NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Saat itu hari sudah malam, semua siswa SMA yang merayakan perpisahan di pantai berpasir tampak meriah

Namun Almaira tidak peduli.

Malam ini, adalah malam pernikahan. Itu sebabnya ada ekspresi penuh tekad dalam bayangannya di kaca.

"Aku pasti bisa melakukannya," gumamnya pelan.

Hanya memikirkan apa yang akan dilakukannya saja sudah membuat jantungnya berdebar kencang.

Tetapi Almaira tidak punya pilihan lain sekarang. Ini adalah kesempatan terakhirnya dan dia harus berusaha keras.

"Benar aku harus bisa."

Setelah bergumam sendiri lagi, pintu kamarnya terbuka. Seorang laki-laki tampan melangkah masuk sambil menatapnya dengan dingin.

Penampilannya luar biasa sempurna, seperti tidak pernah sekalipun menerima penghinaan dalam hidupnya.

Dia adalah Yaga Aryasatya Pratama. Sepupu Almaira yang usianya lebih tua enam tahun.

Dan dia adalah CEO, Putra pertama dari keluarga ini, sekaligus calon penerus Pratama Group.

"Almaira, apa kamu sudah siap atau semacamnya?" tanya Yaga

Sambil menatap wajah tampan itu Almaira bicara dengan wajah memerah "Ya, apa ada hal lain yang mau Kak Yaga sampaikan pada Aira?"

"Sebelum itu, apa kamu melihat kalung emas berhuruf Namaku yang di berikan Ibu? Seharusnya itu sudah ada padamu."

"Tidak, Aira belum pernah melihatnya Kak." Entah kenapa Almaira punya firasat buruk tentang ini, tapi Yaga menjawab dengan suara tenang.

"Oh, benarkah?" Jelas sekali, ada ketidakpercayaan di matanya.

Tepat saat itu, Yaga melangkah maju, menyentuh wajah Almaira dan bergumam, "Wajah mu cantik"

Kejadian itu terjadi begitu tiba-tiba. Yaga menatap bibir Almaira dan menyentuhnya. "Itu sebabnya kamu tidak mau memakainya."

"Apa yang Kak Yaga inginkan sebenarnya?" Almaira menepis tangan Yaga dari bibirnya dengan wajah tersipu.

"Kurasa kebiasaan lamamu mungkin akan kambuh lagi."

Almaira membantah, "Aira belum pernah sekalipun berciuman Kak. Lagipula, selama kami berpacaran Aira belum pernah berkencan."

"Lega rasanya, aku pikir semua teman laki-laki mu di SMA tahu kalau kamu akan menikah denganku Almaira. Jadi, kenapa reaksi mu berlebihan?"

Aira malu Kak.. Aira malu, pertama kalinya Kak Yaga menyentuh bibir Aira seperti ini.

Almaira ingin berteriak kalau dia salah paham, tapi dia tidak punya tenaga untuk berdebat.

Almaira tahu, tidak ada gunanya yang bisa dia dapatkan dari melawan sepupunya yang akan menjadi suaminya sendiri ini.

Namun sepertinya, reaksi diamnya Almaira malah membuat Yaga semakin marah. Apalagi melihat wajahnya yang masih tersipu malu.

Tiba-tiba

Yaga mengangkat tangannya dan menjambak rambut Almaira dari belakang. Mengarahkan dagu Almaira ke arah wajahnya.

"…!" Almaira tercengang, tapi dia tahu dia harus menanggungnya. Dia tidak mau membuat keributan. Jadi harus bersabar agar Yaga tidak marah.

Sementara Yaga menekan tenaganya lebih kuat, menarik rambut Almaira di sela-sela jarinya, hingga Almaira mengerang. Yaga yang menatap gadis itu bergumam,

"Kurasa mantan mu di SMA masih mengharap mu seperti ini ya?"

Cengkeraman kuat di rambutnya dan kelembutan dalam suaranya benar-benar berbeda.

