NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:814
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 (Part 1)

Bunga memecahkan telur ke dalam mangkuk. Tangannya tidak lagi gemetar. Suara Bunga di dapur—mengocok telur, memotong cabai—adalah satu-satunya suara di apartemen itu.

Arga tidak kembali ke kamarnya. Ia tetap duduk di meja makan, laptopnya tertutup. Ia memperhatikan Bunga memasak dalam diam. Punggung kaku Bunga yang tadi membersihkan apartemen dengan penuh amarah, kini terlihat lebih rileks saat ia sibuk di depan kompor.

Bunga meletakkan sepiring nasi panas dan sepotong telur dadar yang tebal, garing di pinggirnya, dan penuh dengan irisan cabai rawit merah di depan Arga. Asapnya masih mengepul.

"Nih," kata Bunga pelan. "Awas pedas."

Ia kemudian mengambil piring untuk dirinya sendiri, menyendok mi instan yang sudah keburu dingin ke dalamnya. Ia tidak peduli.

Arga mengambil sendok, memotong sedikit telur dadarnya, dan memakannya bersama nasi. Ia mengunyah perlahan. Matanya terpejam sejenak.

"Enak," katanya, suaranya serak. "Makasih."

Bunga hanya mengangguk, duduk di seberangnya, dan mulai memakan mi dinginnya. Keheningan itu canggung, tapi tidak lagi bermusuhan. Itu adalah keheningan dua orang yang baru saja selamat dari badai besar dan kini sedang menilai kerusakannya.

Arga makan dengan cepat, seakan ia memang kelaparan seharian. Setelah piringnya bersih, ia tidak langsung pergi. Ia menatap Bunga yang sedang mengaduk-aduk mi-nya tanpa nafsu.

"Mi-nya dibuang," kata Arga pelan.

Bunga mendongak. "Masih ada..."

"Sudah dingin. Nggak enak," kata Arga. "Bikin lagi yang baru. Atau goreng telur lagi."

"Nggak usah, Mas. Bunga nggak lapar."

"Kamu belum makan dari siang, Bunga," kata Arga. Kali ini nadanya bukan perintah, tapi... fakta. Ia memperhatikan Bunga. "Kamu marah?"

"Nggak," jawab Bunga. "Cuma... capek."

"Oke." Arga bersandar di kursinya. "Kita perlu bicara. Biar jelas."

Bunga meletakkan garpunya.

"Mas minta maaf," kata Arga lagi, dengan tulus. "Kata-kata Mas semalam... salah. Nggak seharusnya Mas bilang begitu. Mas nggak mikir kamu 'gampangan'. Mas cuma... kaget. Dan marah."

"Marah karena Bunga bohong," kata Bunga, mengulang pelajaran yang ia dapat.

"Ya. Marah karena kamu bohong," tegas Arga. "Dan marah karena..." Ia berhenti, mencari kata yang tepat. "Marah karena kamu merasa perlu berbohong sama Mas."

Penjelasan itu membuat Bunga mendongak.

"Mas," Arga menatap Bunga lekat, "Mas tahu Mas kaku. Mas tahu Mas bawel. Tapi Mas bukan Ayahmu. Kamu nggak perlu takut sama Mas. Perjanjian kita adalah perjanjian partner. Dan partner itu nggak saling membohongi."

Hati Bunga terasa perih. Ia merasa semakin bersalah.

"Bunga minta maaf," bisik Bunga. "Bunga janji... Bunga nggak akan bohong lagi. Soal apa pun."

"Termasuk soal Kak Reza-mu itu?" tanya Arga.

Bunga sedikit tersentak mendengar nada posesif dalam kata "Kak Reza-mu". "Iya. Termasuk soal dia. Bunga janji akan jujur."

Arga mengangguk. "Bagus. Karena Mas juga akan jujur sama kamu."

Bunga menunggunya.

"Mas nggak suka dia," kata Arga datar.

Ini adalah pengakuan yang mengejutkan. Bukan lagi "Mas nggak suka kamu bohong," tapi "Mas nggak suka dia."

"Mas nggak suka cara dia deketin kamu," lanjut Arga. "Ngasih nomor, minta dikabari, traktir ngopi. Itu semua... standar. Mas kenal tipe cowok kayak dia."

"Mas Arga kenal Kak Reza?"

"Nggak," kata Arga. "Tapi Mas kenal 'jenis'-nya. Dan Mas nggak mau kamu jadi... korban selanjutnya."

"Bunga bukan anak kecil, Mas!" protes Bunga, egonya sedikit terluka.

"Mas tahu," balas Arga. "Makanya Mas nggak akan larang kamu. Itu poin utamanya."

Bunga terdiam.

"Kamu mau berteman sama dia, silakan. Kamu mau kerjakan proyek BEM-nya, silakan. Itu bagus buat portofolio kamu," kata Arga, logikanya kembali. "Tapi Mas minta satu hal. Jujur. Kasih tahu Mas kamu mau ke mana, sama siapa, dan pulang jam berapa. Bukan karena Mas mau mengekangmu, Bunga. Tapi karena kalau, amit-amit, terjadi sesuatu sama kamu, Mas tahu harus cari kamu di mana."

Penjelasan itu menampar Bunga dengan kenyataan. Kebebasan yang ia dambakan di kota besar ternyata datang dengan tanggung jawab besar. Dan Arga, dengan caranya yang kaku, sedang mencoba menyeimbangkan keduanya.

"Iya, Mas," kata Bunga pelan. "Bunga ngerti. Bunga janji."

