Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Kecil
Aku selalu datang tepat waktu untuk memulai hariku setiap pagi sebagai guru di sekolah komunitas anak-anak berkebutuhan khusus di kota ini. Sekolah yang lama tutup ini telah dibuka kembali untuk umum dan mulai beroperasi, tentu dengan pengajar yang lebih proper dan kompeten.
Untuk urusan ini, aku belum membicarakan keikutsertaanku menjadi bagian dari sekolah komunitas tuli di bawah naungan kak Alan, bukan tidak ingin tetapi waktu pertemuanku dengan Mas Elham begitu singkat. Sebulan berlalu, aku masih menjalani rutinitasku seperti biasa. Sebelum waktu petang, aku sudah harus sampai di rumah sebelum mas Elham pulang bekerja.
"Mas, nanti malam pulang jam berapa?" tanyaku lewat pesan yang kukirimkan sore ini. Hanya ingin memastikan dia akan pulang atau tidak malam ini, setidaknya aku sudah bersiap ketika dia akan pulang.
Kak Alan turut turun tangan menggerakkan sekolah komunitas ini, dia mengatakan ingin banyak belajar bersama anak-anak dan juga kami-para guru.
Dibantu oleh Devy yang juga mengajar di sekolah ini, kak Alan menyampaikan sesuatu kepada anak-anak melalui gerakan tangan yang mewakilkan komunikasi semua.
"Halo, my name is Alan. You can call me, Alan. A ... L ... A ... N."
"Wah, aku bisa!" teriak kak Alan riang setelah beberapa kali Devy dan aku mengajarkan penggunaan bahasa non verbal yang satu ini.
Semua anak-anak bertepuk tangan dan merayakan dengan cara mereka. Seolah suasana kelas ini hidup dengan meriah meski bukan dengan bersuara keras dan hanya di dalam sepetak ruang yang tidak terlalu besar karena gedung yang lainnya masih dalam proses renovasi.
"Yey, time to back to home! Say goodbye to Mis Moy, please," ujar Kak Alan memandu anak-anak.
"Bye, Miss Moy!" ujar anak-anak baik yang lisan maupun lambaian tangannya.
"Kak, panggil aku Mis Dita saja. Jangan Gemoy," ujarku pada kak Alan dengan cara berbisik. Namun, sedari awal dia mengenalkanku 'Miss Gemoy' kepada anak-anak.
"Semua orang di rumah memanggilmu Moy, Gemoy, kok. Cocok juga dipanggil begitu," jelas kak Alan.
Ting! Tidak lama, pesan yang tadi kukirim, berbalas. "Sudah mau sampai rumah."
Aku membelalak. Tidak mungkin!
Ini masih pukul 3 sore, tapi mas Elham mengatakan sudah hampir sampai di rumah. Aku berkemas meninggalkan lokasi sekolah.
"Kak, maaf, aku harus pergi."
"Kenapa buru-buru? Dita, Dita, tunggu .... Mau kemana?" kak Alan berhasil mengejarku.
Aku yang terpaksa berhenti karena kebingungan akan pulang menggunakan apa, sekeliling terlalu ramai dan padat oleh kendaraan pribadi dan tidak ada halte terdekat atau satu pun taksi yang melintas.
"Ada apa, Dita?"
"Kak, aku harus pulang. Mas Elham sudah di rumah, aku takut dia akan marah jika tahu aku tidak ada di rumah saat ini."
"Kenapa marah?"
"Dia tidak tahu kalau aku mengajar di sini."
"Bukannya sudah tahu?"
Aku menggeleng, aku benar-benar tidak memberitahu aktivitasku selama sebulan ini berjibaku dengan sekolah komunitas ini.
"Oke, aku antar," cetus kak Alan.
Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi tidak ada jalan yang tidak macet di kota ini sekalipun jalan tikus pun seakan selalu rapat oleh pengendara yang sama sibuknya berebut jalan ingin sampai ke tujuan. Perjalanannya terasa lama karena kemacetan. Satu jam kira-kira waktu yang terbuang hanya untuk menempuh 1 kilometer jarak dari sekolah ke rumah.