"Apa?"

"Kamu bicara berduaan seperti ini dengan wajah yang sama?"

"Aira bilang, Aira belum pernah berduaan Kak. Melakukan Video Call saja Aira tidak pernah. Kenapa..?"

"Jawab saja, aku bertanya padamu."

Merasa terhina dengan kata-katanya, Almaira mengerutkan keningnya dan marah.

"Tidak, lepaskan rambutnya."

Saat Almaira mengaku, kekuatan di tangannya mengendur.

"Lepaskan? Apa itu perintah mu?" Yaga menyeringai tipis, tapi Almaira tidak mau membalasnya.

Yaga melanjutkan, "Almaira, kamu harus bicara sopan padaku. Kalau kamu melakukannya, aku mungkin akan bermurah hati dan memaafkan mu."

Menyadari apa yang dimaksudnya, Almaira mendongak pelan dan bertanya, "Apa Kak Yaga ingin Aira merayu dan memohon seperti biasa?"

"Menurutmu?"

Tepat saat itu, hp Yaga bergetar di sakunya. Setelah ragu sejenak, Yaga melepaskan rambut Almaira dan menjawab panggilannya.

"Apa? Pesta untuk memberi selamat padaku? Apa gunanya Ibu?"

Almaira memanfaatkan kesempatan ini untuk membuka pintu. Suara Yaga terdengar samar saat dia bicara di hp nya

"Ibu, Amera sudah tiba di luar Negeri. Kenapa Ibu harus membuat masalah besar seperti ini? Tentunya, aku akan memanggil Aira dengan namanya karena dia akan menjadi istriku. Dan kenapa aku masih harus menahan diri?"

Terburu-buru keluar kamar, Almaira berpikir dalam hati.

Tapi nyatanya cuma ada Amera di hati Kak Yaga kan. Cinta pertama Kakak.

***

Seperti biasa Almaira terbangun dari mimpinya.

Meski sudah tiga tahun berlalu, kenangan itu masih begitu nyata hingga rasanya seolah pernikahan singkat itu baru terjadi kemarin.

Dengan mata terbuka, dia menolehkan lehernya, melirik sekilas pada jam bulat yang terletak di atas meja samping tempat tidur.

04:40

Ini masih subuh, pikirnya.

Tidak bisa!

Dia yang tadi mau tidur lagi, terpaksa mengangkat kepalanya, seakan alarm yang terpasang di saraf tubuhnya mendesaknya agar segera bangun.

Sebelum turun dari ranjang, dia duduk sejenak untuk merilekskan tubuhnya lalu kemudian, dia melihat sekeliling.

Mengamati segala sesuatunya di kamar itu. Yang membuatnya tersadar, bahwa dia masih tinggal di rumah suaminya yang besar.

Rumah besar di lindungi oleh pengawasan yang ketat, jadi mustahil untuk Almaira bisa pergi sesuka hatinya.

Awalnya, dia merasa putus asa, tetapi seiring bertambahnya waktu, dia semakin menyukai kehidupannya disini.

Di rumah itu, bukan cuma karena para pelayan nya ramah dan tulus, cara mereka melayani pun sangat luar biasa mahirnya.

Kamarnya luas, dirancang seperti suite hotel dengan tempat tidur, ruang tv ruang ganti dan kamar mandi pun terpisah.

Setelah mengumpulkan banyak energinya

Pertama yang ingin dilakukan Almaira adalah merapikan tempat tidur, mencuci muka di kamar mandi, menggosok gigi hingga bersih. Baru kemudian, dia keluar dari kamar menuruni tangga hingga lantai dasar. Tempat dimana melakukan tugas rutin setiap hari

Setelah sampai di bawah, Almaira menyalakan lampu dapur, mencuci piring dan gelas kotor bekas dia pakai semalam hingga bersih di wastafel.

