Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Mengambil Pesanan
Waktu berjalan begitu cepat. Hari ini adalah hari yang telah disepakati antara Nyonya Rika dan pemilik butik untuk mengambil gaun-gaun bridesmaid , yang ia pesan beberapa minggu lalu.
“Bagaimana, Nad? Sudah selesai kan mengking nya?” tanya Eliana sambil merapikan potongan kain, yang akan ia gunakan untuk membuat baju akad nikah nya dan Revan yang tidak lama lagi.
“Sudah beres.” Nadia mengacungkan jempol, dan tersenyum puas.“ Sekarang tinggal menunggu Nyonya Rika datang. Dan aku pastikan semuanya terbungkus dengan sempurna.”
Eliana mengangguk. “Alhamdulillah, selesai tepat waktu. Semoga Nyonya Rika dan para bridesmaid putri nya puas dengan hasil kerja kita.”
“Aamiin,” sahut Nadia. Ia lalu mengamati kain yang ada didepan Eliana. “Oh ya, El… baju akadmu gimana? Sudah kamu gunting semua?”
“Sudah. Tinggal proses selanjutnya. Nanti kamu bantu, ya?” pinta Eliana.
“Tentu saja. Aku selalu siap untuk mu,” jawab Nadia.
Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun tak lama kemudian, pintu butik berbunyi. Seorang pria masuk dan berdiri tegap di depan mereka.
“ Selamat siang, saya utusan dari Nyonya Rika. Saya ditugaskan untuk mengambil gaun-gaun pesanan beliau,” ucap pria itu begitu berdiri didepan Eliana.
Eliana dan Nadia saling pandang. Ada keraguan yang langsung muncul. Seingat mereka, tadi pagi Nyonya Rika sudah mengabarkan bahwa beliau sendiri yang akan datang ke butik.
“Maaf,” Eliana bertanya sopan, “apa benar Anda utusan langsung dari Nyonya Rika?”
Pria itu mengangguk mantap. “Betul, Nyonya sedang sibuk, jadi saya diminta untuk mengambilnya.”
Eliana tersenyum kecil, tetap menjaga sopan santun. “Baik, mohon tunggu sebentar. Kami ambilkan dulu barangnya.”
Begitu masuk ke ruang belakang, Nadia langsung berbisik, “El, kamu yakin dia benar-benar orangnya Nyonya Rika?”
“Tentu saja tidak Nadia, mana mungkin aku percaya begitu saja,” jawab Eliana pelan. “Nyonya Rika bilang sendiri kalau beliau yang akan datang. Kalau pun beliau mendadak berhalangan, pasti beliau mengabari kita terlebih dahulu.”
“Lalu kita harus gimana? Tidak mungkin juga kita usir begitu saja. Pasti dia bakal banyak alasan.”
Eliana tersenyum tipis. “Aku punya ide.”
“Apa?” Nadia makin penasaran.
“Kita pastikan dulu ke Nyonya Rika. Kalau benar pria yang datang itu bukan orangnya, baru kita hadapi.”
Eliana melakukan panggilan. Tak lama kemudian panggilan Eliana tersambung.
“Assalamu’alaikum, Nyonya Rika. Ini Eliana dari ELNA Boutique."
“Wa’alaikumsalam, Eliana. Ada apa?”
“Tadi ada seseorang datang, dia mengaku sebagai utusan dari Nyonya untuk mengambil gaun-gaun yang Nyonya pesan. Apa benar Anda yang meminta nya kemari?”
“Tentu tidak,” jawab Nyonya Rika cepat. “Saya tidak mengutus siapa pun. Saya sendiri yang akan langsung datang ke butik untuk mengambil pesanan saya. Siapa orang itu?”
“Kami kurang tahu, Nyonya. Ia hanya mengaku sebagai suruhan Anda.”
Terdengar helaan napas kesal dari seberang. “Jangan berikan gaun-gaun itu kepada siapa pun. Saya akan ke sana setelah urusan saya selesai. Tolong jaga baik-baik, pesanan saya Eliana.”
“Baik, Nyonya. Kami tunggu kedatangan Anda.”
“Terima kasih. Jangan sampai ada yang mengambil selain saya sendiri, jika saya berhalangan. Saya pastikan akan mengabari terlebih dahulu.” Kembali Nyonya Rika berpesan pada Eliana.
“Baik, Nyonya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Eliana menutup telepon dan memandang Nadia yang penasaran dengan apa yang Nyonya Rika katakan.
“Nadia, ternyata benar. Orang itu bukan suruhan Nyonya Rika,” ucap Eliana.
Mata Nadia terbelalak. “Terus apa rencana kita?”
Eliana tersenyum, kali ini lebih licik. “Sekarang kita mau main cantik. Ayo, ikut aku.”
