NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

"Jika kita bicara soal kerja sama strategis, saya ingin mendengar analisis risikonya. Bukan yang umum. Yang nyata.”

Beberapa kepala divisi saling pandang. Pertanyaan itu jelas jebakan. Terlalu teknis untuk level staf biasa.

Leora menarik napas perlahan.

“Risiko terbesar bukan pada distribusi atau modal, Pak,” jawabnya tenang. “Tapi pada ketergantungan jangka menengah yang bisa membuat Alastair kehilangan kendali negosiasi di tahun ketiga.”

Leonard mengangkat alis tipis.

“Jelaskan.”

Leora maju setengah langkah. Suaranya stabil, artikulasinya rapi.

“Yhop Group punya pola kerja sama yang terlihat fleksibel di dua tahun awal, tapi jika dilihat dari laporan keuangan lima tahun terakhir, mereka selalu menaikkan porsi kontrol operasional setelah fase uji coba selesai.”

Ia menekan remote. Grafik baru muncul.

“Jika kita setuju dengan skema yang ditawarkan sekarang tanpa klausul pembatas, maka Alastair akan berada di posisi defensif saat renegosiasi. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita terlanjur bergantung pada sistem mereka.”

Ruangan hening.

Satu demi satu direksi mencondongkan tubuh ke depan.

Leonard tidak memotong. Tidak mengangguk. Hanya mendengarkan.

Leora melanjutkan, lebih dalam, lebih tajam—membahas skenario, solusi alternatif, bahkan menyebutkan celah negosiasi yang bisa dimanfaatkan Alastair untuk tetap unggul.

Waktu berjalan.

Dan saat itulah suara kursi bergeser keras.

“Cukup.”

Bu Sherly berdiri. Wajahnya tegang, nada suaranya meninggi.

“Maaf, tapi ini rapat. Bukan monolog,” katanya tajam.

“Waktu presentasi sudah habis. Dan Anda tidak memberi kesempatan anggota rapat lain untuk bicara.”

Beberapa orang terdiam. Ada yang menunduk. Ada yang gelisah.

Leora berhenti bicara. Namun wajahnya tetap tenang.

Bu Sherly melanjutkan, jelas tersinggung.

“Kalau semua staf berbicara sepanjang ini tanpa kendali, rapat tidak akan efektif.”

Detik berikutnya

“Duduk.”

Satu kata. Dingin. Rendah. Berwibawa.

Bu Sherly membeku.

Leonard akhirnya berbicara. Tatapannya lurus ke arah Sherly, tanpa emosi.

“Saya belum selesai mendengarkan.”

Ruangan seperti kehilangan udara.

“Waktu rapat saya yang atur,” lanjut Leonard pelan tapi menekan.

“Dan saat ini, penjelasan Saudari Leora justru yang paling relevan.”

Bu Sherly mengepalkan tangan, namun akhirnya duduk kembali tanpa sepatah kata.

Leonard menoleh ke Leora.

“Lanjutkan.”

Nada suaranya tidak lembut, tapi memberi izin penuh.

Leora mengangguk sekali.

“Terima kasih, Pak.”

Ia kembali melanjutkan presentasi, kali ini dengan kepercayaan diri yang tak lagi disembunyikan.

Saat Leora selesai, ruangan masih sunyi beberapa detik.

Leonard menutup map di depannya.

“Catat,” katanya pada sekretarisnya tanpa menoleh.

“Analisis seperti ini yang saya harapkan dari tim strategis.”

Ia berdiri.

“Rapat selesai.”

Tanpa tepuk tangan. Tanpa pujian berlebihan.

Namun saat Leonard berjalan keluar, matanya sempat melirik Leora sekilas.

Bukan tatapan dingin.

Bukan pula ramah.

Itu tatapan penilaian serius.

Sementara di belakang, Selin berbisik pada Arga,

“Leora… barusan dibela langsung sama CEO.”

Dimas menghela napas.

“Itu bukan pembelaan. Itu pengakuan.”

Lorong menuju ruang kerja masih ramai oleh sisa peserta rapat yang berjalan berkelompok. Leora melangkah bersama Selin, Arga, Dimas, dan Riani. Suasana di antara mereka canggungcampuran kagum, tegang, dan bingung.

“Ra… barusan itu” Selin berbisik pelan.

“Pelan,” potong Arga. “Dinding punya telinga.”

Leora hanya tersenyum tipis, fokus melangkah.

Baru beberapa meter, langkah mereka terhenti.

“Saudari Leora.”

Suara itu membuat udara mendadak dingin.

Bu Sherly berdiri di depan mereka, kedua lengannya terlipat di dada. Tatapannya tajam, jelas belum mereda.

“Bisa bicara sebentar?” katanya, tapi nadanya sama sekali tidak terdengar seperti permintaan.

Selin refleks menoleh ke Leora.