"Pagi Non." Salah satu pelayan di rumah itu tiba-tiba bertanya, saat Almaira melirik, dia melihat sosok Bibik sekitar 50 tahun berdiri dengan bingung sambil tangannya memegang sapu dan kain lap yang terlampir di bahu kirinya.

"Pagi Bik"

"Loh, Non, bukannya Non kemarin sudah di beritahu Nyonya, kalau Non tidak boleh melakukan.."

"Tidak apa-apa Bik, piring kotornya juga cuma sedikit kok. Bibik lanjutkan saja bersih-bersih rumahnya ya."

"Tapi Non ini..."

"Sudahlah Bik.. tidak apa-apa. Bibik pergi saja, biar Aira yang mengurus pekerjaan di dapur. Hm?" Almaira tersenyum

"Oh, baik Non. Kalau begitu saya permisi, kalau Non ada butuh apa-apa panggil saja Bibik."

"Ya Bik." Almaira tersenyum "Eh Bik..!"

Bibik yang baru saja mau pergi, berhenti lagi. Memutar tubuh kearah Almaira.

"Ya, Non. Apa Non Aira butuh sesuatu?"

"Tidak, bukan itu Bik. Aira cuma mau tanya, tadi malam, Tante Rita bilang apa saja sama Bibik?"

"Oh... itu Non, Nyonya bilang, Tuan Muda Yaga akan kembali sebentar lagi."

"Oya? Kapan?"

"Bibik tidak tahu Non, tadi malam Nyonya cuma bilang, agar semuanya segera di persiapkan."

"Mmm, jadi begitu ya. Terimakasih ya Bik."

"Sama-sama Non." Bibik berbalik badan "Oya Non, Bibik hampir lupa."

"Apa yang Bibik lupakan?"

"Nona tahu tidak? Empat hari mendatang adalah hari ulang tahunnya Tuan muda!"

"Hah? Bibik tahu dari mana? Aira yang sudah jadi istrinya saja lupa, Kak Yaga hari ulang tahunnya kapan."

"Ah, masa sih Non? Bibik tidak percaya. Selama Non tinggal di rumah Nyonya, kan cuma Non yang dekat dengan Tuan muda."

"Ya iya sih, tapi itu kan dulu, sebelum Aira menikah dengan Kak Yaga. Bibik juga tahu Aira setuju menikah karena alasan apa. Dan Bibik tidak tahu ya? Bagaimana canggungnya Aira menikah dengan Kak Yaga yang awalnya Kakak sepupu berakhir menjadi suami sendiri."

"Aish, itu tidak benar, Non Aira salah besar. Tante Rita dan Ayah Non itu tidak ada hubungan sedarah."

"Aira tahu, Ayah adalah Adik tiri Tante Rita. Tapi tetap saja, situasinya aneh bagi Aira. Apalagi kami dulu pernah tumbuh bersama. Dan sekarang, huhh."

"Bibik tahu, Non dulu pernah tumbuh bersama, karena Nyonya Rita yang mengadopsi Non dari bayi sampai sekarang."

"Bibik juga salah, dulu kan Aira memang di adopsi. Tapi tidak berlangsung lama. Saat Aira berusia lima tahun. Ayah dan Ibu meminta Aira kembali untuk di besarkan sampai Aira lulus SMP di kampung. Baru setelahnya, Aira benar-benar tinggal di kota ini selamanya."

"Tapi kan Non, setiap Non libur sekolah, Non selalu menghabiskan masa liburan Non di rumah Nyonya. Saat itu juga, Nyonya suka mengajak Non bertamasya bersama dengan Tuan Muda dan Adik perempuannya."

"Mmm, benar juga. Tapi akhirnya, entah apa yang di janjikan Om Pratama dan Tante Rita pada Ayah dulu, sampai Aira harus menikah dengan Kak Yaga setelah Aira baru lulus SMA. Dan Kak Yaga juga..."

"Aduuh.. maaf Non, Bibik bukan bermaksud menambah luka masa lalu di hati Non. Sekali lagi.. maafkan Bibik ya Non."

