Eclipse, organisasi dunia bawah yang bergerak di bidang farmasi gelap. Sering kali melakukan uji coba demi mendapatkan obat atau vaksin terbaik versi mereka.
Pada awal tahun 2025, pimpinan Eclipse mulai menggila. Dia menargetkan vaksin yang bisa menolak penuaan dan kematian. Sialnya, vaksin yang ditargetkan justru gagal dan menjadi virus mematikan. Sedikit saja bisa membunuh jutaan manusia dalam sekejap.
Hubungan internal Eclipse pun makin memanas. Sebagian anggota serakah dan berniat menjual virus tersebut. Sebagian lain memilih melumpuhkan dengan alasan kemanusiaan. Waktu mereka hanya lima puluh hari sebelum virus itu berevolusi.
Reyver Brox, salah satu anggota Eclipse yang melawan keserakahan tim. Rela bertaruh nyawa demi keselamatan banyak manusia. Namun, di titik akhir perjuangan, ia justru dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Di mana teman kalian? Apa dia sudah bosan menemuiku?"
Carlo bertanya sarkas ketika dua anak buah yang baru kembali ke Eclipse menghadap dan melaporkan hasil kerjanya.
"Dia masih menerima telepon, Tuan. Sebentar lagi akan menyusul ke sini."
"Telepon dari mana? Sepertinya penting sekali." Carlo menjawab sambil berdiri dari duduknya.
"Maaf, Tuan, kami juga tidak tahu. Dia hanya mengatakan bahwa masih ada telepon dan akan secepatnya menyusul ke sini. Untuk lebih jelasnya, lebih baik Tuan tanyakan langsung padanya."
Carlo tersenyum sinis mendengar jawaban anak buahnya. Dia sudah kesal karena keberadaan Reyver yang masih belum ditemukan, yang artinya mereka gagal menjalankan tugas, sekarang ditambah salah seorang dari mereka terlambat melapor. Sungguh, tangan Carlo sudah gatal untuk mendaratkan pukulan di wajah mereka.
"Kau berani memberiku perintah? Memangnya pantas?" geram Carlo.
Menyadari bahwa barusan telah salah bicara, dua lelaki itu langsung membungkuk dan meminta maaf kepada Carlo. Namun, Carlo yang telanjur murka tak mengindahkan permintaan maaf mereka.
Dengan cepat tangan Carlo menarik baju mereka, hingga keduanya terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Belum sempat mereka menyeimbangkan tubuh, Carlo sudah mendaratkan pukulan keras hingga mereka benar-benar tersungkur dengan sudut bibir yang berdarah.
"Tetap berdiri di sini! Jangan berani pergi sebelum rekan kalian datang!" perintah Carlo.
"Baik, Tuan." Sembari merutuki rekannya dalam batin, dua lelaki itu bangkit dan berdiri di hadapan Carlo. Jangankan untuk bicara, menelan ludah dan menarik napas saja rasanya sangat tertekan.
Sialnya lagi, sampai lima belas menit lebih rekan yang mereka tunggu-tunggu tak jua datang. Sontak amarah Carlo yang sudah tertahan sejak kemarin, detik itu dilampiaskan dengan menghajar mereka berdua.
"Ampun, Tuan, kami tidak tahu apa yang dia lakukan sekarang. Tadi dia hanya meminta izin untuk menerima telepon sebentar."
"Benar, Tuan. Tadi kami pulang bersama dan tidak ada masalah apa-apa. Kami tidak tahu kenapa jika sekarang dia tidak menghadap Tuan Carlo."
Dua lelaki tersebut meminta ampun sekaligus memberikan pembelaan atas kesalahan yang tidak mereka lakukan. Untungnya, Andress yang masih ada di sana turut bersuara dan membujuk Carlo untuk melepaskan mereka.
"Lebih baik kita periksa saja, Tuan, sebenarnya apa yang dia lakukan kenapa berani sekali tidak menghadap Tuan."
"Heh! Untung aku masih berbaik hati. Sekarang cepat pergi! Aku sudah muak melihat wajah kalian!" bentak Carlo.
Lantas dua lelaki itu pun bangkit dengan susah payah dan melangkah pergi dengan tertatih-tatih.
Selepas kepergian mereka, Andress menunjukkan rekaman kamera yang memantau seluruh sudut Eclipse. Dimulai dari basement, ia dan Carlo melihat jelas kedatangan tiga anak buahnya dengan mobil yang berbeda.
Dua di antaranya langsung keluar, sementara salah seorang lagi masih diam di mobil, dan dialah yang barusan memancing amarah Carlo.
Selang satu menit, lelaki itu keluar dari mobil. Ia menunduk dan tidak terlihat jelas wajahnya karena mengenakan topi, hanya tangannya yang terlihat memegang ponsel dan menempelkannya di telinga, tampaknya memang sedang melakukan panggilan.
Andress terus menunjukkan rekaman yang memantau lelaki tersebut. Arah langkahnya bukan menuju ruangan Carlo, melainkan ke ruangannya sendiri.
"Telepon dari mana itu, sampai dia berani ke ruangannya lebih dulu sebelum melapor padaku," gumam Carlo. Tangannya kembali gatal untuk menghajar lelaki yang kini ia lihat rekamannya.
Belum sempat Andress menjawab, rekaman tersebut menunjukkan sesuatu yang mencengangkan. Lelaki yang sebelumnya terlihat bugar, tiba-tiba memegangi kepalanya dan dalam hitungan detik jatuh tersungkur di lantai.
Lantas tak ada lagi pergerakan, bahkan ponselnya terlempar dan dia tak menyadarinya.
"Apa yang terjadi, Andress?"
"Saya juga tidak tahu, Tuan. Saya akan memeriksanya terlebih dahulu," sahut Andress sambil beranjak dari duduknya, bersiap untuk mendatangi lelaki tersebut dan melihatnya secara langsung.
Carlo sendiri pada akhirnya ikut jua ke sana, tak bisa diam saja melihat kejanggalan di markasnya. Lantas, ia juga memerintahkan tim medis untuk turut serta.
Sesampainya di ruangan anak buah yang kini sudah terkapar tak berdaya, Carlo memerintahkan Dokter Roy dan Dokter Daniel untuk memeriksanya.
"Ada luka tembak di kepalanya. Tapi darahnya sudah mengental. Artinya luka ini sudah terjadi paling tidak satu jam yang lalu."
Carlo terkejut seketika. Jika dihubungkan dengan rekaman yang dia lihat barusan, semua itu tidak masuk akal. Jika luka tembak itu ia dapatkan dari luar, tidak mungkin terlihat bugar ketika keluar dari mobil. Karena luka itu di posisi yang sangat fatal, jadi kemungkinan besar orang akan langsung sekarat beberapa detik setelah tertembak.
"Andress, periksa keamanan Eclipse! Dan cari saksi mata yang melihat kedatangan lelaki ini! Secepatnya!" perintah Carlo dengan napas yang memburu.
Ia tak bisa jika tidak memikirkan Reyver, tetapi tak percaya pula jika lelaki itu bisa melakukan semua kegilaan ini di Eclipse. Kecuali ... ada pengkhianat lagi.
Bersambung...