Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
risgn
Pagi itu matahari sudah menembus jendela, cahaya hangatnya menyapu kamar. Melodi sudah bangun, bergegas menyiapkan diri untuk bekerja. Namun suasana hatinya berbeda dari biasanya.
Hari ini, ia harus membawa surat pengunduran diri. Meski hatinya sebenarnya sudah nyaman dengan pekerjaannya, adaSesampai di kantor, Melodi disapa Annisa, rekan kerjanya.
“Pagi Melodi, ehhh tumben agak siang,” ucap Annisa.
“Pagi, hemm lagi pengen bangun siang,” jawab Melodi.
“Tumben siang, biasanya kan Lo datang duluan dari gue,” ucap Annisa.
“Pak Dimas udah datang?” tanya Melodi.
“Cie nanyak pak Dimas ada apa nih,” komentar Annisa.
“Nggak mau kasih surat,” jawab Melodi singkat.
“Cie, surat apa?” tanya Annisa.
“Risgn?”ucap melodi singkat
“APA?!”annisa kaget
Mendengar Melodi bilang risgn, Annisa langsung kaget.
“Kok tiba-tiba sih Melodi, apa lo risih ya digangguin gue terus?”
“Gue… padahal baru aja ngerasa punya temen kantor, masa Lo udah risgn,” sahut Annisa dengan nada kecewa.
“Gue risgn bukan karena Lo, Annisa, tapi emang gue harus ke Jakarta aja,” jawab Melodi tenang.
“Kenapa?” tanya Annisa penasaran.
“Gue dapat kerjaan aja di sana, yang lebih… jadi gue mutusin untuk ambil,” jelas Melodi.
Annisa hanya bisa mengangguk, sedikit kecewa tapi mencoba mengerti keputusan temannya.
“Oh iya, Pak Dimas sudah datang belum?” tanya Melodi.
“Udah datang dia, malah tadi tanya gue kenapa Lo belum sampe,” jawab Annisa.
Mendengar itu, Melodi terdiam sejenak.
“Kalau mau ngomong buruan, katanya sih mau ada meeting, sih, bos,” tambah Annisa.
“Yaudah, gue keruangan dulu ya,” ucap Melodi sambil melangkah masuk ke ruangannya.
Melodi segera bergegas menuju ruang Dimas, walaupun rasanya campur aduk tak karuan.
Tok… tok…
“Masuk,” terdengar suara Dimas.
“Eh, Melodi, silahkan duduk. Ada apa?” Dimas menyapa sambil menatap Melodi.
“Ini… mau kasih ini aja sih,” ucap Melodi sambil menyerahkan surat.
“Surat apa?” tanya Dimas, sedikit mengernyit.
“Risgn?” Dimas terkejut. “Loh, kenapa? Kok tiba-tiba? Ada yang bikin nggak nyaman di kantor, atau kerjaannya terlalu banyak, atau kursinya nggak enak, kenapa?”
“Bukan, Pak. Emang saya mau risgn karena harus ke Jakarta,” jawab Melodi dengan nada tenang namun tetap tegas.
Ke Jakarta semendadak ini? Kalau cuma mau liburan nggak apa-apa, aku bisa kasih waktu kok, seminggu, dua minggu, sebulan?” tanya Dimas sambil menatap Melodi.
“Nggak, bukan liburan kok, Pak Dimas. Emang ada urusan aja,” jawab Melodi singkat.
“Aku bisa kasih cuti aja kalau gitu, kan nggak menetap di sana,” ujar Dimas mencoba menawar.
Melodi hanya terdiam, menunduk.
“Urusan paling lama berapa sih? Paling sebulan ya kan?” tanya Dimas lagi, tetap ingin mengerti situasi.
“Kayaknya emang nggak balik ke sini lagi,” jawab Melodi perlahan.
“Loh… mau merantau? Kenapa di sini, padahal udah enak kan?” Dimas menambahkan, terdengar khawatir.
“Emang lagi ada urusan aja, mohon untuk disetujui ya untuk risgn-nya,” pinta Melodi sambil menyerahkan surat itu kembali.
Melihat situasi itu, Dimas menatap Melodi dengan tajam seakan bisa membaca isi hatinya.
“Kamu nggak lagi nyembunyiin masalah kan? Cerita sama aku, ada apa?” tanyanya lembut namun tegas.
“Nggak kok, Pak Dimas. Nggak ada masalah apapun,” jawab Melodi cepat, berusaha tersenyum tipis.
“Tapi aku tau kamu, Melodi. Walaupun bukan yang dekat sama kamu, tapi aku tau sekarang kamu lagi bingung. Cerita sama aku,” kata Dimas, nada suaranya penuh perhatian.
Melodi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Pak Dimas, maaf… aku hargai keputusan saya ya,” ucapnya sambil menunduk.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Melodi segera berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan Dimas yang masih termenung di tempat duduknya.
Setelah menerima surat risgn dari Melodi, Dimas merasa ada yang mengganjal di hatinya. Entah kenapa, langkahnya seakan terhenti di tengah jalan. Perasaan yang selama ini ia pendam—ingin dekat, ingin melindungi, ingin menjadi bagian dari hidup Melodi—seolah tertahan.
Ia menatap surat itu sebentar, jantungnya berdebar aneh, dan ada rasa pahit yang sulit ia ungkapkan. Hatinya sedikit patah, karena meskipun ia ingin mendukung keputusan Melodi, tetap saja sulit menerima kenyataan bahwa gadis itu akan pergi jauh dari sisinya.
Dimas menghela napas panjang, menundukkan kepala, mencoba meredam rasa kecewa yang diam-diam merayapi hatinya. Langkahnya memang terhenti, tapi ia tahu satu hal: ia tetap ingin Melodi bahagia, meskipun itu berarti harus melepaskannya sementara waktu.