Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Tempat Pelarian
Langkah David menggema di parkiran semi-gelap. Bayangan mobil dan pilar tinggi berdiri kaku di sekelilingnya, seolah menjadi saksi bisu malam yang ganjil ini.
Matanya menyapu ruangan, mencari sosok Ghea.
Hening. Tapi tidak benar-benar sepi.
Ada suara. Sayup. Seperti hembusan napas tertahan.
Dari balik salah satu pilar.
David mempercepat langkah, lalu berseru, “Siapa di sana?”
Ghea menahan napas.
Jantungnya serasa diremas.
Leon masih memeluknya erat. Napasnya hangat di leher Ghea, bahunya tegang tapi tenang—seperti sedang mempertimbangkan sesuatu yang gila.
Lalu—dalam sekejap yang membakar—Leon menarik wajah Ghea dan menciumnya.
Bukan ciuman lembut. Tapi bukan kasar.
Penuh kuasa. Menenggelamkan. Mengunci napas Ghea di antara rasa kaget dan... sesuatu yang lebih rumit dari sekadar ketakutan.
Ghea tersentak. Jantungnya berdentum keras, tubuhnya menegang. Ia ingin menolak, ingin mendorong Leon, tapi seluruh tubuhnya seperti membeku. Ia tak membalas ciuman itu—namun juga tak bisa menghindar. Entah karena takut suara mereka terdengar, atau karena bagian terdalam dirinya tak benar-benar ingin menjauh.
Dan dalam hitungan detik, tubuh besar Leon mencondong, menghimpit Ghea ke pilar.
“Diam,” bisik Leon di antara ciuman. “Jangan buat suara. Dia akan pergi.”
Langkah kaki terdengar semakin dekat.
David muncul dari sisi lain pilar. Ia mengerutkan dahi saat matanya menangkap siluet dua orang yang sedang berciuman di balik temaram lampu parkiran. Tapi dari sudut itu, hanya sebagian tubuh seorang pria yang terlihat. Sosok wanita dalam pelukannya tersembunyi sempurna dalam bayangan.
Langkahnya terhenti sejenak. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah mereka—tapi bayangan malam dan posisi tubuh mereka membuatnya mustahil melihat dengan jelas.
“Sial... untung bukan urusanku,” gumamnya pelan, seolah mencoba menepis rasa yang mulai mengusik.
Padahal pikirannya jelas terusik. Apalagi saat ciuman panas itu tampak terlalu penuh hasrat.
Ia mengepalkan tangan, diam sesaat, lalu akhirnya memalingkan wajah dan memilih jalan berbeda.
Entah apa yang akan terjadi jika ia tahu… bahwa wanita itu adalah istrinya.
Langkahnya menjauh.
Dan ketika suara itu lenyap, Leon melepaskan ciumannya.
Matanya menatap Ghea, tak bertanya. Tak menjelaskan.
Hanya membiarkannya berdiri di sana—
Dengan bibir gemetar dan dada bergetar hebat, tak tahu harus marah, membenci... atau merasa terguncang karena jantungnya berdetak lebih kencang dari yang seharusnya.
Hingga kata itu keluar dari bibirnya, "Leon, kau--"
"Tidak sopan?”
Suara Leon nyaris tertawa. Tapi ada api tenang di baliknya.
“Kau bisa bilang itu kalau kau benar-benar ingin aku pergi. Tapi…”
Ia merendah, bibirnya nyaris menyentuh telinga Ghea.
“Kau diam saja. Kau bahkan belum benar-benar mendorongku.”
Ghea ingin menyangkal. Tapi tangannya—yang seharusnya mendorong dada pria itu—justru menggenggam ujung kemejanya.
"Kenapa aku tak bisa menolak?
Kenapa tubuhku justru... merindukan dekapan ini? Dan ciuman tadi?"
Ini gila. Ini salah. Tapi juga satu-satunya hal yang terasa nyata malam ini.
“Kau butuh udara,” bisik Leon. “Dan sedikit kebebasan. Hanya malam ini. Aku tidak akan mencuri lebih dari itu.”
Ghea menggeleng pelan, tapi tak melangkah mundur.
“Ini hanya pelarian.”
“Kau butuh tempat berlari.” Leon menatap matanya, dalam. Menggoda.
“Dan aku... bisa jadi tempat paling aman sekaligus paling berbahaya yang pernah kau datangi.”
Ia menarik tubuh Ghea lebih dekat, seakan menantang logika dan kesetiaan untuk melawan insting dan luka yang terlalu lama dipendam.
Ghea masih diam.
Mungkin karena hatinya lelah.
Mungkin karena tubuhnya mengingat sentuhan yang tulus lebih baik daripada kata-kata palsu dari David.
Atau mungkin... karena untuk sekali ini saja, ia ingin merasa diinginkan.
“Ke mana kita akan pergi?”
Suaranya lirih. Menyerah.
Leon tersenyum, mencium pelan kening Ghea tanpa tergesa.
“Ke tempat di mana tak ada yang memanggilmu Nyonya siapa pun.
Hanya… Ghea.”
Cahaya bulan purnama menggantung tinggi, membelah langit malam yang sepi. Kilau peraknya menari di permukaan laut, menebar cahaya seperti permadani mimpi.
Di dalam mobil yang meluncur ke arah pantai, udara terasa padat. Bukan karena suhu atau kabin tertutup rapat—melainkan karena pria di belakang kemudi yang duduk begitu tenang, tapi menyimpan sesuatu yang tak terdefinisikan.
Ghea menyandarkan tubuh ke jendela, matanya melirik ke arah kaca spion.
