NovelToon NovelToon
Obsesi CEO Psikopat

Obsesi CEO Psikopat

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mantan Perawat

Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.

Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.

Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab.20

©Pukul 06.45 - Arvan Corporation, Ruang Kerja Darren©

Suara detik jam terdengar samar di ruangan mewah berlapis kaca itu. Di tengah ruangan, Darren Arvanindra sudah duduk tegap di kursi kebesarannya. Setelan jas hitam pekat melekat sempurna di tubuhnya, dasi hitam rapi tanpa cela. Matanya menatap tajam ke layar laptop di hadapannya, seakan dunia sedang ia atur dari balik meja itu.

"Asyik sekali permainan ini," gumam Darren pelan, suara baritonnya nyaris seperti bisikan dingin.

Tangannya mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni dengan ritme pelan, penuh perhitungan. "PT. Aruna Sentosa... rayap kecil yang tak tahu diri," Darren menyeringai tipis. "Dan orangtuamu, Rayyan... Haris dan Winda Athariza, kalian bahkan tidak sadar pintu neraka sudah di depan mata."

Ia menekan tombol interkom di meja.

"Renzo. Masuk."

Tak butuh waktu lama. Pintu ruangannya terbuka dan Renzo melangkah masuk, mengenakan setelan abu-abu, wajahnya tenang tapi ada kegelisahan samar di matanya. Ia tahu, tiap kali Darren memanggilnya pagi-pagi seperti ini, itu artinya akan ada kehancuran yang direncanakan.

"Silakan duduk."

Renzo patuh, duduk di kursi di depan Darren tanpa banyak bicara.

Darren langsung menyodorkan satu map tebal berisi dokumen. "Baca."

Renzo membuka map itu perlahan. Di dalamnya, data lengkap tentang PT. Athariza Kencana,perusahaan bangkrut milik orangtua Rayyan, beserta seluruh catatan utang, daftar aset yang tersisa, dan surat-surat pinjaman dari bank.

"Enam tahun lalu, mereka masih punya segalanya," Darren mulai berbicara, suaranya tenang tapi tajam. "Sekarang? Mereka hanya dua orang tua renta yang bahkan tak bisa mencicil pokok utangnya. Mereka pikir bank akan terus kasihan? Tidak. Kita akan buat mereka tersadar."

Renzo menatap Darren, menunggu instruksi lanjutan.

"Tekan bank," lanjut Darren santai. "Gunakan koneksi kita. Minta mereka layangkan surat penagihan akhir. Beri waktu seminggu. Kalau tidak lunas, lakukan penyitaan. Rumah, barang, semua yang tersisa. Tapi... lakukan secara halus. Jangan biarkan mereka sadar bahwa aku yang melakukan semua ini."

Renzo mengangguk pelan. "Baik, Pak. Saya akan urus hari ini."

Darren mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk. "Bukan cuma itu, Renzo. PT. Aruna Sentosa tempat bocah itu bekerja... Aku ingin perusahaan itu runtuh sebelum akhir bulan."

Ia mengambil map kedua dan melemparkannya ke meja.

"Buat investor utama mereka menarik dana. Kontak bank,pastikan semua pinjaman mereka dibekukan. Bikin mereka sesak napas, tak punya pilihan selain datang padaku, minta kerjasama. Dan saat mereka mengetuk pintuku..." Darren menyeringai tipis, "aku akan pastikan harga yang harus mereka bayar adalah kepala Rayyan."

Renzo menatap Darren lama, ragu-ragu sebelum bertanya, "Maaf, Pak... tapi apa kedua perusahaan ini benar-benar mengganggu Arvan Corporation? Atau... ada alasan lain?"

Darren tertawa kecil, tawa dingin yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

"Bukan Arvan Corporation yang terganggu, Renzo." Darren menatap tajam anak buahnya. "Tapi aku, Darren Arvanindra. Mereka berani mengusik milikku."

Darren menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Renzo dengan seringai tak menyenangkan.

"Bocah rendahan itu menyebut Baby Chubby-ku matre. Mulutnya murah, hidupnya pun harus murah. Aku akan pastikan dia belajar, bahwa siapa pun yang menyakiti milikku... akan kehilangan segalanya."

Renzo menunduk, tak berani menyela lagi. "Baik, Pak. Saya akan segera mengatur semuanya."

"Bagus." Darren melambaikan tangannya, mengusir Renzo keluar. "Kau tahu aku tidak suka menunggu."

Begitu pintu ruangan tertutup, Darren bangkit dari kursinya, berjalan pelan ke arah dinding kaca ruangannya. Matanya menatap langit ibu kota yang mulai terang, gemerlap gedung pencakar langit masih menyala samar.

