Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku istrinya!
Tak kudengar kata-kata wanita itu lagi, yang keluar dari mulutnya adalah suara gugupnya. bisa kudengar nada yang gemetaran dan juga keterkejutannya.
"Bisakah, kita ketemu besok?" ajakku.
"Aku ingin tahu, siapa kamu? Setelah itu, aku akan memberikannya padamu, lelaki yang kau inginkan itu," ucapku, berhenti sejenak untuk menghirup udara.
"Direstoran Orion pukul 4 sore, kamu pasti tahu tempat itu, kan." Aku menyudahinya segera, memutuskan sambungannya dan menaruh kembali dimana ponsel itu disimpan dengan tangan yang gemetar.
Pelan-pelan aku mulai terisak lagi, aku sudah menahannya agar tak jatuh namun tetap saja air mata ini kembali membendung dan tumpah.
Aku menghapusnya dengan kasar, "Kuat-lah, Zea, kamu harus kuat. Kamu pasti bisa melawannya," ucapku menguatkan diri sendiri.
Aku duduk ditepi ranjang, hendak merebahkan diri suara pintu mengalihkan perhatianku. Ada mas Reza diambang pintu, menghembuskan nafasnya sambil kacak pinggang.
"Sayang, aku menjemputmu kekantor. Ternyata kamu sudah pulang lebih awal, kupikir kamu belum pulang," ucapnya, terlihat cemas.
Aku tak dengar suara mobil, mungkin aku terfokus pada Alana jadi tak dengar bahwa suamiku sudah pulang.
"Kalau mas mau pergi lagi, silahkan! Aku ingin istirahat," usirku dengan halus.
Aku tahu mereka sudah janjian untuk ketemu, setelahnya apalagi selain menyatu dalam selimut hangat. Aku berusaha tak cemburu, walau hatiku berkata ini sangat menyakitkan.
Entah kebohongan manalagi yang akan terbongkar dengan sendirinya.
"Sayang, aku gak akan kemana-mana. Aku akan disini, aku rindu kamu dan Arsya juga. Aku harap kita seperti dulu," ucapnya dengan nada lembutnya, dengan entengnya tanpa ia ingat bahwa ia sudah membuat anak dan istrinya terluka.
"Kaca yang retak mungkin bisa disatukan kembali, tapi ia tak seperti dulu lagi. Retakannya membekas dan tak bisa hilang begitu saja, pergilah! Kekasih love love mu menghubungimu barusan. Katanya ia sudah menunggumu untuk jatah batin, sayangnya bukan nafkah batin lebih tepat ke perzinahan," ujarku.
Aku merebahkan badanku, aku malas untuk makan apalagi berdebat. Aku hanya ingin tidur sekarang, melupakan masalah sejenak dengan tidur membuatku tetap waras.
Kudengar pintu kamar ditutup kembali, setelahnya suara mobil kudengar menyala diluar, seterusnya aku tak tahu tapi aku yakin sudah pasti suamiku bertemu selingkuhannya.
"Tetap tenang Zea, biarkan dia pergi," gumamku kepada diriku sendiri.
Memang diriku bisa tenang, hanya saja hatiku masih enggan menerimanya. Aku masih berharap ini mimpi yang ketika aku bangun semua kembali seperti dulu, nyatanya tidak. Aku bodoh dan masih berharap pada pria yang menjadi suamiku.
Faktanya, aku merasa seperti hidup sendiri.
......................
Jalan ini begitu rumit dan berliku, kadang aku mikir dan bertanya, kenapa kebahagiaan itu begitu singkat?
Kulihat awan hitam dilangit itu, sudahkah musim berganti ataukah awan hitam itu hanya sekedar lewat saja, terhempas oleh angin yang sejuk. Atau kah angin itu justru menyuruh awan hitam itu untuk menurunkan hujan, lalu musim pun berganti.
Didalam bis kota ini, semuanya orang sibuk. Namun, apakah mereka juga pernah mengalami hal yang sama sepertiku?
Jawabannya berbeda, tapi ujungnya sama yakni rasa sakit.
Kini dihadapanku adalah perusahaan milik Elang, aku berjalan dengan kepala ditekuk kebawah. Bisik-bisik masih ramai terdengar, aku pun hanya bisa diam. Malu memang, tapi aku salahnya dimana?
"Bu Zea!" seorang wanita menghampiriku.
Dia cantik dan masih muda, berambut panjang bergelombang, pipi tirus dengan postur tinggi langsing bak model.
"Iya, siapa ya?" jawabku sekaligus bertanya, aku rasa pernah bertemu tapi aku tak ingat.