"Tidak apa-apa Bik. Aira juga tahu, tujuan Kak Yaga pergi ke luar Negri selama tiga tahun ini untuk apa."

"Bibik tahu, beliau pasti pergi untuk urusan pekerjaan apa bisnis ya Non namanya. Bibi lupa. Itu yang pernah Nyonya bilang pada Bibik."

"Tidak Bik, Kak Yaga pergi bukan karena itu."

Tapi dia pergi menyusul Amera, cinta pertama Kak Yaga.

Bibik terdiam, tidak tahu harus bicara apa melihat Almaira yang tiba-tiba menundukkan kepalanya dengan padangan kosong. Menahan rasa sakit sendiri seperti benang kusut yang menyiksa di lehernya.

"Mmm... kalau begitu, Bibik permisi dulu ya Non."

"Ya Bik silahkan, lanjutkan pekerjaan Bibik." tersenyum.

Dan Bibik pun melangkah pergi, meninggalkan Almaira sendirian.

Dengan gerakan lambat, Almaira kembali melakukan tugasnya mencuci piring, memotong sayuran dan buah yang baru saja dia ambil di kulkas. Membuat makanan sendiri untuk sarapan.

Sebenarnya Almaira merasa ambigu kali ini. Entah itu apa, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Karena tidak boleh melakukan tugas yang ingin dia lakukan seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah agar tetap bersih dan nyaman.

Itu karena di larang oleh Rita dari beberapa hari yang lalu. Almaira tahu, tujuan Rita mengajari tugas rumah hanyalah untuk mendidik dan bukan hal lainnya.

Namun buruknya, terkadang, gadis itu suka menyalah artikan maksudnya. Merasa diri bukan siapa-siapa di rumah Rita yang besar itu dulu.

Ya seperti itu gambaran hatinya

Meski begitu, Yaga dan Almaira dulu cukup dekat, sebagaimana layaknya hubungan Kakak dan Adik sepupu. Dengan usianya yang lebih tua enam tahun, laki-laki itu memang cocok di jadikan teman untuk sekedar saling mengobrol. Seperti pembatas sakral yang tidak boleh di lewati.

Namun, siapa sangka dan entah awalnya dari mana yang membuat Kak Yaga setuju menikah dengan Aira. Sementara rumornya, laki-laki itu masih menjalin hubungan dengan cinta pertamanya sampai sekarang.

Hhh sungguh Aira tidak mengerti, kenapa tidak selamanya saja, Kak Yaga tinggal di luar negeri bersamanya? Dengan begitu, Aira bisa hidup dengan bebas tanpa ada rasa canggung yang mengganggu disini.

Toh, saat Kak Yaga tiba, pasti ujung-ujungnya cuma iseng menyuruh Aira ini dan itu. Dan melarang Aira melakukan itu dan ini. Dia memang licik.

Aira masih ingat, dulu Kak Yaga pernah bilang, kalau dia alergi di sentuh perempuan. Gila! Memang.. Aira dan Amera bukan perempuan ya? Seenaknya saja, Kak Yaga membenarkan rumor itu tanpa rasa malu.

Hhh, Kak Yaga memang benar-benar menyebalkan.

Tapi untunglah, walaupun kami sudah menikah, selain kontak fisik, kami belum pernah sekalipun saling mengecup bibir dan keningnya satu sama lain, tidur bersama, malam pertama atau apapun itu namanya

Karena sesungguhnya Kak Yaga membenci ku.

Terbukti dari setelah kita menikah, malam itu Kak Yaga pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa. Sikapnya berubah. Aira juga ditinggalkan di rumah ini sendirian selama tiga tahun.

Itu sebabnya, saat bertemu kembali, Aira ingin rasanya kita bercerai saja. Tapi...

Apakah keinginan Aira bisa terwujud?

Dengan begitu Aira bisa dengan bebas menjalin hubungan dengan laki-laki yang Aira cintai kan?