Ia mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi chat, dan mengetik pesan:

'My Baby Chubby❤️'

"Baby Chubby,sore ini aku jemput kamu. Kita pergi ke tempat tenang, jauh dari orang-orang bodoh yang bikin kamu menangis. Tunggu aku, sayang. Jangan kemana-mana."

Darren tersenyum miring saat melihat foto profil Aluna, gadis dengan pipi chubby, senyum manis polos, tanpa tahu betapa gelap dunia di balik tatapan pria yang mengaku memilikinya.

Ponsel ia masukkan ke saku. Ia kembali duduk di kursinya, membuka dokumen-dokumen penting di mejanya.

"Ini baru permulaan, Rayyan," bisik Darren sambil membubuhkan tanda tangannya di atas kertas. "Aku akan memetik satu-satu kebahagiaanmu... sampai tak ada lagi yang tersisa."

© DEPAN KOS ALUNA: 06:57 PAGI© 

Rintik hujan perlahan mulai membasahi halaman kos, menciptakan aroma tanah basah yang menenangkan. Di teras kos, Aluna, Reta, dan Yumna duduk santai, masing-masing menggenggam gelas cokelat panas. Uapnya mengepul, menghangatkan jemari mereka yang sedikit kedinginan.

"Loh, biasanya jam segini kamu udah jalan ke toko buku, Luna," Reta melirik Aluna, menyesap cokelatnya. "Pagi ini nggak kerja?"

Aluna menggeleng, menatap cokelatnya sejenak. "Nggak. Aku dikasih libur dua hari sama pemilik toko."

Yumna menoleh cepat. "Wah, spesial banget. Kenapa?"

Aluna tersenyum tipis, matanya menerawang. "Katanya… buat menenangkan diri, setelah kejadian itu."

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Reta dan Yumna saling bertatapan, memahami maksud Aluna. Suasana sedikit canggung, tapi Aluna sendiri tampak biasa saja.

Reta menepuk pundaknya ringan. "Baguslah. Kamu butuh istirahat."

Aluna tersenyum. "Kalau kak Reta ada shift nggak pagi ini?"

"Shift-ku nanti malam. Sama si penyihir gila di sebelah ini." Reta menepuk bahu Yumna.

Yumna mendengus, menyesap cokelatnya. "Hff, kerja malam lagi. Mending kita santai-santai dulu sampai sore."

Aluna hendak menanggapi, tapi sebelum sempat membuka mulut, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Aluna melirik layar. Begitu melihat nama pengirimnya, matanya melebar.

Darren Arvanindra.

Rasa hangat langsung menjalar ke pipinya. Ia menelan ludah, ragu-ragu sebelum akhirnya membuka pesan itu.

"Baby Chubby, sore ini aku jemput kamu. Kita pergi ke tempat tenang, jauh dari orang-orang bodoh yang bikin kamu menangis. Tunggu aku, sayang. Jangan kemana-mana."

Aluna hampir saja menjatuhkan ponselnya kalau bukan karena Yumna yang sigap menangkapnya.

"Ya ampun, Luna ! Untung nggak jatuh!" Yumna lalu melirik layar ponsel dan…

"EH?" Yumna langsung tersedak. "Gila sih, Pak Darren. Udah manggil Baby Chubby, sekarang nambahin sayang?! Kok kayak orang baru jadian?"

Reta ikut membaca dan langsung tergelak. "Enteng banget dia manggil sayang! Kayaknya Pak Darren ini udah kepincut banget sama kamu, Luna. Aduh, so sweet!"

Aluna merasa wajahnya semakin memanas. Ia berdeham pelan, berusaha bersikap biasa saja. "Kalian jangan lebay…"

Tapi sebelum Aluna bisa mengatakan lebih banyak, seseorang turun dari lantai dua.

Rayyan.

Dengan kantung belanjaan di tangan, ia berjalan mendekati mereka. Langkahnya ragu, tapi tekad di matanya jelas. Reta langsung menyipitkan mata.

"Mau apa lagi nih si Upil Semut?" gumamnya.

Rayyan menarik napas dalam-dalam sebelum menarik kursi kecil dan duduk di hadapan Aluna. Reta dan Yumna otomatis memasang ekspresi this is going to be interesting.

Rayyan menunduk sejenak, lalu menatap Aluna dalam-dalam. Suaranya keluar dengan berat, namun penuh penyesalan.

"Aluna…"

Aluna tidak menoleh, masih menatap hujan yang semakin deras.

Rayyan menelan ludah, lalu melanjutkan, "Aku… aku mau minta maaf."

Aluna tetap diam.

"Aku salah semalam. Aku terlalu emosi. Aku nggak ngerti perasaan kamu, nggak ngerti kalau kamu masih trauma. Aku bodoh, Luna. Aku nyakitin kamu."

