NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:166
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 30

Istana Aksantara hanyalah sebutan hiperbola, tidak seperti Château de Brissac, tidak pula seperti Wewelsburg di Jerman. Istana Aksantara hanyalah sebuah komplek super mewah yang dibentuk oleh fasad marmer dari atas permukaan sampai di bawah tanah sekalipun. Sejak usianya genap sepuluh tahun, ruang bawah tanah rumah mereka menjadi salah satu tempat favorit Darren Myles untuk bermain petak umpet dengan para pelayan.

Ruang bawah tanah adalah dunia masa kecilnya. Koridor berliku-liku panjang yang berlapis ubin hitam mengilap serta barisan lampu kuning yang menghangatkan setiap sudutnya. Di sanalah, bocah itu kerap berlari dengan bertelanjang kaki, menertawakan para pelayan yang terlampau lambat untuk mengejarnya. Dan bilamana ia kelelahan, ia akan duduk di ujung lorong, menggoreskan ujung krayon berwarna putih ke dinding sampai terbentuk wajah cantik ibunya. Hasil sederhana yang menurut bocah itu sudah layak untuk mengekspresikan rasa sayangnya kepada sang ibu.

Dari sekian banyak pelayan yang bekerja di rumah itu, hanya sedikit yang rela menyisihkan waktu istirahatnya untuk bermain bersama Darren. Salah satunya adalah Althea Rebecca.

Perempuan berambut pirang madu itu datang ke keluarga Aksantara ketika usianya baru delapan belas tahun. Kulitnya pucat, matanya biru-kehijauan seperti laut, dan senyumannya selembut sutra. Bidadari dari California kalau Darren bisa bilang pada waktu itu.

Althea sering ditemukan di belakang dapur, di ruangan dengan jendela yang menghadap taman belakang. Tempat itu adalah satu-satunya titik yang bisa mencium aroma luar seperti daun basah, hujan sore, dan suara jangkrik kala malam hari menjemput. Di situlah Darren sering menemuinya, membawa sesuatu yang baru seperti seekor kumbang, kertas hasil gambarannya, bahkan untuk sekedar batu yang ia temukan di taman, karena bocah itu kira adalah sebuah telur Dinosaurus.

Althea tidak pernah lelah dengan Darren. Bohong jika dirinya berpura-pura karena memang dibayar untuk itu. Pelayan itu benar-benar menyayangi Darren sebagaimana hati menuntun jalannya.

Di umur sepuluh tahun itu Darren gencar-gencarnya mengidolakan seseorang. Seseorang yang selalu memperlakukannya dengan dingin dan tegas. Seseorang yang memperlakukannya layaknya seorang prajurit yang esok akan pergi ke medan perang. Sayangnya Darren terlalu polos akan hal semacam itu. Ayahnya telah ia jadikan sebagai figur heroik yang bisa melindungi ibunya.

“Ayahku pernah bilang, kalau ada orang jahat datang, dia bisa menembak hanya dalam satu kedipan mata,” pamer Darren suatu sore sambil meletakkan mainan tentara hijau di lantai marmer.

“Lalu, apa yang akan Tuan Muda lakukan kalau itu terjadi sungguhan?” tanya Althea sambil tertawa kecil, tangannya sibuk menenteng sapu dan kemoceng.

“Aku mau jadi kuat seperti Ayah. Biar Ibu nggak perlu takut lagi.”

Kala itu wajah Althea ketara sekali berubah. Ada sesuatu yang bergetar di balik senyumnya, sebuah iba yang tidak seharusnya dimiliki pelayan untuk tuannya. Dia tahu apa yang terjadi di balik pintu tertutup. Ia tahu, bagaimana Radmilo mendidik anak itu bukan sebagai anak, melainkan sebagai prajurit yang harus siap menahan nyeri tanpa air mata.

Maka Althea hadir sebagai pelipur yang tersisa.

Ia mengajari Darren menata hati saat takut, menenangkannya ketika suara bentakan menggema dari lantai atas, bahkan membiarkan bocah itu tidur bersamanya di ruang bawah tanah jika malam terasa terlalu sunyi.