Almaira sambil duduk sarapan, dia merenung dalam diam

Perceraian adalah satu-satunya jalan keluar bagi Almaira. Ini adalah keputusan yang sulit untuk dibuat, dan meskipun dia sudah lama mengatur strategi ini, dia tidak bisa bersantai.

Sambil menekan jantungnya yang berdebar kencang, Almaira perlahan melangkah mengikuti alunan angin musim semi. Di ujung jarinya yang kemerahan, aroma segar bunga di taman memenuhi udara.

Pemandangan taman yang dipenuhi bunga itu tampak indah dan menenangkan.

Saat terakhir kali Yaga ada di rumah ini adalah tepat setelah kepergian cinta pertamanya yang bernama Amera

Sorang gadis teman sekelas Almaira, yang tiba-tiba pergi melanjutkan studinya untuk kuliah di luar Negri.

Mungkin, itu sebabnya Bibik berusaha keras untuk membuat rumah ini kembali seperti rumah pengantin baru.

"Wah, berapa lama kita tidak bertemu?''

Suara-suara yang terdengar agak familiar

Pelayan dan dua pelayan lainnya mengobrol di halaman rumah belakang. Sepertinya mereka baru saja di pindahkan Rita kesini mulai hari ini.

Aslinya, ketika mereka datang, gerbang rumah belakang harusnya ditutup. Tapi karena Bibik sibuk di rumah utama, sepertinya ada kelengahan.

"Lihat! Selama tinggal di rumah ini, wajah mu semakin berseri ya."

"Ah, kamu bisa saja deh. Kalian di pindahkan kesini atas perintah dari Nyonya Besar juga kan?"

"Tentu, Tuan Muda akan segera kembali, jadi harus begitu."

"Itu wajar, rata-rata kan, Nyonya rumah memang begitu."

"Iya juga sih ya, padahal, dari dulu aku ingin bekerja di rumah ini, dari setelah Nona Aira menikah. Tapi aku senang, setelah sekian laman aku mencari kesempatan, akhirnya aku bisa kembali melihat Nona Aira disini. Hehe.."

"Perasaan, waktu terakhir kali kamu pernah bilang kamu senang berkerja di rumah Nyonya Besar deh sepertinya?"

"Hehe, kalau itu sih dua-duanya. Bagaimana dengan mu?"

"Aku?"

Almaira menggerakkan bahunya sambil menoleh ke arah tiga pelayan lama yang sedang berbaur di balik tembok.

"Apa aku harus bilang ini?"

"Apa itu? Katakan saja."

"Mereka bilang, Tuan Muda mungkin.. akan menghabiskan malam pertama di hari ulang tahunnya."

"Apa kamu bilang? Tuan muda akan... Aish, kamu tahu kabar yang begituan itu darimana?"

"Walau masih belum pasti, tapi... Ku dengar Tuan Besar dan Nyonya Besar sudah membicarakannya."

"Waaah, sungguh? Kalau itu benar teman-teman kita yang lain tahu, pasti heboh."

"Dasar tukang gosip, kamu pasti iri kan?"

"Aku iri? Mana berani aku. Yang ada aku malah senang melihat Nona Aira akhirnya bersatu dengan Tuan muda."

"Ah, benar juga ya. Hei, kamu ingat tidak, saat Nona Aira merayakan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh satu tahun. Nyonya Besar bilang semua tamu laki-laki muda yang di undang. Mengakui Nona Aira sebagai cinta pandangan pertamanya."

Belum terdengar jawaban dari lawan bicaranya

Dasar gila.

Tawa kecil lolos dari bibir Almaira

Entah ulah siapa lagi yang sengaja menyebarkan rumor seperi itu.

Dengan mudah, Almaira bisa membayangkan wajah arogan Yaga bila mendengar rumor itu, reaksinya pasti seolah-olah dunia ada dalam genggamannya.

Kamu harusnya bersyukur, karena akulah yang akhirnya menikah dengan mu.

