Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7
Penthouse mewah keluarga Kazehaya. Ruang tengah bernuansa elegan, kaca-kaca tinggi memantulkan sinar matahari pagi.
Di layar TV besar, video sparring Kia dan Ustadz Damar diputar berulang-ulang, diselingi berita dari berbagai saluran gosip dan dakwah.
Nyonya Silvia berdiri dengan wajah pucat karena marah, memegang remote TV yang hampir diremukkan di tangannya.
"APA INI, KIA? APA-APAAN INI?!"
Suara tingginya menggema.
Kia muncul dari tangga atas dengan hoodie besar, rambut highlight merahnya acak-acakan, wajahnya tanpa makeup, tatapannya lelah. Tapi dagunya terangkat.
"Video viral, Ma. Dunia udah lihat gue tanding. Gimana? Keren, kan?"
Nada sinis keluar, walau matanya sembab.
"Keren?! Kamu mempermalukan keluargamu! Mempermalukan aku! Di dojo! Di depan publik! Dengan ustadz warisan pesantren, calon suamimu! Pakai... TANK TOP?! APA KAMU GILA?!"
"Gue cuma jadi diri gue sendiri, Ma. Gue nggak pura-pura alim terus tiba-tiba berubah pas kawin." Balasnya dengan nada mengejek.
"Kamu pikir keluarga Al-Firdaus akan tetap terima kamu setelah ini? Mereka bukan dunia kamu, Kia! Kamu pikir mereka akan biarkan anak emas mereka menikahi... perempuan liar macam kamu?!"
Suaranya menurun, tapi penuh keyakinan pahit.
"Nggak akan, Ma. Gue udah tahu. Mereka pasti batalin semuanya. Nggak ada ustadz yang mau istrinya kayak gue. Gue udah biasa ditolak. Tenang aja."
"Kalau kamu tahu, KENAPA KAMU LAKUKAN ITU?! Kenapa kamu harus hancurkan satu-satunya kesempatanmu untuk jadi 'perempuan baik-baik'?!"
"Karena gue bukan perempuan baik-baik, Ma! Gue bukan kamu. Gue bukan perempuan kaleng-kaleng yang dibentuk buat dipajang di sampul majalah keluarga internasional! Gue ini... rusak. Tapi dia Damar dia nggak takut deketin gue!"
"Justru itu yang bikin dia lemah! Kamu seret dia masuk ke dunia kamu! Dunia yang bau keringat, penuh luka, dan nggak punya adab!" Bentaknya Silviana.
"Yaudah batalin aja, Ma. Batalin semuanya. Kirim gue ke Swiss, ke Jepang, ke mana pun. Tapi jangan larang gue buat percaya bahwa ada satu orang yang ngelihat gue bukan sebagai aib!"
Kia berbalik, naik ke kamarnya.
Tapi dalam hati dia tahu.
Pernikahan itu mungkin sudah tamat.
Tapi perasaannya pada Damar belum siap dimakamkan.
Kamar Kia yang luas tapi berantakan. Jaket motor tergantung di kursi, sarung tangan sparring tergeletak di lantai. Dinding penuh poster seni bela diri, foto-foto lama, dan potret dirinya bersama almarhum ayahnya.
Kia membanting pintu kamarnya dan terkunci dari dalam.
Hening sejenak.
Lalu…
"YES!!!" Teriak Kia sambil melempar dirinya ke atas tempat tidur.
"Berhasil... gue berhasil! Hahaha!"
Dia menggulung-gulung di atas ranjangnya seperti anak kecil. Matanya bersinar, bukan karena senang bikin masalah tetapi karena strateginya berhasil dengan sempurna.
"Lu pikir gue sebodoh itu ngelawan dunia tanpa rencana? Ini emang niat! Biar semua orang tahu Damar milih gue bukan karena gak tahu gue siapa. Tapi justru karena dia tahu banget."
Dia bangkit, menatap cermin.
"Sekarang, tinggal lihat..."
Wajahnya mendekat ke kaca.
"...dia akan tetap berdiri buat gue, atau ikut mundur kayak yang lain."
Dia membuka handphone. Ribuan notifikasi masuk. DM penuh. Tag di mana-mana. Tapi satu nama yang dicari
“Ustadz Damar Faiz Alfarez.”
Belum ada pesan baru.
Kia bergumam, deg-degan,
"Ayo, Ustadz... tunjukin kalau lo bener-bener beda."
Lalu handphonenya bergetar.
Satu pesan masuk.
Dari: Damar Faiz
“Kalau ini caramu menguji kesabaran aku kamu jahat banget. Tapi tetap, aku nggak nyesel ketemu kamu.”
Kia menutup wajahnya dengan bantal sambil teriak kecil.
"AAAAAKHH GILA!"
Dia menendang udara, tertawa sendiri.
Kia kemudian mengepalkan tangan,"Let's go to war, dunia. Gue siap. Tapi kali ini... gue nggak sendirian."
PONDOK PESANTREN AL-FIRDAUS – PAGI YANG BERGUNCANG
Langit pagi terlihat mendung, seolah ikut menunduk malu. Dari masjid utama hingga ke asrama santri, semua sibuk membicarakan video viral yang memperlihatkan putra kedua pemilik pondok Ustadz Damar bersparing dengan perempuan tak berhijab, bertato, dan liar di dojo malam hari.
Suaranya, tendangan, napas, dan tawa samar Kia menjadi klip yang diputar berkali-kali.
Langit berwarna jingga keemasan. Angin sore menyapu dedaunan bonsai di taman Jepang kecil milik keluarga Kazehaya.
Di teras kayu, Tuan Narendra Kazehaya duduk bersila, menikmati teh hangat dalam cangkir keramik tradisional.
