NovelToon NovelToon
SIKSA KUBUR

SIKSA KUBUR

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:81
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
​Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
​Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
​Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Ibu

​🏡 Kepulangan yang Dingin

​Pintu kayu bercat putih itu terbuka kasar. Sinta menerobos masuk ke dalam rumah yang terasa asing dan terlalu sunyi. Rumah itu, yang biasanya dipenuhi tawa dan lantunan ayat suci, kini terasa seperti peti es yang besar.

​Ia langsung menuju dapur, mengambil gelas, dan menuangkan air mineral dingin dari dispenser. Ia minum terburu-buru, mencoba memadamkan api amarah dan rasa jijik yang masih menempel di kulitnya sejak jatuh menimpa mayat tadi. Kemudian, tangannya meraih kulkas. Ia mengambil sebungkus roti tawar dan mengoleskannya selai cokelat tebal-tebal, memakannya dengan brutal, seolah-olah roti itu adalah satu-satunya pelampiasan yang tersisa.

​Suara gesekan kunci terdengar dari pintu depan. Sinta berhenti mengunyah.

​Pintu itu terbuka perlahan, dan muncullah Alim. Wajah Alim tampak lebih parah dari sebelumnya; matanya bengkak, dan pandangannya kosong. Ia berjalan gontai, seolah tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan.

​Melihat adiknya, kemarahan Sinta kembali tersulut, menggantikan rasa haus dan laparnya. Sinta meletakkan roti itu keras-keras di meja.

​Sinta melangkah cepat, menghampiri Alim dan mencengkeram bahu adiknya kuat-kuat.

​"Dari mana saja kamu, Lim?!" bentak Sinta. Sorot matanya tajam, tidak ada lagi kekosongan, hanya ada rasa ingin tahu yang mencekik. "Aku tanya, kamu harus jujur sama aku!"

​Alim tersentak. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sinta, tetapi tenaganya habis. Ia hanya bisa terisak pelan.

​"Jangan nangis! Jawab aku!" desak Sinta, mengguncang bahu adiknya. "Apa saja yang dia bilang tadi, hah?!"

​Alim memejamkan mata, membiarkan air mata membasahi wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan suaranya yang hilang.

​"Dia... Dia bilang kita bahaya di luar," jawab Alim perlahan, sejujur-jujurnya. "Aku cuma nawarin donat, Kak. Terus dia menatapku lama, kayak mengancam."

​Sinta mendesis. "Lalu? Apa lagi?!"

​"Dia bilang, 'Kalau kamu ingin berada di dalam kubur yang damai, dan TIDAK disiksa... lebih baik kamu dan keluargamu TINGGAL di dalam sini. Jangan keluar. Dunia di luar sana... sudah terlalu kotor.'" Alim mengulang kata-kata pria berjubah hitam itu dengan suara bergetar.

​Sinta mundur selangkah, melepaskan cengkeramannya. Kata-kata itu menusuk pendengarannya.

​"Siksa kubur...?" gumam Sinta, raut wajahnya berubah menjadi bingung, mencoba memproses kaitan antara peringatan religius yang ekstrem itu dengan ledakan bom di pasar.

​"Iya, Kak. Dia bilang begitu," ucap Alim, kini ia mulai bisa bernapas sedikit lega setelah menceritakan beban yang mengganjal di hatinya. "Dia itu kayak... kayak orang gila, atau mungkin..."

​"Atau mungkin dia tahu sesuatu!" potong Sinta tajam. Ia menunjuk wajah Alim dengan jari telunjuknya. "Kenapa kamu enggak bilang ini lengkap-lengkap di kantor polisi tadi?! Kenapa kamu sembunyikan kata-kata itu?!"

​"Aku takut, Kak! Aku panik! Dan Polisi fokus sama barang yang dia bawa! Aku enggak kepikiran!" bela Alim, kembali menangis. "Aku yakin, Kak. Dia itu bukan orang biasa. Sebelum dia menghilang, dia sempat melihat ke arah Ayah dan Ibu berdiri."

​Sinta berjalan mundur, menjauhi Alim, menuju ruang keluarga. Ia mengusap wajahnya yang terasa panas.

​"Oke," kata Sinta, suaranya kembali dingin dan penuh tekad. "Jadi, dia datang, dia mengancam kita dengan neraka dan siksa kubur, dan setelah kita di luar, Ayah sama Ibu hancur. Ini bukan kebetulan, Lim."

​Alim mengejar Sinta, memohon penjelasan. "Maksud Kakak?"

​Sinta menoleh. Matanya kini keras, seolah dia telah menemukan musuh yang nyata.