Membayangkan matanya yang angkuh saat bicara seperti itu, rasanya sungguh absurd tapi juga membuatnya merasa sedikit terhina.

Saat momen itu meluncur keluar, emosi yang berkecamuk di dalam diri Almaira tiba-tiba menghilang, seperti gelembung yang pecah. Sejak julukan Nona Muda menjadi bagian dari identitasnya, Almaira telah melalui banyak hal.

Saat Almaira memutuskan untuk berbalik dan pergi, sebuah pandangan membuatnya gemetar. Di tengah keheningan yang terasa menyejukkan, dia bertemu dengan tatapan dingin.

Sepasang mata seperti predator, langkahnya anggun, namun penuh kewibawaan. Sosok laki-laki tinggi dengan setelan berwarna navy gelap berjalan melewati jalan setapak di taman itu.

Postur tubuhnya besar dengan aura yang mengintimidasi membuat Almaira merasa lebih mirip patung daripada manusia hidup.

Dia memandangi wajah Almaira seperti pemilik sah yang sedang menilai barang miliknya. Tatapan mata itu penuh dengan keanggunan yang melekat pada jiwanya, seperti menganggap semua orang yang bukan siapa-siapa di sekitarnya hanyalah debu yang berterbangan.

Almaira mengenal sosok itu.

Dia suaminya, Yaga Aryasatya Pratama, CEO Pratama Grop.

Sosok laki-laki itu sering muncul di berita hampir setiap hari. Bahkan, setiap reporter menyebut namanya seperti idola. Nama yang memiliki kekuatan lebih besar dari kebenaran itu sendiri. Karena dia adalah pewaris potensial keluarga Pratama yang juga menjadi sumber dana bagi stasiun TV tersebut.

Karena Yaga sudah menjadi suami mu, layani dia dengan penuh penghormatan.

Saat dulu mendengar Ayahnya mengatakan itu, Almaira sempat mencibir. Bukankah semua tugas istri pada dasarnya sama saja ya? Namun ironisnya, dia yang masih di bawah tekanan aura laki-laki itu, merasa kewalahan.

Apalagi melihat Yaga yang sudah berdiri di depan hanya dengan jarak beberapa langkah darinya, memandang dengan intens.

Tatapannya dingin, penuh penilaian, seperti menantang keberadaan Almaira di tempat itu.Tanpa perlu menambahkan kata-kata yang menonjol, pandangan matanya sudah cukup mengatakan

Lama tidak bertemu. Dengan cara yang seolah di bungkus sopan santun

"Dulu, waktu aku masih muda dan bodoh, aku merasa hancur setiap kali membayangkan Tuan muda menikah. Tapi kalau soal menikah dengan Nona muda, itu lain lagi ceritanya. Sekarang, aku rela melihat mereka bahagia walau pernikahan mereka tertutup."

"Hebat sekali ya, ternyata, kamu benar-benar cinta sejati. Tapi omong-omong, cerita di malam pertama itu... Apa mereka benar-benar belum di perbolehkan berhubungan intim? Bukankah, itu sebabnya Tuan muda pergi ke luar Negri?"

"Apa yang kamu bicarakan? Kamu sudah gila, ya? Rumornya, ada yang bilang kalau Tuan muda pergi menyusul cinta pertamanya."

"Oh, jadi yang kabarnya mereka belum pernah berciuman, kamu mendengarnya juga?"

"Dulu sih, tapi kan itu belum tentu benar."

Sambil mengabaikan obrolan ambigu dari balik tembok, sosok laki-laki di hadapan Almaira dengan santai mengarahkan pandangannya ke bawah. Tatapan yang awalnya acuh tak acuh kini berubah menjadi tajam, menelusuri tubuh Almaira dari kepala hingga kaki. Sampai akhirnya berhenti di bibir manisnya yang berwarna merah muda alami itu.