Kia berdiri di depannya, menatap lurus ke mata kakeknya. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya kejujuran yang nyaris menyakitkan.
"Batalin rencana pernikahan kami, Kek."
Narendra hanya terdiam, tak menoleh,
"Kenapa?"
"Karena ini yang aku inginkan."
Napasnya ditarik panjang.
"Aku nggak mau jadi seorang istri. Aku nggak mau pakai gelar itu. Aku nggak mau hidup dalam kotak, dikendalikan oleh kata-kata ‘taat’ dan ‘wajib’."
"Apakah itu karena Damar, atau karena kamu takut mencintai dengan cara yang berbeda dari dunia yang kamu tahu?"
Kia berbicara suaranya sedikit meninggi,
"Aku mau bebas! Gue mau hidup sesuai kemauan gue sendiri. Naik motor tengah malam, teriak di dojo, tidur dengan hoodie robek, nendang samsak sampai subuh. Gue nggak mau pakai daster dan dengerin ceramah subuh sambil nyeduh teh."
Narendra masih tenang, "Lalu kau percaya pernikahan akan merenggut semua itu darimu?"
"Iya! Karena jadi istri itu berarti gue harus berhenti jadi diri gue!"
Narendra menghela napas, lalu akhirnya menatap Kia cucu tunggalnya dalam-dalam, "Kalau pernikahan membuatmu merasa terpenjara, maka kau belum mengenal cinta yang benar."
Kia membalas dengan tersenyum getir,
"Atau mungkin gue udah terlalu rusak untuk cinta yang benar, Kek. Gue terlalu liar. Terlalu beda. Dan gue tahu Damar pantas dapat perempuan yang lebih damai."
Narendra berbicara kembali dengan suara berat, penuh makna, "Mungkin benar. Tapi kadang Tuhan menciptakan badai... justru untuk disatukan dengan pelaut. Dan Damar... dia pelaut yang datang tanpa takut pada gelombangmu, Kia."
"Tapi gue takut jadi lautnya, Kek. Gue takut... dia tenggelam." Cicitnya Kia.
Narendra bangkit perlahan, berdiri di hadapan Kia. Ia menyentuh bahu cucunya dengan lembut.
"Kalau begitu, kamu bukan pengecut. Kamu hanya sedang belajar memilih luka yang tidak melukai orang lain. Tapi pikirkan lagi.”
"Kebebasan sejati bukan berarti hidup tanpa ikatan, Kia. Tapi bebas memilih siapa yang tetap kamu genggam, bahkan ketika semua menyuruhmu melepaskannya.”
RUANG MUSYAWARAH PIMPINAN
Kiyai Hizam Hafizh, pendiri sekaligus pimpinan pondok, duduk paling ujung. Di sekitarnya, para ustadz senior dan keluarga besar Alfarez berkumpul.
Wajah-wajah mereka tegang. Ustadz Darwis, sang kakak sulung Damar, menatap tajam ke arah layar proyektor yang masih memperlihatkan video.
"Ini mencoreng nama baik Al-Firdaus, Ayah! Damar bukan lagi remaja. Dia pewaris pesantren! Dan dia malah..."
Suara Darwis tertahan, menahan emosi.
“Bermain dengan api yang tidak tahu malu!"
Mata renta itu menatap dalam, tenang namun getir. “Dia bermain dengan api atau sedang mencoba menyalakan pelita di tempat paling gelap?"
"Tapi caranya, Kiyai. Itu bukan dakwah. Itu penistaan simbol kehormatan pesantren." Ucapnya ustadz Taufik.
Ustadzah Latifah pengasuh santriwati,
"Santri putri kami sampai menangis, Kiyai. Mereka kecewa. Banyak yang bertanya, ‘Kenapa ustadz kami bisa sedekat itu dengan perempuan yang bahkan tidak menutup auratnya?’”
"Kita tidak bisa menyiram api dengan bensin. Kita panggil Damar. Kita beri dia ruang bicara. Setelah itu... barulah kita putuskan. Tapi jangan hukum seseorang sebelum mengerti niat di balik tindakannya." Ucapnya kiyai Hisyam.
DI ASRAMA PUTRI
Zahra, adik perempuan Damar, duduk di ranjangnya dengan mata sembab.
Santri 1:
"Zahra... apa kamu baik-baik saja?"
"Dia kakakku. Aku selalu bangga jadi adiknya. Tapi sekarang aku bahkan takut buka media sosial." Ujarnya lirih Zahrah.
Santri 2:
"Tapi kamu tahu dia baik. Mungkin dia punya alasan."
"Tapi kebaikan pun harus tahu waktu dan tempat..." Balasnya Zahrah.
DI KELAS-USTADZ MUDA
Ustadz Fahmi, guru muda yang disukai para santri karena sifatnya yang terbuka, memberikan pembelaan di tengah keraguan.
Ustadz Fahmi:
"Kalau kalian semua hanya melihat dari klip 2 menit, maka kalian kehilangan kisah besar yang mungkin sedang Allah tulis."
Santri 3:
"Tapi Ustadz, bukankah tetap ada batas antara laki-laki dan perempuan?"
Fahmi tersenyum tenang, “Betul. Tapi terkadang, batas-batas itu ditembus... bukan untuk dinikmati, tapi untuk ditarik kembali oleh orang yang tahu arah. Mungkin itulah yang sedang dilakukan ustadz Damar."
Kertas panggilan resmi disusun oleh staf pondok.
"Kepada: Ustadz Damar Faiz Alfarez
Subjek: Klarifikasi atas tindakan viral yang mencoreng nama pondok
Waktu: Pukul 19.30, di ruang musyawarah utama
Harap hadir tanpa pendamping."
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