Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memulai misi..
Gita menatap ponsel di tangan Derby, lalu beralih ke wajah Derby.
Pria itu tampak tenang, sebuah topeng sempurna yang menutupi pikiran tajamnya. Dia tidak mengancam dengan nada tinggi; dia hanya menawarkan sebuah pisau dan jalan keluar.
Menjadi perawat: sebuah kepastian yang merendahkan, sebuah pemenjaraan di rumahnya sendiri, di bawah jempol suaminya yang kembali sebagai orang asing.
Menjadi senjata: sebuah ketidakpastian yang berbahaya, pengkhianatan terhadap sumpah pernikahannya, tetapi satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali harga dirinya—dan mendapatkan kebenaran.
Dia memikirkan Darren, kata-kata dinginnya, tatapan meremehkannya.
Tugasmu di rumah ini sangat jelas.
Pria yang dicintainya telah menghilang, digantikan oleh entitas kosong yang hanya bisa memerintah. Amarahnya mengalahkan rasa takutnya pada Derby.
Gita mengambil napak panjang, membuang udara yang terasa berat oleh ketegangan.
"Aku tidak akan jadi pelayan, Kak," katanya, suaranya kembali mantap, api yang dilihat Derby sebelumnya kini menyala terang. "Aku tidak akan membiarkan Darren mengambil hidupku dua kali."
Dia mengulurkan tangan. Jari-jarinya tidak bergetar lagi.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Derby tersenyum tipis—kali ini bukan senyum kemenangan atas Darren, melainkan senyum puas atas sekutu yang baru ditemukan.
"Ambil ponsel ini, Gita," katanya, dan Gita mengambilnya. Lagi-lagi, sentuhan singkat di antara mereka terasa seperti ikatan yang baru terbentuk, sebuah perjanjian yang dibuat di balik punggung Darren. "Ini adalah saluran komunikasi rahasia. Jangan pernah menggunakannya kecuali kamu sendirian, dan jangan pernah meninggalkannya di tempat Darren bisa melihatnya."
"Aku mengerti."
"Langkah pertama," kata Derby, matanya menyipit sedikit saat dia menurunkan volume suaranya lebih jauh. "Kamu akan melakukan apa yang Darren perintahkan. Siapkan makan malam, berikan obatku, bahkan—jika dia memaksamu—dorong kursi rodaku. Lakukan dengan patuh. Tapi saat kamu melakukan itu, kamu akan mengamati."
"Mengamati apa?"
"Darren. Perhatikan kebiasaan tidurnya. Telepon yang dia lakukan, terutama siapa yang dia hindari untuk dihubungi. Dan yang terpenting, tas yang dia bawa dari Kalimantan. Aku ragu dia kembali tanpa membawa sesuatu yang penting dari 'Proyek Bali' yang hancur itu."
"Aku tidak melihatnya membawa tas," bisik Gita.
"Justru itu yang menarik," balas Derby. "Bisa jadi dia menyembunyikannya. Tugasmu adalah menemukannya. Tas, flash drive, atau dokumen. Apa pun yang bisa menghubungkannya dengan orang-orang yang melibatkannya dalam bahaya."
Gita merasakan adrenalin memompa, menggantikan rasa takutnya dengan fokus yang dingin. Dia adalah seorang wanita yang baru saja kehilangan segalanya, dan kini dia diberi kesempatan untuk melawan.
"Dan jika aku menemukannya?"
"Maka kamu akan membawanya padaku," kata Derby. Dia mendorong kursi rodanya ke belakang sedikit, memecah keintiman yang terjalin. Nada suaranya kembali menjadi perintah dingin, perintah dari atasan yang menuntut hasil, bukan dari rekan konspirasi.
"Makan malam. Kamu harus menyiapkan makan malamku sekarang. Darren sudah kembali. Kamu tidak bisa berlama-lama di sini."
Gita mengepalkan ponsel baru itu di telapak tangannya. Perawat atau senjata. Malam ini, dia akan memainkan kedua peran itu sekaligus. Dia adalah istri yang patuh, pelayan yang melayani, tapi juga mata yang mengawasi, menunggu waktu untuk menusuk.