Sejujurnya, setelah insiden pernikahan itu terjadi, perasaan Almaira perlahan terkikis tanpa henti. Seolah takdir melemparkan dirinya ke dalam jurang penghinaan yang tiada akhir. Kepolosan, keceriaan, dan keriangan yang pernah dia miliki hancur seketika dulu.

Ada hari-hari ketika dia menyerah dengan nasib itu, tetapi kehilangan rasa percaya diri, ternyata bukan sesuatu yang benar-benar bisa dia terima.

"Astaga, kamu lihat baik-baik bagaimana rupa wajah Nona! Gila, cantik sekali. Dulu waktu mereka menikah, kita semua berkumpul dan berdoa agar sekali saja kita di beri kesempatan buat melihat mereka berciuman."

"Diamlah, dasar tukang heboh. Nanti kalau kita kedengaran bagaimana?"

Tatapan Yaga yang sebelumnya tertuju pada bibir Almaira, perlahan naik menelusuri wajahnya. Ketika angin berhembus, rambut panjangnya bergoyang, menampar wajah Almaira yang halus dan indah. Saat itu, alis salah satu mata Yaga terangkat perlahan.

Tangan Almaira yang sedari tadi mengepal dingin, kini memucat. Rasa malu yang melanda luar biasa membuat kedua pipinya berdenyut memanas, dia berusaha keras menjaga ekspresi agar tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kenapa tampangmu jadi serius begitu? Itu kan dulu, saat Nona kita masih terlalu muda. Lagipula, siapa percaya kalau Tuan Muda belum pernah sekali pun menciumnya. Mereka kan pernah tumbuh bersama, setidaknya Nona muda, pasti pernah di cium pipinya kan?"

"Ah, itu tidak mungkin, saat itu kan, kabarnya Tuan muda sudah menjalin hubungan dengan cinta pertamanya."

"Mmm bisa jadi. Apa kamu pernah berpikir kalau Tuan muda hanya mengejar keuntungan dari menikahi Nona Aira?"

"Yah, mungkin bisa jadi begitu kan? Aku sangat khawatir, kira-kira bagaimana ya, nasib Nona Aira kedepannya saat menjalani hidup bersama Tuan muda."

"Lagipula, bukankah semua akan berubah? Nona Aira tidak bisa bertingkah manja lagi di depan suaminya. Apa itu gara-gara Nona Aira masih berpikir, sikap Tuan muda tidak sama dengan yang dulu?"

"Hhh, sayang sekali ya? Nona kita masih sangat polos, tidak ada yang berubah."

Merasa darah mengalir cepat ke tengkuknya, kulit pipi Almaira rasanya panas.

Di balik keheningan, Yaga tetap memandang Almaira seolah mengikat pandangannya.

Dalam celah itu, percakapan yang sebelumnya terdengar di balik tembok, menghilang entah kemana.

Andai aku tahu dari awal kalau dia yang akan menjadi suamiku. Sekalipun Amera menolak, Aira pasti akan berusaha mati-matian untuk menjodohkan Kak Yaga dengannya. Agar aku bisa lari dari pernikahan yang memusingkan ini.

"Sudah lama," akhirnya Yaga bicara memecah keheningan. Ia menunjuk ke arah kursi di taman, meminta Almaira untuk duduk. Saat angin berhembus lagi, aroma maskulin familiar yang disukai Almaira menusuk hidungnya.

Tanpa menunggu, Yaga duduk di kursi sebrang dengan punggung tegak seperti batu yang anggun.

"Oh" Almaira yang bingung sejenak, tersenyum dan ikut duduk. Sambil mengamati dia perlahan bicara "Aira tidak menyangka Kak Yaga akan pulang secepat ini."

Kak Yaga?

Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia memanggilnya seperti itu. Ketika mendengar gadis lain yang menyebutnya, Yaga selalu berkhayal tentang merobek mulut mereka. Namun Almaira sebaliknya. Ketika dia memanggilnya begitu, dia sangat senang.

