NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Acuh

Hari demi hari berlalu, dan Livia semakin piawai memainkan perannya.

Di hadapan Narendra, sikapnya berubah—lebih dingin, lebih profesional, bahkan terkesan cuek. Ia berbicara seperlunya, menunduk saat berpapasan, dan selalu menjaga jarak yang aman. Tak ada lagi percakapan singkat di lorong, tak ada tatapan yang tertahan terlalu lama.

Padahal, setiap kali mata mereka bertemu, dada Livia tetap berdebar. Namun Ia hanya lebih pandai menyembunyikannya.

Narendra merasakannya, jarak yang disengaja itu. Dan jarak itu justru menyiksanya lebih dari sikap hangat. Ia mencoba bersikap normal, menahan diri, namun perasaan itu terus tumbuh dalam diam.

Hingga suatu sore.

Ketika Narendra baru saja keluar dari ruangannya, tak sengaja pandangannya tertumbuk pada pemandangan di depan lobi. Livia berdiri sambil tersenyum, senyum yang jarang ia lihat belakangan ini. Di hadapannya ada Seorang pria yang seperti tak asing di mata Narendra, pria itu bersandar santai di kap mobilnya, wajahnya penuh keakraban.

Mereka berdua tertawa. Bercanda ringan. Terlihat begitu dekat dan begitu akrab.

Dada Narendra seketika mengencang.

Ada rasa panas yang menjalar, tak rasional, tak ia kenali sebelumnya. Ia Cemburu tajam dan tiba-tiba. Tangannya mengepal tanpa sadar. Ia melangkah maju satu langkah, lalu berhenti. Karena ia teringat:

Ia tak punya hak.

Ia seorang CEO. Dan lebih nyatanya lagi,

Ia suami orang.

Dan ini sedang berada di kantornya sendiri.

Narendra memaksa dirinya tetap diam, menonton Livia masuk ke mobil Pria itu tanpa menoleh ke belakang. Mobil itu melaju perlahan, meninggalkannya yang berdiri sendiri dengan perasaan yang semakin kusut.

Narendra Kesal pada situasi. Cemburu pada pria lain. Dan marah pada dirinya sendiri.

Narendra menarik napas panjang, menahan emosi yang mengancam meledak. Ia berbalik, masuk kembali ke gedung, memasang wajah dingin yang sama yang selalu ia kenakan.

Namun sore itu, satu hal menjadi semakin jelas baginya: Perasaan yang ia coba kendalikan telah berubah menjadi sesuatu yang tak lagi bisa ia abaikan.

Sementara itu,

Mobil Reno melaju meninggalkan gedung kantor, membelah lalu lintas sore yang mulai padat. Livia bersandar di kursi penumpang, membuka sedikit jendela, membiarkan angin sore menerpa wajahnya, seolah ingin mengusir sisa sesak di dadanya.

Reno melirik sekilas. “Tadi… bos lo itu,” katanya santai namun matanya menyipit penuh selidik, “Narendra, kan? Gue ngerasa dia sempat ngeliatin ke arah kita. Tatapannya nggak ramah.”

Livia terkekeh kecil, pura-pura tak ambil pusing. “Ah, lo kegeeran. Dia paling cuma lagi lewat.”

Reno mengangkat alis. “Masa? Tatapan orang biasa sama tatapan orang lagi kesel tuh beda.”

Livia mengangkat bahu, meraih ponselnya. “Dia CEO, mungkin lagi banyak pikiran. Lagian gue sama dia profesional.”

Mobil berhenti di lampu merah pertama. Reno memiringkan sedikit badannya, menatap Livia lebih serius. “Gue cuma bisa ngingetin lo ya, Liv. Jangan main api.”

Livia menoleh. “Main api apaan?”

“Jangan terlalu dekat dengan dia,” ujar Reno pelan tapi tegas. “Dan lo… udah cukup punya masalah sama Dimas kemarin. Gue nggak mau lo kejebak di cerita yang bikin lo makin sakit.”

Livia terdiam sesaat. Senyumnya memudar, digantikan ekspresi tenang yang dibuat-buat. “Tenang aja. Gue tahu batas.”

Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju.

Reno tidak langsung menyalakan musik seperti biasanya. Ia melirik Livia sekilas, lalu kembali menatap jalan.

“Liv,” panggilnya pelan.

“Hm?”

“Jawaban lo barusan… terlalu santai.”

Livia tersenyum kecil. “Kenapa emangnya?”

Reno menghela napas. “Gue kenal lo lebih dari lima tahun. Kalau lo santai beneran, lo bakal nyeletuk balik. Tapi tadi lo ngeles.”

Livia terdiam.

Lampu merah kedua menyala. Reno menghentikan mobilnya kembali, lalu menoleh penuh pada Livia. “Gue mau nanya jujur. Jangan defensif.”

Livia menelan ludah. “Tanya apa?”