Tatkala ibunya sibuk menghadiri acara sosial, Althea-lah yang menyiapkan cokelat panas dan mendengarkan Darren bercerita betapa hebatnya sang ayah. Bocah itu selalu menatap langit-langit dengan mata berbinar, menceritakan bahwa ayahnya bisa melindungi siapa pun, terutama ibunya. Althea tidak pernah bosan mendengarnya, mengulang jawaban yang sama setiap waktu.

Suatu malam kala Darren sedang meluapkan rasa bosan, Althea duduk di kursi rotan dekat jendela dapur yang menghadap ke arah pepohonan untuk menemaninya. Bocah itu berbaring di lantai, separuh wajahnya tenggelam di lengan, sementara matanya mulai berat karena kantuk yang tertunda.

“Kenapa Tuan Muda belum tidur juga?”

Darren hanya mengangkat bahu. “Di atas terlalu berisik.”

“Berisik?”

“Ayah lagi marah. Aku gak tahu kenapa.”

Althea menatap bocah itu, lalu memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia sudah cukup sering mendengar suara keras dari lantai dua. Maka, malam itu, alih-alih bicara, ia meletakkan sapu ke dinding, lalu duduk di lantai di sebelah Darren. Melempar senyuman khasnya saat rambut pirang madu itu tergerai menyentuh lantai.

“Kalau begitu, kita diam saja, ya?”

“Diam aja?”

“Iya. Kadang diam itu lebih menenangkan daripada terlalu berisik.”

Althea bersandar ke dinding, matanya menerawang ke arah jendela, angin masih berembus dingin. Ia mendesah, kemudian tanpa sengaja mulai bersenandung. Suaranya jernih danau, seperti seruling yang lahir dari hati penuh kunang-kunang. Darren tidak dapat menyimpulkan seindah apa suara gadis itu. Memaksa bibirnya terbuka tanpa bocah itu sadari.

“Every time I dream of light, the dark comes back around… .”

“And maybe I’ll stay, if you ask me twice… .”

Darren menatapnya, terpana. Lagu itu asing di telinganya, tapi entah kenapa terasa akrab di dada, seolah sudah pernah ia dengar jauh sebelum bisa mengingat.

“Itu lagu apa? Bagus banget,” tanyanya bocah itu selirih mungkin, takut merusak suasana.

Althea tersenyum samar. “Lagu lama. Judulnya If You Ask Me Twice.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Dari seseorang yang aku kagumi.” Barisan gigi Althea berderet sempurna di depan Darren.

Ia tidak menjelaskan lebih lanjut, dan Darren tidak berani mendesak, mungkin karena anak itu belum akrab dengan dunia musik. Ia hanya mendengarkan, membiarkan setiap bait meluncur seperti cahaya yang menembus benteng kegelapan di hidupnya, menerangi setiap sudutnya seperti matahari terbit. Yang jelas ada sesuatu dalam suara Althea, semacam kasih yang menyandingkan wajah gadis itu dengan ibunya. Mereka mirip di mata Darren. Sangat mirip.

Ketika lagu itu selesai, Darren masih terdiam.

“Kenapa lagunya harus terasa sedih?” tanyanya lagi.

“Karena tidak semua yang indah harus bahagia, Tuan Muda,” jawab Althea. Wajahnya ketara sekali memikirkan setiap ucapannya. “Kadang kala, yang paling indah justru yang paling menyakitkan. Seperti kepompong yang berjuang untuk menjadi kupu-kupu.”

Darren tidak benar-benar mengerti, tapi ia mengingat nada-nada itu.

Bahkan bertahun-tahun kemudian, saat ia beranjak remaja, ia mendengar lagu yang sama dari balik pintu kamar ibunya.

Malam-malam tertentu, ibunya duduk sendirian di depan cermin, memandangi refleksi wajahnya sendiri sambil menyanyikan lagu yang sama.

“Every time I dream of light, the dark comes back around… .”

Ya. Nada itu, lirik itu. Batin Darren setiap kali mendengarnya.

Selalu, di balik celah pintu, Darren diam-diam bersembunyi, menahan napasnya, hanya untuk mendengar suara itu sedikit lebih lama.

Suatu siang, langit di luar tampak mendung. Udara Jakarta yang biasanya gerah justru terasa dingin. Darren kecil berlari menyusuri koridor lantai dua, membawa buku gambar dengan coretan krayon di tangannya. Ia ingin menunjukkan sebuah pesawat tempur dengan senjata besar yang diberi nama “Guardian” kepada ayahnya.