Almaira menunduk bingung melihat tatapan tajamnya. Duduk di hadapan Yaga, dia merasa seperti kembali menjadi anak kecil lagi.

"Kamu sudah dewasa sekarang ya." Nada suaranya menggelitik telinga Almaira.

Ini tidak terduga bagaimana dulu Kakak sepupunya sangat ketat dengan aturan. Namun sekarang, dia yang duduk di depannya sebagai seorang suami. Hanya membuat Almaira merasa semakin canggung.

"Kamu juga tidak pakai riasan." Suara rendahnya menusuk dalam-dalam ke indra Almaira. Jantungnya berdebar kencang saat perasaan aneh memenuhi dirinya. Lehernya terasa hangat dan Almaira mengepalkan tangannya.

"Ngomong-ngomong…" Sambil melihat tinjunya, Yaga melanjutkan, "Ibu memasukkan mu ke universitas yang sama dengan tempat Anita kuliah, tapi kudengar kamu mengundurkan diri."

Mata Almaira membelalak. Dia tidak menyangka bahwa laki-laki itu telah mendengar apa yang terjadi padanya.

Dia bergumam pelan, "Ada keadaan yang tidak terduga…"

Tidak seperti sebelumnya, Yaga tidak bertanya kenapa. Lagipula, Almaira masih berpikir, dia bukan Kakak sepupunya yang dulu lagi, apalagi teman curhat.

Melihat matanya yang hitam dan dingin tampak cekung karena kelelahan. Energi dinginnya membuat Almaira merasa keberaniannya terjatuh ke tanah, tetapi dia tahu dia harus melakukan ini.

"Itu…" Sambil berusaha menatap matanya, Almaira menambahkan, "Kak Yaga, bagaimana kalau kita bercerai saja?"

Saat tidak mendapat jawaban, Almaira menjadi cemas. Tapi, dia tetap melanjutkan, "Jika Kak Yaga harus menikah dengan seorang yang Kakak cintai. Kak Yaga akan merasa lebih nyaman menikah dengan Amera daripada dengan menikahi Aira kan?"

Yaga bertanya dengan suara dingin, "Almaira, apa kamu masih ingat apa itu pernikahan?"

Sial! Kenapa Kak Yaga mengulang pertanyaan dulu lagi. Beberapa kesepakatan sebelum kita menikah.

"Ya Aira masih ingat, kalau Aira harus bersedia melayani Kak Yaga dan siap melakukan yang terbaik."

"Selain melakukan banyak hal bersamaku. Ku pikir ini sudah saatnya aku harus menambahkan."

"Menambahkan apa?"

Ketika melenceng dari pertanyaannya, Almaira bingung. Dia telah membayangkan banyak skenario berbeda untuk melakukan ini, tapi ini bukan salah satunya.

Karena dia tetap diam, Yaga menjelaskan tanpa berkedip,

"Mulai dari sekarang dan seterusnya kamu harus bersedia tidur denganku meskipun dulunya aku sepupu mu."

Degh,

"Maksud Kak Yaga?"

Almaira tersipu malu karena ucapannya yang tiba-tiba. Saat itulah Yaga bergumam, "Sepertinya, kamu masih tidak paham pada apa yang kukatakan bukan?"

"Tunggu!" Baru mau berdiri Almaira memanggilnya, mata lelah Yaga tertuju padanya.

"Walaupun Aira tidak tahu soal itu, tapi…" Dia menghela nafas sejenak dan melanjutkan, "Tentang tugas utama sebagai istri, Aira mungkin.. bisa melakukan yang terbaik."

Yaga tidak mengucapkan sepatah kata selama beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum tipis. Mencondongkan tubuh ke arahnya, dan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Almaira, kemudian dia menyentil dahinya.

"A'sakit." Dia mengusap keningnya yang berdenyut

 "Masuklah."

Kedengarannya seperti dia mendapat penolakan, dan Almaira menjadi malu sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!