Eliana dan Nadia berjalan menuju gudang, tempat berbagai potongan kain tidak terpakai disimpan. Sebelum beranjak, Eliana sempat memberi pesan kepada Dewi yang sedang menjaga area depan butik.
“Dewi, tolong awasi pria yang datang tadi. Awasi setiap pergerakan nya,” pesan Eliana.
“Baik, Kak El. Akan aku perhatikan dari sini,” jawab Dewi sambil mengangguk mantap.
Sesampainya di gudang, Eliana langsung menuju rak dimana kardus-kardus tersusun rapi. Ia menarik salah satu kardus berisi kain perca dan memegangnya erat.
“Nad, kamu tahu kan maksudku?” ucap Eliana sambil menatap Nadia.
Nadia tersenyum lebar.
“Wah, kamu memang jenius, El,” pujinya.
“Ayo, kita bungkus sekarang.”
Mereka bekerja cepat, membungkus potongan-potongan kain itu serapi mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Selesai membungkus, mereka kembali ke depan butik.
“Maaf agak lama,” ucap Eliana sambil menyerahkan bungkusan tersebut kepada pria itu.
Pria itu mengernyitkan dahi.
“Kenapa dibungkus seperti ini? Seperti mau mengirim paket saja,” gumamnya curiga.
Nadia segera menjawab dengan tenang.
“Maaf, Tuan. Kami sengaja membungkusnya seperti itu agar pesanan Nyonya Rika aman dan tidak ada yang kurang. Kami tidak ingin timbul masalah nantinya.”
Tanpa banyak tanya lagi, pria itu akhirnya mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu. Terima kasih.”
Pria itu bergegas pergi dan memasukkan bungkusan itu ke dalam mobil.
Begitu mobilnya menghilang dari pandangan, Eliana dan Nadia langsung tertawa kecil.
“Aku tidak menyangka jika hari ini, kita telah mengerjai orang. Benar-benar di luar dugaan ,” ucap Nadia sambil menggelengkan kepalanya.
“Siapa sebenarnya orang itu, El? Pasti ada yang menyuruhnya. Tidak mungkin dia bergerak sendiri,” tambahnya lagi.
Eliana menghela napas.
“Entahlah, Nad. Aku tidak mau menebak terlalu jauh, takutnya jadi fitnah.”
Nadia mengangguk setuju.
“Yang penting, pesanan Nyonya Rika tetap aman. Dan satu hal lagi kita harus lebih waspada,” tegas Eliana.
"Nyonya Rika baik sekali ya El, biasanya kan si pemilik pesta hanya menyediakan bahan untuk para Bridesmaidsnya. Ini Nyonya Rika yang mengurus semuanya. Ucap nadia kagum dengan Nyonya Rika.
" Aku juga berpikir begitu Nad, sampai-sampai untuk mengambil gaun ini Nyonya Rika langsung yang turun tangan.
Sementara itu, pria yang membawa bungkusan palsu itu berkendara dengan tenang. Tidak lama kemudian, ia menghubungi seseorang melalui telepon.
“Nyonya, apa yang Anda tugaskan sudah saya kerjakan.”
Dari seberang terdengar suara wanita.
“Bagus. Apa kamu berhasil membawanya?”
“Tentu, Nyonya. Gaun-gaun itu sudah saya bawa.”
“Kerja bagus. Segera antar ke alamat yang sudah aku berikan.” Perintahnya
“Baik, Nyonya.”
Sambungan telepon ditutup.
Senyum puas muncul di wajah Miranda. Ia yakin rencananya untuk menjatuhkan butik Eliana akhirnya sukses. Ia tidak menyadari bahwa semua tindakannya sudah dipantau sejak awal.
Pria itu tiba di alamat yang diberikan Miranda. Ternyata itu adalah apartemen Celin.
Saat pintu dibuka, ia langsung menunduk sopan.
“Maaf, Nona. Saya ditugaskan mengantarkan bungkusan ini ke alamat ini,” ucapnya sambil menyerahkan paket tersebut.
Celin tersenyum, karena ia sudah mengetahui hal ini sejak awal.
“Baik, terima kasih,” jawab Celin sambil membawa bungkusan itu ke dalam.
Sebenarnya Celin ingin segera membuka bungkusan itu, tetapi ia harus menahan diri. Miranda berpesan agar menunggu nya terlebih dahulu.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Miranda akhirnya tiba.
“Bagaimana, Cel? Orang suruhan kita sudah datang?” tanya Miranda dengan tidak sabar.
“Sudah. Itu barangnya,” ujar Celin sambil menunjuk bungkusan yang diletakkan di atas sofa.
“Ayo kita buka. Setelah itu, baru kita susun rencana berikutnya,” ucap Miranda bersemangat.
Mereka membuka bungkusan itu dengan cepat.
Begitu isi bungkusan terlihat, mata mereka langsung membulat sempurna.
“Apa-apaan ini…?” seru Miranda, kaget dan tak percaya.