"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Aroma Ironi
Lalu seseorang melangkah mendekatinya.
Perempuan itu bercadar, sama seperti dirinya. Tubuhnya cukup tinggi, posturnya anggun. Suaranya lembut, seperti bisikan kasih seorang ibu pada anak yang baru saja pulang setelah lama menghilang.
“Ayo, Nak… kita pulang.”
Tangan itu menggenggam jemari Kanya dengan penuh kelembutan.
Dan saat jemari itu menyentuh kulit tangannya, ada sesuatu yang hangat menyusup—sebuah rasa yang hampir ia lupakan.
“Ibu…”
Suara itu hampir tak terdengar, tapi cukup membuat mata perempuan itu berkaca.
Di balik cadar, dua wanita itu saling menatap. Saling mengenali meski belum pernah bertemu.
Dan Kanya… untuk pertama kalinya sejak luka itu menganga… merasa diperlakukan sebagai bagian dari keluarga.
“Ayo, Nak,” ulang ibu Kian sekali lagi.
Tak ada paksaan. Tak ada tuntutan.
Hanya peluang.
Untuk berbicara. Untuk menyembuhkan.
Untuk pulang—bukan ke rumah, tapi pada kenyataan yang selama ini mereka lupakan: bahwa ia adalah istri sah yang terluka dan baru kembali setelah menata hati.
Kian masih berdiri terpaku.
Ia menatap sosok perempuan bercadar yang kini berjalan disamping ibunya.
Dan saat Kanya melewati Kian, ia tak menunduk. Tak pula mempercepat langkah.
Ia hanya menoleh sekilas.
Sekilas saja.
Cukup untuk membuat Kian tahu—
Bahwa ini belum selesai.
Dan luka yang ia tinggalkan… masih menunggu untuk dijelaskan.
------
Lobby hotel mulai lengang.
Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya redup yang membentuk bayang-bayang panjang di marmer lantai. Di antara langkah kaki yang meninggalkan ballroom, Kanya tiba-tiba berhenti.
Matanya menangkap dua sosok yang sangat dikenalnya—Kyai Zubair dan Umi Farida.
Mereka berdiri tak jauh dari pilar besar, menatapnya dengan tatapan penuh kelegaan, seakan hanya ingin memastikan Kanya benar-benar baik-baik saja.
Langkah semua orang otomatis terhenti.
Kanya berbalik, mendekat. Tak ada kata pertama selain senyum tipis di balik cadarnya dan mata yang mulai menghangat.
“Kyai… Umi…”
Suara Kanya nyaris berbisik, namun cukup untuk menyapa dengan utuh.
Aisyah, ibu Kian, menyipitkan mata. Tatapannya berpindah dari Kanya ke dua orang sepuh bersahaja di hadapannya.
“Mereka…?” tanya Aisyah lembut, setengah penasaran, setengah khawatir.
Kanya menjawab pelan, namun jelas.
“Mereka… yang menolong saya setelah saya kecelakaan dan terdampar di tepi laut.
Yang menampung dan merawat saya, menganggap saya seperti putri mereka sendiri.
Seperti keluarga.”
Umi tersenyum hangat. Kyai hanya mengangguk tenang.
Keynan, ayah Kian, menatap mereka dengan hormat. Ada kerutan baru di dahinya yang barangkali bukan karena usia, melainkan beban batin yang mendadak harus ia tanggung.
“Kyai… Umi…” ucap Keynan, suaranya berat namun tetap menjaga etika.
“Jika tak keberatan, silakan beristirahat di hotel ini malam ini. Saya ingin berbincang dengan Anda berdua… esok pagi.”
Kyai tersenyum tipis dan menunduk hormat.
“Tentu, InsyaAllah, kami bersedia.”
Dengan satu isyarat halus, Keynan memanggil seorang staf hotel yang berdiri tak jauh.
“Tolong antar tamu kami ke kamar eksklusif. Pastikan mereka mendapatkan pelayanan terbaik,” ujarnya datar, namun tak ada nada meremehkan.
Staf itu memberi hormat kecil dan bersiap mempersilahkan Kyai dan Umi ke arah lift tamu VIP.
Keynan memberi anggukan sopan, lalu berbalik.
Aisyah—masih menggandeng lengan Kanya—ikut memberikan anggukan.
Kanya membungkuk hormat ke arah Kyai dan Umi.
“Terima kasih, Kyai... Umi,” ucapnya lirih.
Kyai dan Umi hanya tersenyum.
Mereka lalu melangkah menyusul Keynan yang telah lebih dulu berjalan.
Di belakang mereka, Kian melangkah perlahan. Ia sempat menunduk singkat ke arah Kyai Zubair dan Umi Farida, memberi penghormatan dalam diam.
Dan malam itu…
Untuk pertama kalinya, Kanya melangkah ke dalam lingkaran keluarga suaminya.
Bukan lagi sebagai orang yang dikaburkan,
bukan pula sekadar rahasia yang harus disembunyikan,
tetapi sebagai perempuan yang akhirnya datang membawa pertanyaan—
dan mungkin… jawaban.
Di depan hotel, dua mobil telah menunggu.
Keynan melirik singkat putranya.
“Kau satu mobil dengan istrimu. Biar kami di belakang,” ucapnya tenang, tegas.
Tanpa protes, semua mengikuti arahan itu. Sebuah mobil hitam yang masih dihias bunga dan pita—mobil pengantin yang semula disiapkan untuk Kian dan Friska—kini membawa dua orang yang seharusnya telah lama sah, namun tak pernah benar-benar bersama.
Di dalam mobil, hening begitu pekat.