"Aku Maya, Bu. Kemarin kan, ketemu saat meeting," jawabnya.
"Oh, bu Maya dari bagian pemasaran, kan," seingatku begitu.
"Iya, Bu. Anda hendak kemana?" tanyanya.
"Tentu saja kemeja kerja ku," begitu ku jawab, dengan begitu kaku.
"Oh begitu, mari Bu. Sambil berbincang kita jalan saja," ujarnya.
Aku mengangguk, tersenyum canggung padanya. Kami berjalan menuju lift sambil mengobrol hal receh, ini pertama kalinya ada yang menganggapku ada. Rata-rata dari mereka sangat cuek, tapi Maya baik juga ia sudah membuatku tertawa dan bersemangat untuk kerja hari ini.
Ia sangat ramah dan juga sopan, menurut penilaianku. Aku dan dia pun jadi akrab seketika, padahal usia kami cukup jauh.
Kami berpisah dilift lantai ke dua puluh tujuh, dia berpamitan denganku dengan melambaikan tangan jadi aku pun membalasnya. Pagi ini aku benar-benar senang, karena mendapat rekan baru.
Aku duduk dimeja kerjaku, merapikan berkas lanjut melihat file sisa kerjaan kemarin. Sambil menunggu sang bos datang.
"Selamat pagi, Pak," Sapaku tersenyum manis, kala Elang dan pak Er datang.
Elang melirikku dengan mengangkat sebelah alisnya, namun setelahnya ia mengabaikan aku dan langsung keruangannya tanpa sepatah kata pun.
"Semangat sekali, apa ada hal yang membahagiakan?" tanya pak Er.
Aku mengangguk senang, "Iya, aku sekarang punya teman dikantor ini. Namanya Maya dari bagian pemasaran," jawabku.
"Maya, oh ya," Pak Er mengangguk-angguk pelan.
"Saya juga kenal, dia memang rekan yang baik," ujarnya lagi, namun kepalanya tampak memikirkan sesuatu ia tersenyum canggung lalu melangkah ke meja kerjanya.
Aku merasa ada yang aneh, tapi sudahlah yang penting aku punya teman sekarang.
......................
Aku pulang kerja lebih awal untuk menemui selingkuhan suamiku, ditempat yang sudah aku tentukan aku duduk sembari meremat jemariku. Antara takut, marah dan kecewa bergejolak didadaku.
Cukup lama aku menunggu wanita itu, entah keberapa kali aku melihat kearah pintu masuk restoran tersebut. Hingga sekian menit menunggu tak ada juga orang tersebut datang. Aku mulai kesal sendiri, setan dalam hatiku mulai berbisik bahwa ia tak akan datang.
Akhirnya, aku beranjak dari tempatku untuk pergi. Tapi saat beranjak, seseorang menyapaku.
"Zea, tak kusangka kamu disini juga," ucap wanita berambut lurus panjang, ia cantik tentunya karena perawatan mahal.
Dia masih seperti dulu, sifat sombongnya, tinggi hatinya juga kedua tangannya yang selalu berpangku. Tak lupa tatapan matanya yang selalu merendahkanku, merasa dirinya paling hebat.
Itulah Alana saphira hermawan, anak kedua dari keluarga kaya yang memiliki salon kecantikan dikota ini. Orang tuanya pemilik perusahaan wan group beauty, perusahaan skin care yang tergolong perawatan mahal ala sultan.
"Iya, aku sedang menunggu seseorang," jawabku lalu kembali duduk.
"Benarkah, aku juga sedang mencari seseorang. Ia orang yang penting, tapi sepertinya belum datang," ujar Alana sembari melirik jam mahalnya yang menempel ditangan kirinya.
Ia duduk berhadapan denganku, ya seperti itulah ia. Tanpa dipersilahkan pun ia duduk sendiri, seolah dunia ini miliknya.
"Siapa?" tanyaku sambil meminum jus jeruk yang tinggal setengahnya.
"Itu bukan urusanmu, kau tak perlu tahu," dengan ketusnya Alana menjawab.
"Sepertinya aku orang yang kamu cari, bukankah kamu selingkuhannya Mas Reza." Aku membalasnya dengan tatapan sinis.
Alana tertegun, bibirnya terbuka dengan mata yang lebar. Ia melihat setiap sudut wajahku, seakan mencari apa yang ingin ia temukan. Mungkin kebohongan.
"Ka-kamu, siapanya mas Reza?" tanya Alana terdengar gugup.
"Perkenalkan, Aku istrinya!" jawabku dengan sangat tegas.
kenapa harus pelit sih ma istri..