Saat aku membuka seatbelt, kak Alan turut melakukannya.
"Kak mau kemana?" tanyaku.
"Antar kamu pulang."
"Ke atas? Tidak usah, sampai sini saja," cegahku, ini bisa menjadi perkara besar kalau mas Elham tahu aku pulang dengan siapa.
"Katamu nanti bisa kena marah," ujar kak Alan.
"Tidak-tidak, aku bisa menanganinya. Aku tidak mau tambah ribut sebab kalian bertemu karena kan," ujarku terjeda.
"Aku bisa sendiri, kak Alan bisa menunggu di sini jika khawatir sesuatu terjadi atau jika tidak percaya aku akan baik saja." Dia sepakat.
Aku berlari, tubuhku yang besar tidak mendukung untuk bisa berlari cepat sesuai perintah otak. Alhasil, hanya lelah dan ngos-ngosan setibanya di depan pintu apartemen.
Ting. Ceklek.
Di dalam ruangan masih sepi, semua lampu masih padam. Tidak ada yang berubah sejak aku tinggal pergi pagi tadi.
Aku memeriksa ponselku, pesan dari mas Elham lima menit yang lalu. "Tadi putar balik ada rapat mendadak. Ini di jalan, sebentar lagi sampai."
Aku mendengus napas lega. Aku mengirimkan pesan pada kak Alan kalau semua baik-baik saja, mas Elham belum sampai rumah. Aku melambaikan tangan padanya dari balkon kamarku, lalu kak Alan pergi dengan mobilnya.
Ting. Pintu terbuka, mas Elham telah sampai.
"Dari mana? Kok keringetan?" tanya mas Elham saat aku mencium tangannya.
"Tadi habis workout," jawabku.
"Workout?"
"I ... Iya, di sini kecil-kecilan."
Ia mencebik, lalu mengangguk seakan percaya-percaya saja dengan ucapanku.
"Mas mau makan apa? Aku belum masak," ujarku.
"Nanti sore ada dinner, kamu ikut," ucap dia.
Selama hidup dengannya, baru kali ini dia membawaku makan malam di luar. Pukul 7, sesuai permintaannya, aku sudah bersiap semaksimal mungkin supaya terlihat sepantaran dengannya.
Namun, melihatnya yang sudah tampil sempurna dan menarik meski dengan kemeja dan celana hitan ala kadarnya. Aku terbanting dengan penampilanku yang super duper prepare, tetapi masih tak cocok bersanding dengannya.
"Mas pakai kemeja biru?" tanyaku, sedangkan gaunku berwarna merah maron.
"Tunggu sebentar, aku ganti baju," ujarku padanya. Aku menggeledah seluruh isi lemari mencari gaun berwarna senada dengannya. Namun, tidak ada. Aku tidak punya gaun berwarna biru muda yang cerah karena pikirku, aku merasa kulitku terlihat semakin kusam jika menggunakan warna terang.
Setengah jam mungkin ada untukku bergelut dengan kegalauanku memilih baju. Aku tersungkur di depan lemari pakaian, sekian banyak pakaian, tidak ada yang sesuai ekspetasiku. Namun, kemudian tanpa suara ketukan pintu, mas Elham membuka pintu kamar ini secara lebar dan bertanya apa aku sudah siap atau belum.
"Kok masih sama?" tanya dia. Nada bicaranya sudah berbeda, dia sudah kesal menunggu.
"Aku tidak jadi ikut, Mas. Tiba-tiba tidak enak badan."
Yang kudengar hanya helaan napas berat darinya. Seperti ketidakrelaan sekian lama menunggu, tetapi ujungnya aku tidak ikut dan beralasan. Padahal hanya karena masalah gaun yang tidak sesuai.
Ia tak lagi bicara, pintu dibiarkan terbuka. Tanpa berpamit dia menarik kunci mobil dari meja dan keluar dari rumah dengan wajah yang kesal.