"Oke," kata Arga. Gencatan senjata itu resmi.

Ia bangkit, membawa piring kotornya dan piring mi Bunga yang nyaris tak tersentuh ke tempat cuci.

"Sekarang," katanya sambil menyalakan keran, "kamu bikin telur dadar lagi. Dan makan. Mas nggak mau kamu sakit."

Bunga menatap punggung Arga yang sedang mencuci piring. "Mas yang bikinin," pinta Bunga manja, menguji batas.

Arga berhenti mencuci. Ia menoleh sedikit. "Mas nggak bisa bikin telur dadar sebagus kamu. Nanti gosong."

Bunga tersenyum kecil. "Nggak apa-apa."

Arga mendesah. "Manja." Tapi ia mematikan keran, mengeringkan tangannya, dan mengambil mangkuk. "Cabainya berapa?"

"Lima!" seru Bunga ceria.

Perang dingin itu telah berakhir. Mereka berdua selamat. Tapi mereka tahu, sesuatu telah berubah. 'Perjanjian' mereka kini punya aturan baru yang tak tertulis, aturan yang didasari kejujuran, dan perasaan aneh yang tak seorang pun dari mereka berani sebut namanya.

Minggu pagi, suasana apartemen terasa ringan. Aneh. Tapi ringan.

Arga, seperti janjinya, tidak membahas soal Reza lagi. Ia sibuk dengan laptopnya di ruang tamu, mengerjakan revisi gambar proyeknya. Bunga sibuk di kamarnya, membuka buku-buku kuliahnya. Hari Senin besok adalah hari pertama kuliahnya yang sesungguhnya.

"Mas!" panggil Bunga dari kamarnya.

"Apa?" teriak Arga dari ruang tamu.

Bunga keluar kamar sambil membawa buku catatan. "Ini, Mas. Mata kuliah 'Struktur dan Konstruksi Bangunan'. Bukunya tebal banget. Bunga baca nggak ngerti. Ini maksudnya 'beban mati' sama 'beban hidup' apaan?"

Arga mendongak dari laptopnya, menatap Bunga yang berdiri dengan piyama tidur bergambar beruang dan wajah bingung. Ia tersenyum tipis.

"Sini," katanya, menepuk tempat kosong di sofa di sebelahnya.

Bunga ragu sejenak. Duduk di sofa sebelah Arga? Semalam mereka masih berperang.

"Cepetan. Sebelum Mas lupa ilmunya."

Bunga duduk, tapi menjaga jarak aman di ujung sofa. Arga mengambil buku catatan Bunga.

"Gampangannya gini," Arga mulai menjelaskan. Tangannya mengambil pensil Bunga dan mulai membuat sketsa di buku catatan itu. "Beban mati itu... kayak tembok, lantai, atap. Bagian dari gedung itu sendiri. Kalau 'beban hidup' itu kamu, Mas, meja ini, sofa ini. Sesuatu yang bisa pindah-pindah."

Penjelasan Arga jernih dan mudah dimengerti. Jauh lebih baik dari bahasa buku yang kaku. Bunga mendengarkan dengan saksama, matanya terpaku pada tangan Arga yang dengan cepat dan ahli menggambar diagram kolom dan balok.

"Ngerti?" tanya Arga setelah sepuluh menit.

"Ngerti, Mas! Ngerti banget!" kata Bunga antusias. "Jadi... kalau gempa itu masuknya beban apa?"

"Beban lateral. Itu beda lagi..."

Mereka menghabiskan satu jam berikutnya di sofa itu. Arga yang logis dan kaku berubah menjadi dosen yang sabar. Bunga berubah menjadi mahasiswi yang penuh rasa ingin tahu. Mereka lupa kalau mereka adalah 'suami-istri pura-pura'. Mereka lupa kalau mereka baru saja bertengkar hebat.

Saat itu, mereka hanyalah dua arsitek—satu senior, satu junior—yang sedang mendiskusikan hasrat mereka yang sama.

Sore harinya, Bunga sudah siap dengan setelan kemeja dan rok untuk kuliah besok. Ia merasa jauh lebih tenang.

Senin pagi. Hari pertama kuliah.

Bunga bangun pagi-pagi, semangatnya meluap. Ia keluar kamar, dan seperti biasa, Arga sudah rapi dengan kemeja kantornya dan sedang membuat kopi.

"Pagi, Mas!"

"Pagi. Roti?" tawar Arga, sudah hafal rutinitas mereka.

"Siap!"

Mereka sarapan dalam diam yang nyaman.

"Mas," kata Bunga di sela-sela kunyahannya. "Nanti... Mas Arga anterin Bunga sampai gerbang lagi?"

Arga berhenti minum kopi. "Memang kenapa?"

"Nggak apa-apa. Takut... KRL-nya," cicit Bunga. Ia teringat betapa mengerikannya tergencet sendirian.

Arga menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Manja."

"Biarin!"

"Ya sudah. Tapi cuma sampai stasiun universitas. Mas juga harus kejar meeting."

"Makasih, Mas Arga!"

Perjalanan di KRL pagi itu sama padatnya dengan neraka. Tapi kali ini, Bunga tidak panik. Begitu mereka terdorong masuk, Arga langsung memposisikan Bunga di sudut dekat pintu.

Ia berdiri di depan Bunga, menghadapinya. Satu tangannya memegang tiang di atas kepala Bunga, satu lagi di tiang samping.

Bunga kini terperangkap dalam 'sangkar' yang dibuat oleh lengan Arga.

Kali ini terasa berbeda.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!