Riani menelan ludah.

“Silakan lanjut dulu,” ucap Leora pelan pada teman-temannya.

Mereka ragu, namun akhirnya berjalan menjauh, sesekali menoleh ke belakang.

Lorong kini hanya menyisakan mereka berdua.

Bu Sherly melangkah mendekat.

“Sejak kapan staf baru merasa berhak mendominasi rapat direksi?”

Leora berdiri tegak. Tangannya terlipat rapi di depan tubuhnya.

“Maaf, Bu,” jawabnya tenang. “Saya hanya menjawab pertanyaan yang diberikan.”

“Menjawab?” Bu Sherly menyunggingkan senyum tipis tanpa kehangatan.

“Itu bukan menjawab. Itu mengambil alih.”

Leora menarik napas. Ia tahu satu kata salah, bisa jadi bumerang.

“Saya tidak bermaksud melangkahi siapa pun,” katanya hati-hati.

“Jika penjelasan saya terlalu panjang, itu murni karena saya ingin memastikan tidak ada kesalahpahaman dalam keputusan perusahaan.”

Bu Sherly mendengus kecil.

“Di sini, ada hierarki. Ada alur bicara. Bukan siapa cepat dia bicara paling lama.”

Leora menunduk sedikit. Bukan takut tapi menghormati posisi.

“Saya mengerti, Bu. Dan saya menerima teguran itu.”

Jawaban itu justru membuat Bu Sherly semakin tidak nyaman.

Ia jelas berharap perlawanan, bukan ketenangan.

“Lain kali,” lanjut Sherly dingin,

“ingat posisi Anda. Kepintaran tidak selalu berarti kebijaksanaan.”

Leora mengangkat wajahnya kembali. Tatapannya lembut, suaranya rendah.

“Saya akan mengingatnya, Bu.”

Tidak ada pembelaan.

Tidak ada sindiran.

Hanya sikap seorang bawahan yang tahu kapan harus menahan diri.

Bu Sherly menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu berbalik pergi dengan langkah tegas.

Leora berdiri diam sampai sosok itu menghilang di tikungan lorong.

Baru setelah itu, ia menghembuskan napas perlahan.

Dari kejauhan, Selin dan yang lain menunggunya.

“Ra… kamu nggak apa-apa?” tanya Riani pelan.

Leora tersenyum kecil.

“Nggak apa-apa.”

Dalam hatinya, ia bergumam tenang:

Menghadapi orang seperti itu bukan soal menang atau kalah.

Ini soal tahu kapan harus diam… dan kapan waktunya bicara.

Dan tanpa Leora sadari

Dari balik kaca ruangannya, Leonard dan Adriel berdiri diam, menyaksikan interaksi itu sejak tadi.

...----------------...

“Bu Sherly sudah mulai menekan,” ujar Adriel pelan.

Leonard tidak menoleh.

“Aku lihat.”

Beberapa detik berlalu.

“Panggil Leora ke ruang saya,” kata Leonard akhirnya.

“Tapi tunggu sampai dia kembali ke lantai dua.”

“Baik, Pak.”

Lantai dua kembali ramai. Leora berjalan bersama Selin, Arga, Dimas, dan Riani menuju ruang kerja mereka.

“Ra, serius deh… itu tadi gila,” bisik Selin.

“CEO beneran ngebelain kamu,” sambung Dimas.

Leora tersenyum kecil.

“Bela perusahaan, bukan aku.”

Belum sempat mereka masuk ruang kerja

“Leora.”

Langkah mereka terhenti.

Adriel berdiri beberapa langkah dari mereka, ekspresinya profesional.

“Pak Leonard memanggil Anda ke ruang beliau.”

Udara langsung berubah.

Arga menoleh ke Leora.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Tenang,” jawab Leora ringan. “Aku nggak digigit kok.”

Ia mengikuti Adriel, meninggalkan tatapan penasaran di belakangnya.

Pintu ruang pribadi CEO tertutup.

Leonard duduk di balik meja, membaca dokumen dengan kacamata terpasang. Satu kaki menyilang, posturnya santai tapi berjarak.

Leora berdiri sebentar.

“Kenapa?”

Leonard tidak menjawab.

“Adriel, keluar.”

“Baik, Pak.”

Pintu tertutup lagi.

Hening.

Leora mendekat satu langkah.

“Jadi aku dipanggil ke sini buat liat kamu baca dokumen?”

“Duduk,” kata Leonard tanpa menoleh.

Leora duduk.

“Baik, Yang Mulia CEO.”

Leonard meliriknya.

“Jangan sok santai.”

“Kau yang sok dingin.”

Leonard menghela napas pelan.

“Apa yang kau lakukan di rapat tadi,” katanya akhirnya,

“itu rapi.”

Leora menyipitkan mata.

“Wah. Aku dapat pujian.”