​"Ayah dan Ibu meninggal karena dunia yang kotor. Mereka bilang, kita harus selalu fokus pada kebaikan, pada agama. Tapi kenapa orang yang paling taat yang justru yang paling menderita?" Sinta menggertakkan giginya. "Pria itu... dia membawa pesan. Entah apa, tapi dia adalah satu-satunya petunjuk. Kita harus cari dia. Siksa Kubur itu bukan hanya di alam baka, Lim. Siksa Kubur kita, dimulai dari sini, di dunia yang kotor ini."​🔥 Keputusan yang Membakar

​Sinta berdiri di ruang keluarga yang remang-remang, matanya berkilat-kilat penuh amarah dan kebingungan. Kata-kata Alim tentang "siksa kubur" dan "dunia yang kotor" berputar-putar dalam benaknya, berbenturan keras dengan citra Ayah dan Ibu yang selalu ia anggap suci.

​Ia mengepalkan tangannya. "Makhluk macam apa dia itu? Apa maksudnya dengan 'dunia kotor' dan peringatan soal kubur?"

​Sinta menoleh ke arah lemari pajangan yang penuh dengan piala-piala lomba mengaji Ayahnya dan sertifikat Tahfiz Ibunya. Seluruh hidup mereka, seluruh rutinitas mereka, dibangun atas dasar ketaatan.

​"Apakah orang yang taat agama harus melakukan pengeboman atau apa?!" pikir Sinta, suaranya naik satu oktaf. Ia merasa dikhianati oleh takdir, oleh keyakinan yang selama ini ia pegang teguh.

​Ia berbalik menghadap Alim, yang masih berdiri membeku di ambang pintu dapur.

​"Kalau begitu," kata Sinta, nada suaranya berubah pahit, "apa gunanya aku memakai hijab? Apa gunanya kita selalu salat tepat waktu? Mereka bilang, ketaatan akan melindungi. Tapi apa? Ketaatan kita malah membuat kita berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah!"

​Tanpa berpikir panjang, secara spontan, tangan Sinta bergerak cepat ke atas kepalanya. Ia menarik jepit dan jarum yang menahan kain kerudungnya.

​Srett!

​Sinta langsung melepas hijabnya. Kain putih itu jatuh ke lantai dengan suara pelan, kontras dengan gemuruh emosi di dalam dirinya. Rambut hitam panjangnya terurai berantakan, membingkai wajahnya yang kini terlihat liar dan asing.

​"Percuma aku berhijab dan menutup auratku! Percuma kami hidup seperti ini!" teriak Sinta, menendang kerudung itu dengan kakinya.

​Emosinya makin menguncang seisi ruangan. Ia berjalan mondar-mandir, air mata yang ia tahan sejak di kantor polisi akhirnya meluncur, tetapi itu bukan air mata kesedihan, melainkan amarah yang mendidih.

​"Lihat, Lim!" Sinta menunjuk ke luar jendela, ke arah pasar yang hancur. "Ini akibat dari terlalu percaya pada hal yang tidak bisa kita sentuh! Aku sudah lihat sendiri, dunia nyata itu keras, kotor, dan tidak adil!"

​Sinta menghampiri Alim, menatapnya dengan mata merah menyala.

​"Dengar baik-baik, Alim. Aku berjanji, aku tidak akan percaya lagi dengan agama yang hanya membuat kita kehilangan segalanya! Tidak ada gunanya shalat, mengaji, atau berpakaian tertutup! Ingat kamu! Mulai hari ini, kita hidup untuk diri kita sendiri. Kita akan cari tahu siapa pria itu, dan kita akan membalas semua ini dengan cara kita sendiri!"

​Alim hanya bisa terdiam, terkejut melihat transformasi kakaknya yang radikal. Dalam sekejap, Sinta bukan lagi kakak yang alim dan penurut yang ia kenal.

​Tiba-tiba, suara kunci berputar di pintu depan, diikuti suara pintu yang didorong perlahan.

​"Assalamualaikum? Sinta? Alim?"

​Pintu itu terbuka. Nampaklah Bibi Laila dan Paman Hasan, dengan wajah pucat dan mata sembab, bergegas masuk. Mereka baru tiba dari luar kota setelah mendengar berita mengerikan itu.

​Mereka berhenti melangkah saat melihat pemandangan di ruang keluarga: Sinta berdiri dengan rambut terurai dan wajah penuh amarah, sementara Alim menangis tanpa suara di sudut ruangan. Di lantai, tergeletak kain hijab putih yang melambangkan kehancuran keyakinan Sinta.

​Paman Hasan terkejut. "Astaghfirullah, Sinta! Ada apa ini?"

​Bibi Laila bergegas menghampiri Alim, tetapi pandangannya tidak lepas dari Sinta. Ia melihat bukan hanya keponakannya yang berduka, tetapi juga api pemberontakan yang baru menyala di mata Sinta.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!