Di sana, pantulan wajah Leon muncul sekilas. Sorot matanya tetap fokus ke jalan, tapi ada ketenangan yang entah kenapa membuat Ghea makin sulit bernapas.
"Kenapa aku begitu saja menuruti ajakannya?"
Ia menggigit bibir pelan, pikirannya berkecamuk.
"Dan kenapa... saat bersamanya, meski kadang ia terlihat berbahaya—aku merasa aman? Perasaan itu tak pernah ada, bahkan saat bersama David..."
Ia memejamkan mata sejenak. Bayangan dari parkiran tadi kembali muncul—tatapan Leon yang tajam namun meredup saat mendekatinya, ciuman di bibir yang mengoyak logika, lalu kecupan lembut di keningnya, seperti janji yang tak terucap.
"Kenapa aku tak bisa menolaknya? Lebih buruk lagi... kenapa aku menikmatinya?"
Sentuhan bibir itu masih membekas. Bukan hanya pada kulitnya, tapi jauh lebih dalam.
"Kenapa seolah... ada ketulusan di balik semua hasrat itu? Padahal aku bahkan belum benar-benar mengenalnya. Baru beberapa hari... dan aku seperti tenggelam."
Di kursi pengemudi, Leon menggenggam setir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya terulur, menyentuh pemutar AC pelan—gerakan biasa, namun sarat ketenangan.
Sekilas, ia melirik ke arahnya. Tak lama, hanya sejenak, tapi cukup untuk meninggalkan kesan yang sulit diabaikan. Tatapannya seperti menakar sesuatu, menilai... atau mungkin menunggu?
Senyuman kecil terbit di sudut bibirnya. Bukan senyuman mengejek, bukan juga senyuman lembut.
Senyuman itu seperti… rahasia.
Ghea tak tahu harus merasa terganggu atau tertarik.
Ia buru-buru memalingkan wajah ke luar jendela lagi, mencoba menyibukkan mata pada gelombang laut yang mulai terlihat di kejauhan.
Namun pikirannya tertinggal di dalam mobil. Bersama pria yang duduk diam, menyetir tanpa banyak bicara, tapi entah bagaimana... membuat dunia Ghea mulai bergetar.
Mobil akhirnya berhenti. Di hadapan mereka, hamparan laut membentang luas, tenang dalam cahayanya sendiri.
Angin laut menyapa lembut, membawa bau asin yang khas dan dingin yang menyusup perlahan ke balik kulit.
Ghea turun dari mobil. Matanya menyipit, menantang cahaya bulan yang tergantung seperti lentera para dewa.
Belum sempat ia melangkah lebih jauh, suara bagasi dibuka membuatnya menoleh.
Leon muncul dari balik mobil, menarik sesuatu dari dalam—sebuah jas hitam.
"Kau menggigil," katanya pelan sambil mendekat.
Ghea hendak menolak, tapi gerak Leon terlalu cepat dan terlalu lembut untuk ditampik. Dalam satu gerakan, jas itu sudah membungkus pundaknya.
"Aku baik-baik saja," gumam Ghea, menahan getar di suaranya.
"Kau memang keras kepala," balas Leon. Suaranya nyaris seperti senyum yang tak sampai ke bibir.
Mereka berdiri bersebelahan, menatap laut yang bersinar keperakan di bawah cahaya bulan. Ombak menjilat pantai perlahan, seolah tahu malam ini bukan waktunya untuk ribut.
Leon menoleh, menatap Ghea. Sorot matanya berubah. Lebih dalam. Lebih berbahaya.
"Kau tahu?" bisiknya, "Jika kau adalah bibir pantai, aku ingin jadi ombak."
"Yang selalu kembali padamu, meski berkali-kali dibenturkan karang, meski berkali-kali ditarik menjauh."
Ghea menatapnya. Sudut bibirnya terangkat, nyaris ingin tertawa.
"Itu... baris puisi murahan."
Leon bergeming.
"Mungkin. Tapi untukmu, aku rela jadi murahan."
Ghea menggeleng, memalingkan wajah ke laut lagi. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya. Entah karena udara dingin, atau karena pria itu terlalu dekat.
Terlalu berani. Terlalu hidup.
"Kita tak pernah bertemu sebelum di klub malam. Jangan bilang... kau jatuh cinta pada pandangan pertama pada wanita bersuami yang lebih tua darimu. Itu konyol."
Leon tertawa pendek. Ringan, seolah sedang mengingat sesuatu yang terlalu dalam untuk dibagi.
Lalu ia menatap Ghea. Dalam. Liar, tapi tulus.
"Aku memang jatuh cinta pada pandangan pertama padamu."
"Sialnya, aku juga berniat menikahimu sejak hari itu."
Ghea menahan napas.
Detaknya makin kacau.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya tanpa basa-basi, menatap ombak yang mencium pantai.
Leon menyeringai kecil, sudut matanya mengerling nakal.
"Pria yang memujamu dalam diam."
Nada suaranya ringan—tapi menusuk.
Ghea mendengus pendek, berusaha mengabaikan degup aneh di dada.
"Jangan bercanda. Apa tujuanmu sebenarnya mendekatiku?"
Leon tertawa. Renyah. Sedikit berbahaya.
"Membuatmu menjanda lebih cepat."
Ia menoleh sejenak, menatapnya lurus.
"Karena aku tak sabar menggendong bayi dari rahimmu."
Ghea mendesis, "Brengsek! Mesum!"
Leon terkekeh, lalu meraih pinggangnya dan mendekat. Tak kasar. Tapi tetap mendominasi.
"Kau makin manis saat marah."
Ghea mendorong dadanya—sia-sia. Pria itu seperti batu karang: kokoh, hangat, dan berbahaya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.