“Jangan bangga.”

“Tenang,” balas Leora. “Di kantor ayah juga aku sering begitu.”

Leonard menoleh.

“Kau memang suka bicara panjang?”

“Kalau orang lain muter-muter, iya.”

Ia tersenyum tipis.

“Lagipula aku kan sudah terbiasa… jadi istri CEO.”

Leonard langsung mendongak.

“Leora.”

“Hah?” Leora tertawa kecil.

“Santai. Ruangan ini aman.”

Leonard memijat pelipisnya.

“Kau ini benar-benar tidak tahu tempat.”

“Justru aku tahu,” jawab Leora santai.

Leonard melepas kacamata dan meletakkannya di meja.

“Ngomong-ngomong,” katanya datar,

“laki-laki yang berjalan bersamamu tadi.”

“Oh,” Leora mengangkat alis. “Arga?”

“Kau cukup dekat dengannya.”

Leora bersandar.

“Ini terdengar seperti cemburu.”

“Tidak,” jawab Leonard cepat.

“Aku tidak peduli. Kau bebas dekat dengan siapa pun. Sama sepertiku.”

Leora tersenyum tipis.

“Tenang. Aku juga belum jatuh cinta.”

Leonard berdehem.

Ia mengambil sebuah map dan melemparkannya ke meja.

“Baca.”

Leora membuka map itu.

“Biodata Arga?”

Ia membaca cepat.

“Hm… riwayat konflik internal.”

“Dia ambisius,” kata Leonard.

“Dan sering melewati batas.”

Leora menutup map.

“Jadi ini peringatan CEO?”

“Ya.”

“Bukan nasihat suami?”

Leonard menatapnya dingin.

“Jangan bercanda.”

Leora berdiri.

“Baik, Pak Leonard.”

Ia melangkah ke pintu, lalu berhenti.

“Oh iya,” katanya tanpa menoleh,

“kalau kau benar-benar tidak peduli…”

Ia menoleh sebentar, tersenyum kecil.

“…kau tidak akan sampai minta biodata teman kerjaku."

“Leora.”

Ia berhenti, lalu menoleh setengah.

“Apa lagi, Pak CEO?”

Leonard menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Kembali duduk.”

Leora memutar mata pelan, tapi tetap kembali dan duduk.

“Kau tahu,” ujar Leonard, nadanya masih datar,

“gaya bicaramu di rapat tadi bisa membuat banyak orang tidak suka.”

Leora mengangkat bahu.

“Aku tahu.”

“Kau tidak peduli?”

“Aku peduli hasilnya,” jawab Leora santai.

“Bukan perasaan mereka.”

Leonard menatapnya beberapa detik.

“Di kantor ini, kepintaran tanpa politik bisa berbahaya.”

Leora tersenyum kecil.

“Makanya aku heran. Biasanya kau biarkan saja orang seperti aku jatuh.”

Leonard terdiam sebentar.

“Itu urusan perusahaan.”

“Oh,” Leora mengangguk sok paham.

“Kirain karena aku ini—”

“Jangan lanjutkan,” potong Leonard cepat.

Leora tertawa kecil.

“Aku belum bilang apa-apa, loh.”

Hening sejenak.

Leonard berdiri, berjalan ke arah jendela kaca besar.

“Kau terlalu mencolok.”

“Maaf,” balas Leora ringan.

“Mungkin aku lupa pakai mode ‘istri CEO yang kalem dan patuh’.”

Leonard menoleh tajam.

“Kau sengaja memancing?”

“Sedikit,” jawab Leora jujur.

“Seru juga lihat ekspresimu kaku begitu.”

Leonard mendengus.

“Kau menyebalkan.”

“Tapi pintar,” Leora menimpali cepat.

Leonard kembali ke mejanya.

“Jaga sikapmu. Terutama dengan orang-orang seperti Sherly dan Arga.”

Leora mengangguk.

“Aku tahu caranya menahan diri.”

Ia menatap Leonard.

“Tapi jangan khawatir. Aku tidak berniat cari masalah…

aku sudah cukup punya satu masalah besar.”

Leonard menaikkan alis.

“Apa?”

“Kau,” jawab Leora sambil tersenyum santai.

Leonard menahan napas sejenak.

“Keluar sebelum aku menyesal memanggilmu.”

Leora berdiri.

“Perintah CEO?”

“Ya.”

Leora berjalan ke pintu, lalu berhenti sekali lagi.

“Oh, Leonard.”

Leonard menoleh.

“Walau kau bilang tidak kagum,” kata Leora ringan,

“aku bisa bedakan tatapan orang menilai… dan orang terkesan.”

Ia membuka pintu.

“Tenang saja. Rahasiamu sebagai suami dingin tetap aman di tanganku.”

Pintu tertutup.

Leonard berdiri lama di ruangannya.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!