Masih tidak ada respons.Rayyan menggeser kantung belanjaannya mendekati Aluna. "Sebagai permintaan maaf, aku bawakan cemilan favorit kamu. Dan susu stroberi…"

Akhirnya, Aluna menoleh. Tapi ekspresinya datar. Pandangannya dingin.

"Untuk apa?" suaranya terdengar pelan, tapi tajam.

Rayyan mengerjap. "Aku.."

"Biar apa?" Aluna memotong. "Biar bisa nyebut aku matre lagi?"

Rayyan langsung tersentak.

Aluna menatapnya tajam, suaranya terdengar lebih serak. "Kak Rayyan bahkan nggak ngasih apa-apa aja udah bisa bilang aku matre. Kalau aku terima ini, entah kata-kata apalagi yang bakal kak Rayyan keluarin. Mungkin… lebih dari matre. Mungkin kak Rayyan bakal bilang aku murahan karena cukup dibayar dengan cemilan dan susu stroberi."

Rayyan merasa tenggorokannya mengering. "Bukan begitu maksudku, Luna…"

Reta dan Yumna saling berbisik.

"Gong," kata Reta. "Sepertinya Aluna sudah terkontaminasi Pak Darren."

Yumna mengangguk setuju. "Aku suka Aluna yang ini."

Sementara itu, Aluna sudah berdiri. Rayyan ikut berdiri, panik.

"Aku nggak bermaksud seperti itu, Aluna," kata Rayyan cepat. "Aku… aku emosi kemarin. Karena kamu nerima ajakan orang baru, sementara aku…"

Aluna menyipitkan mata. "Sementara kak Rayyan apa?"

Rayyan menghela napas. "Sementara aku… aku udah dua tahun ngajak kamu jalan, tapi selalu ditolak."

Aluna menatapnya lebih tajam. Kali ini, matanya berkaca-kaca.

"Untuk apa kak Rayyan ngajak aku jalan?" suaranya pelan, tapi menusuk. "Biar apa? Biar dapat berapa?"

Rayyan tertegun. "Apa?"

Reta dan Yumna saling melirik. Mereka mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

Rayyan mengerutkan kening. "Maksud kamu apa, Luna?"

Aluna menutup matanya sejenak, lalu menarik napas dalam. Ia sudah menahan ini selama dua tahun. Sekarang, ia tidak bisa lagi.

"Apa kak Rayyan benar-benar nggak ingat?" suaranya bergetar. "Atau pura-pura nggak ingat?"

Rayyan masih menatapnya bingung.

Aluna tertawa kecil, getir. "Baiklah. Aku jelaskan."

Rayyan menegang.

Aluna menatapnya langsung. "Dua tahun lalu, aku pulang kerja. Kak Galang menitipkan sesuatu buat kak Rayyan. Aku mau kasih langsung. Tapi… di tangga, aku dengar kak Rayyan ngobrol sama Dante dan Yuda.”

Wajah Rayyan langsung memucat.

"Dante bilang aku polos, tapi nggak gampang diajak jalan," lanjut Aluna. "Yuda setuju. Tapi kak Rayyan?" Aluna tersenyum miring. "Kak Rayyan malah bilang… aku bisa dengan mudah ditaklukkan. Karena aku lugu. Karena aku polos. Sedikit bujukan manis pasti mau."

Dunia Rayyan seperti berhenti berputar.

"Lalu, Yuda bilang kalau Kak Rayyan berhasil ngajak aku jalan, dia bakal kasih sesuatu," suara Aluna semakin serak. "Dan kak Rayyan… kak Rayyan nanya berapa yang bakal dia kasih."

Rayyan membeku. Pikirannya kacau. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar.

Aluna menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jadi… Kak Rayyan berhenti pura-pura ngajak aku jalan." Ia tersenyum miris. "Dan sekarang? Jangan main drama pura-pura menyesal."

Rayyan merasa dadanya sesak.

Aluna melangkah mundur. "Iya… mungkin aku memang polos dan lugu. Tapi aku bukan cewek matre."

Dengan itu, Aluna membalikkan badan dan masuk ke dalam kos, menutup pintu dengan keras.

Rayyan masih berdiri di tempatnya, wajahnya putih pasi.

Reta dan Yumna menghela napas panjang.

"Wow," Reta mengusap dagunya. "Plot twist."

Yumna bersiul pelan. "Aluna benar-benar menyimpan luka selama dua tahun. Dan sekarang… dia akhirnya meledak."

Rayyan mengepalkan tangannya. Hatinya bergetar hebat.

"Aluna…" bisiknya, matanya menatap pintu yang tertutup rapat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!