Dia berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan perpustakaan yang kini terasa seperti ruang komando yang berbahaya.
Malam itu, jam 20:00.
Gita berdiri di depan pintu kamar utama. Di balik pintu itu, suaminya tidur.
Setelah menyiapkan makan malam untuk Derby dan menyajikannya—Darren tidak keluar dari kamar bahkan untuk makan—Gita menghabiskan beberapa jam berikutnya untuk menjalankan peran perawatnya dengan sempurna.
Dia membawakan Derby obat malam, memastikan kursi rodanya terparkir dengan benar, bahkan memintanya untuk mengeluh jika ada yang tidak nyaman.
Derby hanya membalas dengan tatapan tajam dan minim bicara, menikmati sandiwara yang mereka mainkan.
Sekarang, rumah itu sunyi. Para pelayan sudah kembali ke mess mereka. Hanya Gita dan dua bersaudara itu yang tersisa.
Gita menarik napas, tangannya meraih kenop pintu. Dia tidak bisa langsung mencari di kamar itu. Itu terlalu berisiko, terlalu jelas. Dia harus melihat kondisi Darren dulu.
Dia membuka pintu pelan-pelan. Kamar itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang masuk dari jendela besar. Darren sudah terlelap di ranjang, masih mengenakan kemeja kusut yang sama. Napasnya berat dan teratur.
Gita bergerak tanpa suara, seperti bayangan. Dia masuk dan menutup pintu. Matanya beradaptasi dengan kegelapan.
Hal pertama yang dia perhatikan adalah kamar mandi. Pintunya sedikit terbuka.
Dia mendekati ranjang. Darren tidur nyenyak, tampak lelah, lebih mirip orang yang baru saja bertarung di medan perang daripada orang yang kembali dari liburan.
Saat dia berdiri di sana, mengamati wajah yang dulu dicintainya, dia melihat sebuah kunci kecil yang diletakkan di nakas, di samping ponsel Darren. Kunci loker.
Gita membeku. Dia tahu persis kunci apa itu. Kunci dari kotak penyimpanan kecil yang sangat tua di ruang kerja Darren, tempat suaminya biasa menyimpan barang-barang penting yang tidak ingin dia simpan di brankas keluarga.
Ini terlalu mudah. Derby benar. Darren pasti membawa sesuatu.
Gita mengambil kunci itu tanpa suara, merasakan dinginnya logam di telapak tangannya. Dia tidak menyentuh ponsel Darren.
Dia berbalik dan keluar dari kamar, menutup pintu dengan kehati-hatian yang berlebihan. Jantungnya berdebar kencang, setiap detak terasa menggelegar di keheningan rumah.
Dia tidak pergi ke perpustakaan. Itu terlalu jauh. Dia pergi ke ruang kerja Darren yang kecil—sebuah kamar di lantai dasar yang sudah lama tidak dipakai sejak Derby lumpuh.
Gita menyalakan lampu meja yang redup. Ruangan itu berbau apak. Di sudut, di balik rak buku, ada kotak kayu yang dimaksud.
Dengan tangan gemetar, dia memasukkan kunci itu.
Kunci itu berputar dengan suara klik pelan.
Dia mengangkat tutupnya. Di dalamnya, tidak ada uang atau permata. Hanya ada satu benda: flash drive hitam kecil, dan sebuah kertas kusut.
Gita mengambil kertas itu terlebih dahulu. Itu adalah catatan tulisan tangan, buru-buru ditulis dengan tinta biru.
Temui aku. 23:00. Jembatan. Jangan bawa orang. Jangan bawa Derby. Mereka tahu.
Dia membaca pesan itu dua kali. Mereka tahu. Siapa 'mereka'?
Jembatan mana? Jakarta punya banyak jembatan.
Dia segera mengambil flash drive itu.
Saat dia memegang flash drive di satu tangan dan catatan itu di tangan lain, ponsel di sakunya, ponsel yang diberikan Derby, bergetar sekali. Itu adalah sebuah pesan baru.
Dari Derby.
Aku mendengarnya. Kamu tidak di kamar. Jangan buang waktu, Gita. Bawa yang kamu temukan ke sini. Sekarang.
Bersambung..