Pintu ruang kerja Radmilo sedikit terbuka. Cahaya putih menembus celahnya, membentuk garis tipis di lantai kayu mahoni.

Andaikata ia tahu apa yang akan dilihatnya, mungkin Darren takkan melangkah masuk. Tapi rasa penasaran selalu lebih kuat dari nalarnya yang masih muda.

Suasana di dalam ruangan itu berbeda. Wangi cerutu yang pekat bercampur aroma parfum wanita yang baginya familiar. Di meja kayu besar berukir nama ayahnya, Darren melihat sesuatu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Bahkan ia tidak tahu harus sedih atau marah, namun bibirnya sukar untuk dibuka.

Sang ayah berdiri di sana, punggungnya sedikit membungkuk, dengan wajah dibenamkan ke dada seseorang. Althea mendongak, mata biru-kehijauannya kini sembab di bawah cahaya lampu. Radmilo bermain kasar, namun tidak ada suara yang terlalu keras, tidak ada jeritan dari pelayan itu. Hanya desahan yang terdengar lebih seperti penyesalan daripada hasrat.

Di sanalah Darren terpaku jijik.

Kertas gambar di tangannya terjatuh tanpa ia sadari.

Untuk pertamakalinya Althea Rebecca menunjukkan ekspresi langka ketika pandanganya tidak sengaja bertemu Darren. Seketika wajahnya pucat, tidak ada senyuman selembut sutra kali ini, hanya penyesalan ketika bocah itu lari terbirit-birit tanpa sepengetahuan ayahnya.

Langkah kecilnya menggema di seluruh lorong panjang, menuruni anak tangga, melewati ruang tamu yang sepi, sampai ke ruang bawah tanah. Di sana ia berjongkok di pojok, memeluk lutut, dan menatap kosong ke dinding tempat ia biasa menggambar wajah ibunya.

Sejak hari itu, ia berhenti datang ke sana.

Dan setiap kali Althea mencoba menghampiri untuk membawakan cokelat panas, atau sekadar menanyakan kabar, Darren akan selalu mencari alasan untuk pergi.

Beberapa minggu kemudian, Althea menghilang dari rumah itu tanpa kabar. Tidak ada yang menjelaskan kepergiannya, tidak pula ada yang berani menanyakannya pada Radmilo. Hanya Elira yang menatap Darren dengan pandangan sedih suatu malam, seolah tahu ada sesuatu yang hancur di hati sang anak, tapi tidak tahu bagaimana memperbaikinya.

Darren tak pernah membicarakan kejadian itu pada siapa pun.

Namun sejak hari itu, ia berhenti memandang ayahnya sebagai pahlawan dan mulai belajar menatap dunia dengan mata yang sama dinginnya seperti mata sang ayah. Karena ternyata hanya dia satu-satunya pelindung ibunya.

Waktu telah menggerus segalanya. Tujuh belas tahun berlalu, ruang bawah tanah itu kini dipenuhi sarang laba-laba, Dunia Darren Myles Aksantara telah lama musnah bersama tawa masa kecilnya, bersama orang-orang yang dulu ia cintai tanpa pamrih.

Kini, pahlawan masa kecilnya sedang duduk di hadapannya, di dalam ruangan yang sama.

Ruang kerja Radmilo Surya Aksantara masih seperti dulu, dengan rak-rak kayu penuh buku, jendela tinggi dengan gorden beludru gelap, serta meja besar dari kayu mahoni yang dulu menjadi saksi pertama kali Darren memahami apa itu arti pengkhianatan. Tempat dimana ayahnya telah berselingkuh tanpa rasa bersalah.

Darren tidak berucap apa pun. Ia hanya mengeluarkan sepucuk amplop hitam dari balik jasnya yang ia terima kemarin. Alisnya terangkat sebelah kala mengangkat amplop itu sedikit lebih tinggi dari kepalanya.

Radmilo menyaksikannya tanpa ekspresi.

“Lakukan apa yang kau mau, tapi jangan sentuh gadis itu,” tegas Darren dengan santainya. “Apapun alasannya, apapun risikonya… dia milikku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!