Kanya duduk tenang di kursinya, tapi hatinya jauh dari kata sederhana.
Sekilas, matanya menangkap hiasan bunga melati dan mawar putih yang menggantung di kap mobil. Aromanya menguar lembut—tapi baginya, itu bukan aroma kebahagiaan. Itu aroma ironi.
“Dulu… aku dinikahi di rumah sakit,” batinnya lirih.
“Dengan uang lusuh yang dikeluarkan dari dompet Kian. Uang sisa.”
Ia masih ingat jelas. Wajah Kian saat itu—datar, tapi matanya meredup. Dengan tangan gemetar, Kian mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dompetnya.
Penghulu terdiam.
Pengacara hadir sebagai saksi.
Dokter mengangguk pelan.
Dan para perawat ikut membisikkan doa.
“Bahkan, mas kawinku ditambah jam tangan Kian… karena uangnya tak cukup.”
Ia menghela napas dalam diam.
Tadi, laki-laki itu hendak menikahi gadis lain—di ballroom hotel mewah, dikelilingi lampu gantung kristal dan hamparan bunga mawar Eropa.
Dengan mas kawin yang direncanakan matang.
Dengan cinta yang dirayakan.
“Meski nilainya jauh lebih besar mas kawinku… tapi tetap saja, aku hanya pernikahan darurat.”
Kanya menunduk. Matanya jatuh pada jemarinya sendiri. Hampa.
Ia tak tahu apa yang menantinya saat tiba di rumah pria itu.
Tak tahu harus bicara apa.
Atau siapa yang bisa ia percaya.
Wanita bercadar tadi begitu hangat menyambutnya…
Tapi… siapa dia sebenarnya?
“Apa dia… ibu Kian? Tapi kenapa bercadar seperti aku? Apakah ini kebetulan atau… peringatan?”
Di sisi lain, Kian duduk membatu. Sorot matanya mengarah ke luar jendela, tapi pikirannya tidak berada di sana.
“Sial…”
Itu satu kata yang berputar di benaknya.
Malam ini bukan cuma impian yang ambruk—tapi juga harga diri.
Ia mengepalkan jemari, masih teringat jelas momen memalukan itu.
Bagaimana Kanya berdiri di depan ratusan tamu, lalu bersuara lantang: “Tidak sah.”
Malam yang seharusnya jadi kenangan manis, kini menjadi luka yang disaksikan banyak mata.
Ia melirik Kanya, yang kini duduk diam seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Dulu… aku dibuat malu ayahnya karena tak bisa menyiapkan mas kawin layak.
Sekarang… dia mempermalukanku di depan semua orang.”
Kian ingin bicara. Ingin marah. Ingin bertanya.
Tapi tenggorokannya terasa terkunci.
Dadanya sesak.
Dan ia sadar, di depan sana ada sopir yang menyetir dengan pendengaran tajam.
Jadi, ia memilih diam.
Diam yang menyiksa.
Diam yang menusuk.
Dan mobil terus melaju, melewati lampu-lampu kota Jakarta yang mulai redup.
Membawa mereka… pada rumah yang tak tahu akan menjadi neraka atau tempat menata ulang takdir.
Mobil itu berhenti perlahan di depan sebuah pagar tinggi yang terbuka otomatis—seolah menyambut siapa pun yang datang, meski tidak semua yang datang merasa disambut. Bahkan, sudah tiga kali Kanya mencoba masuk ke rumah itu, tapi pagarnya selalu tertutup rapat.
Kini, untuk pertama kalinya, pagar itu terbuka untuknya.
Kanya menggenggam erat ujung kerudungnya. Lampu-lampu taman menari lembut di kaca jendela, memantulkan cahaya kekuningan yang hangat—tapi terasa asing. Mobil melaju masuk, melewati pekarangan luas dengan taman yang tersusun rapi. Setiap sudut tampak seperti bagian dari dunia lain—dunia yang terlalu mewah bagi seseorang yang biasa hidup sederhana sepertinya.
Lalu rumah itu muncul di depan matanya. Tinggi. Megah. Berdiri angkuh, seolah menyatakan bahwa hanya yang terpilih yang pantas masuk.
Untuk sejenak, Kanya merasa kecil.
Namun ada satu hal yang ia genggam erat—fakta bahwa ia adalah istri Kian. Dan tak ada kemewahan atau rasa minder yang bisa mengubah itu.
Mobil berhenti.
Keynan dan Aisyah turun dari mobil lebih dulu. Tanpa satu kata pun, Kian membuka pintu dan keluar.
Hening.
Kanya ragu.
Tapi mau tak mau, ia ikut turun. Angin malam menyapu tubuhnya, mengibarkan hijabnya, membuat langkahnya sedikit goyah. Sebelum sempat mencari pijakan, langkah lembut seseorang menghampiri.
Seorang wanita elegan dengan sorot mata teduh—Aisyah.
Tanpa berkata banyak, ia menggamit lengan Kanya dengan lembut.
“Ayo, masuk,” ucapnya—suara lembut yang mengandung kehangatan keibuan.
Kanya menunduk, lalu mengangguk kecil, mengikuti langkah sang ibu mertua.
Di ambang pintu, Keynan berdiri tegak. Tatapannya tenang, namun penuh wibawa. Ia memandangi Aisyah, Kanya, dan Kian bergantian.
“Kita bicara di ruang keluarga,” ucapnya. Suaranya rendah, namun tak bisa dibantah.
Tak ada satu pun yang menyela. Tak ada waktu untuk ragu.
Malam itu, di balik pintu rumah megah yang dingin, satu demi satu kebenaran menunggu untuk dihadapi.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.