat, menumpahkan separuh ke tanah. Anak itu meneguknya cepat-cepat, seperti orang yang takut airnya akan direbut.

Liora hanya bisa memandangi, tak tahu harus marah atau kasihan. Ia menaruh botol di tempat semula, tapi suara prang! membuatnya menoleh panik. Gelas plastik sudah terlempar ke lantai. Salwa berbaring di tanah, tertawa kecil.

“Hey!” Liora mendekat, mengangkat anak itu. Tubuhnya begitu ringan—terlalu ringan. Sekilas ia menduga berat badan Salwa bahkan tak sampai tujuh kilo. Untuk anak empat tahun, itu seperti memeluk bayangan.

Perut Liora berbunyi. Ia menurunkan Salwa ke kasur , lalu berjalan ke dapur. Di sana ada kantong beras nyaris kosong, beberapa bungkus mi instan, dan sayur layu di pojok ember.

Ia menuang air ke panci, menyalakan kompor gas yang nyaris tak kuat menahan api. Semua bahan dimasukkan begitu saja. Tak ada garam, tak ada minyak—hanya niat untuk tetap hidup.

Uap panas perlahan memenuhi udara, baunya hambar tapi hangat.

Mereka makan di lantai, duduk bersila. Sebelumnya, Liora mencuci tangan Salwa, karena kukunya panjang dan kotor. Ia hanya mencungkil kotoran kukunya dengan lidi karena pemotong kuku tak ditemukan. Anak itu duduk diam dan tenang, wajahnya pucat, matanya seolah tak mengerti dunia di sekelilingnya. Bukan cuma kurang gizi, pikir Liora. Ada sesuatu yang rusak di sini. Terlalu sunyi untuk anak sekecil itu.

“Masih lapar?”

Salwa tidak menjawab. Liora memanggilnya dua kali, “Salwa? Hei, Salwa?” Tapi anak itu tetap diam menunduk, wajahnya menghadap ke piring. Karena penasaran, Liora menarik dagu kecil itu—dan hatinya seperti diremas. Mata anak itu tak merespons, hanya berkedip bingung, mulut belepotan mi.

“Ya Tuhan...” bisiknya, antara gemas dan khwatir. Ia mengambil mangkuk dari tangan anak itu, lalu mulai menyuapi perlahan. Namun Salwa hanya menyimpan makanan di mulutnya. Liora menepuk pipinya lembut, barulah anak itu mengunyah. Tangan Liora gemetar sedikit, tapi ia berusaha tenang. Setelah hampir sejam menyuapi Salwa dengan kesabaran tinggi, barulah selesai. Ia mencuci mangkuk dan menatanya di lemari plastik retak yang nyaris roboh.

Liora memperhatikan anak itu dari jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—bukan kasih sayang, bukan juga iba, tapi semacam rasa asing yang menempel pelan-pelan. Ia menatap telapak tangannya yang kasar dan lusuh, lalu menghembuskan napas panjang.

“Yah... selamat datang di hidup baru, Li. Tubuh orang lain, anak orang lain, utang juga mungkin orang lain. Mantap.”

Setelah perut diisi seadanya, Liora berdiri pelan, matanya menyapu isi ruangan yang nyaris tak bisa disebut rumah. Ia mencari pakaian yang pantas dipakai untuk ‘perjalanan besar’—yang, ironisnya, hanya berarti bertahan hidup sampai sore.

Begitu membuka lemari plastik retak di pojok kamar, ia mendengus pendek.

“Kalau ini disebut pakaian, aku ini presiden,” gumamnya.

Baju-baju yang tersimpan di dalam justru lebih menyedihkan dari yang melekat di tubuhnya: sobek di sisi, bau lembap, dan beberapa sudah berubah warna menjadi sesuatu antara cokelat tanah dan abu dosa.

Akhirnya, Liora menyerah. Ia hanya mencari karet rambut untuk mengikat rambut Salwa. Tak ketemu. Yang ia temukan malah tali rafia yang masih menempel manis di karung goni pembatas dapur.

“Ya sudahlah, rambutmu resmi diikat oleh hasil karya industri plastik,” katanya datar.

Salwa terkikik pelan—tawa kecil yang entah kenapa terdengar seperti ejekan halus terhadap nasib mereka berdua.

“Jangan ketawa. Aku sedang berusaha terlihat waras.”

Liora pun mengikat rambutnya sendiri dengan potongan rafia lain. “Biar kelihatan kembar,” gumamnya, seolah alasan itu cukup untuk menutupi absurditas hidupnya.

Dari pojok kamar, ia mengambil sarung satu-satunya—yang seharusnya jadi alas kasur, tapi kini beralih fungsi jadi gendongan. Salwa menempel di punggungnya, ringan seperti rahasia yang menyakitkan. Liora mengikat ujung sarung di depan dadanya, menarik napas panjang, lalu menatap pintu belakang rumah yang seakan menantangnya.

“Baiklah, dunia. Mari kita ulang lagi dari nol.”

Terpopuler

Comments

💞 NYAK ZEE 💞

💞 NYAK ZEE 💞

hadir Thor.....
nyimak.....

tanya Thor kemarin pada di hapusin kenapa ini up novel baru....
uji nyali ya Thor....😄🤭

2025-10-21

0

Murni Dewita

Murni Dewita

👣

2025-11-05

0

Moh Rifti

Moh Rifti

/Determined//Determined//Determined//Determined//Determined/

2025-10-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!