“Perasaan lo ke Narendra,” ucap Reno lugas. “Ada atau nggak?”

Jantung Livia berdegup keras. Ia terkekeh kecil, mencoba meremehkan. “Lo ngaco. Dia bos gue.”

“Dan dia suami orang,” sambung Reno. “Makanya gue nanya sekarang, sebelum semuanya keburu ribet.”

Livia memalingkan wajah. “Gue nggak ngapa-ngapain.”

“Gue nggak bilang lo ngapa-ngapain,” Reno melembutkan suara. “Tapi gue lihat. Cara dia ke lo beda. Perhatiannya kebanyakan buat sekadar atasan.”

Livia menutup mata sejenak. Bayangan perlakuan Narendra dari awal hingga sekarang semuanya berkelebat.

“Gue cuma… ngerasa dihargai,” katanya akhirnya, pelan. “Itu aja.”

Reno menatapnya lama. “Liv, itu kalimat paling berbahaya yang bisa keluar dari mulut perempuan yang kesepian.”

Lampu hijau menyala. Reno kembali mengemudi.

“Gue tau lo bukan tipe cewek yang gampang baper,” lanjut Reno. “Tapi gue juga tau, kalau lo udah ngerasa aman sama seseorang, lo bakal lengah.”

Livia tersenyum pahit. “Gue nggak berharap apa-apa.”

“Masalahnya,” Reno menurunkan suara, “perasaan nggak pernah nanya apakah kita berharap atau nggak.”

Livia menggigit bibirnya keras, “Gue cuma lagi capek, Ren. Capek sendirian.”

Reno menepikan mobil sejenak sebelum belok ke arah kafe. Ia menatap Livia dengan sorot yang sangat serius. “Makanya gue bilang jangan main api. Dimas udah ninggalin bekas luka. Jangan nambah luka baru, apalagi sama orang yang lo tau nggak mungkin lo miliki.”

Livia mengangguk kecil. “Gue janji, bisa jaga diri.”

Reno menyalakan mesin lagi. “Bukan cuma jaga diri, Liv. Jaga hati lo juga.”

Mobil kembali melaju menuju kafe langganan mereka. Di balik kaca jendela, lampu kota terlihat buram. Dan di dalam dada Livia, perasaan itu semakin sulit disangkal, bukan karena pertanyaan Reno, tapi karena ia tahu, jawabannya belum sepenuhnya jujur.

 

Narendra tiba di rumah ketika malam sudah turun sepenuhnya.

Lampu-lampu menyala terang, rumah itu rapi seperti biasa, terlalu rapi, terlalu sunyi. Saat pintu terbuka, Veronica menyambutnya dari ruang tengah, senyum tipis terpasang di wajahnya seperti rutinitas yang dihafal.

“Kamu baru pulang,” ucapnya datar.

Narendra hanya mengangguk singkat. Ia melepas jas, menyerahkannya pada ART tanpa menoleh ke arah Veronica. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, mood-nya sungguh sangat berantakan yang tak ia sembunyikan.

Biasanya, ia akan berhenti sejenak. Bertanya bagaimana hari Veronica. Mengambilkan minum. Duduk menemani walau hanya beberapa menit. Perhatian-perhatian kecil yang selama ini ia paksakan demi rumah tangga yang masih ingin ia pertahankan.

Namun malam ini tidak.

Narendra melangkah lurus melewati ruang tengah, seolah Veronica tak berada di sana. Veronica menoleh, alisnya berkerut. “Narendra?”

Ia berhenti sebentar, namun tidak berbalik. “Aku capek, mau langsung istirahat.” jawabnya singkat, lalu melanjutkan langkah menuju ruang kerjanya.

Pintu ruang kerja tertutup dengan bunyi pelan, namun cukup tegas untuk menciptakan jarak. Di dalam, Narendra menyalakan lampu meja, duduk, lalu menyandarkan punggung dengan napas berat. Dasi ia lepaskan dengan kasar, kancing kemeja dibuka satu per satu, gerakannya seperti tergesa, seolah menyimpan kelelahan emosi.

Ia menatap layar laptop yang masih gelap, pikirannya kembali pada senyum Livia bersama pria lain, sangat kontrak dengan cara gadis itu menunduk menghindari tatapannya.

Narendra mengepalkan tangan.

Ia tahu ini salah. Ia tahu ia sedang melangkah menjauh dari istrinya. Namun malam itu, mendekati Veronica terasa jauh lebih berat daripada menyendiri dengan pikirannya sendiri.

Di balik pintu, Veronica terdiam. Tidak mengetuk. Tidak memanggil lagi. Ia hanya menatap pintu tertutup itu dengan ekspresi datar, antara kesal dan pasrah.

Malam itu, rumah mereka kembali sunyi.

Dan Narendra kali ini, memilih kesendirian daripada berpura-pura baik-baik saja.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!