Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 19
Malam itu, Bima tiba di rumah besar Tante Elina, yang dulunya adalah tempat Ayah Sanjaya sering mengadakan pertemuan bisnis. Bangunan bergaya klasik yang megah itu kini berfungsi sebagai pusat gravitasi bagi Keluarga Pengambil Aset, sebuah monumen bisu atas warisan yang dicuri lima tahun lalu. Bima melangkah masuk didampingi Dinda yang menggandeng tangannya erat, dan Risa yang tampil anggun dalam balutan pakaian formal pilihannya.
Suasana di ruang tamu terasa padat, dipenuhi gema tawa formal dan obrolan tentang akuisisi properti dan kenaikan harga saham. Pak Bram dan Bu Lasmini menyambut mereka dengan kelegaan, tetapi yang lain, paman, bibi, dan sepupu, hanya memberikan pandangan mata yang menilai. Mereka melihat Bima sebagai pengingat pahit akan kemiskinan yang berhasil ia loloskan, bukan sebagai pebisnis yang sukses.
Roni Sanjaya, si Proksi Kebencian Sosial, muncul dari ruang makan, menjulurkan senyum yang dingin. Penampilannya rapi, mengenakan setelan bisnis yang jelas mahal, melambangkan Kekayaan Terlihat yang ia agungkan.
“Bima. Akhirnya kamu berani datang,” sapa Roni, dengan nada yang terselubung penghinaan. “Saya dengar kamu sekarang sibuk dengan rongsokan dan barang bekas. Usaha yang… unik, untuk ukuran Sanjaya.”
{Roni hanya melihat kulit, bukan inti. Dia hanya menghargai aset yang terdaftar di bursa, bukan Nilai Tersembunyi dari margin 400% yang Yura ciptakan. Ia adalah ujian pertama, proksi yang diutus oleh kebencian kolektif keluarga.}
Bima melepaskan tangan Dinda, menenangkan adiknya dengan senyuman sekilas, lalu berbalik menghadapi Roni. Tatapannya tenang, tidak menunjukkan sedikit pun kemarahan, hanya kalkulasi dingin seorang CEO yang bernegosiasi.
“Yura Restorasi, Roni,” koreksi Bima dengan suara datar. “Kami fokus pada restorasi aset teknologi yang dinilai terlalu rendah, menciptakan nilai tambah yang ekstrem dari barang yang dianggap sampah. Saya datang bukan sebagai anggota keluarga, tetapi seperti yang Risa sarankan, untuk Pertemuan Dewan ini.”
Roni tertawa pelan, tawa yang dibuat-buat agar terdengar oleh seluruh ruangan. “Pertemuan Dewan? Jadi, berapa total aset bersih yang berhasil kamu ‘restorasi’ sekarang? Sudah mencapai harga satu mobil bekas barangkali?”
Dinda menarik ujung baju Bima, tetapi Risa melangkah maju sedikit, kehadirannya menjadi Jaringan Pengaman Sosial Bima.
“Roni, bukankah kita harus membicarakan hal-hal yang lebih besar?” Risa menyela dengan senyum ramah, suaranya menarik perhatian beberapa bibi. “Bima sedang mempersiapkan ekspansi vertikal. Margin keuntungan 400% Yura jauh lebih menarik daripada saham perusahaan pertambangan yang hanya menghasilkan sepuluh persen.”
Perkataan Risa sedikit membelokkan narasi, mengubah fokus dari ‘rongsokan’ menjadi ‘margin keuntungan’. Namun, Roni segera menguasai kembali panggung.
“Empat ratus persen? Angka itu terdengar seperti tipuan akuntansi, Risa. Berapa totalnya? Tiga juta rupiah? Lima juta?” Roni mencondongkan tubuh ke Bima. “Kami semua di sini penasaran. Apa angka terbesarmu saat ini?”
Bima menganggapnya sebagai pertanyaan kunci, saatnya menukar kebohongan Kekayaan Terlihat dengan realitas Kekayaan Fungsional.
“Aset bersih Yura saat ini mencapai Rp68.000.000,” jawab Bima dengan nada pasti. Ia tidak menggunakan kata 'hampir' atau 'kira-kira', karena dalam dunia modal, angka haruslah final. “Dan kami sedang menyusun proposal untuk mencari Investor Strategis dengan target modal minimal Rp250.000.000.”
Suara-suara di ruangan tiba-tiba mereda. Rp68.000.000 bukan lagi modal untuk melunasi utang, tetapi modal awal yang cukup untuk menyewa toko permanen selama satu tahun, merekrut tim, dan melakukan operasional yang stabil. Angka itu jauh melampaui ekspektasi Roni.
“Dua ratus lima puluh juta?” Roni mengulanginya, matanya menunjukkan keraguan yang nyata. “Itu angka yang sangat besar untuk… menjual barang bekas.”
“Itu adalah Pintu Masuk Modal Korporat, Roni,” balas Bima, menggunakan terminologi yang baru ia pelajari dari Tuan Banu. “Untuk mendapatkan pasokan aset dari lelang bank yang bangkrut dan corporate refresh perusahaan IT besar, biaya deposit awal yang tidak dapat dikembalikan adalah Rp100.000.000 per lot. Target Rp250.000.000 adalah tiket masuk, bukan sekadar uang beli. Kami tidak lagi berburu di lapak, kami sedang mencari gerbang pasokan skala besar.”
{Ini adalah bahasa yang mereka mengerti. Aku tidak berbicara tentang moral atau emosi; aku berbicara tentang Barrier Deposit Korporat dan Leverage Pasokan. Ini adalah sesi Validasi Nilai, dan nilai itu diukur dengan ambisi, strategi, dan angka yang spesifik, bukan dengan utang masa lalu.}
Para paman dan bibi mulai berbisik. Mereka, yang adalah para pengambil aset, tiba-tiba melihat Bima bukan sebagai anak yatim piatu yang malang, melainkan sebagai pemain yang sedang mengincar level di mana mereka sendiri beroperasi. Pak Bram tersenyum puas dari kejauhan, sementara Bu Lasmini mengangguk bangga.
Roni Sanjaya kehilangan pijakan, senyum sombongnya menghilang. Ia mencoba menyerang dari sudut lain.
“Baik, kalau begitu,” kata Roni, suaranya sedikit tegang. “Kamu datang ke Pertemuan Dewan, kamu membawa adikmu, yang kita semua tahu aset non-likuidmu yang paling berharga. Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami? Dukungan modal? Maaf, kami hanya berinvestasi di aset yang terjamin.”
Bima menatap Roni lurus. Di sebelahnya, Dinda dengan tenang memegang ujung bajunya, tanpa rasa takut.
“Saya tidak datang untuk mencari dukungan modal, Roni,” jawab Bima. “Modal Yura akan datang dari Validasi Kepercayaan di gala akhir pekan ini. Saya datang untuk menegaskan tujuan Rp250.000.000 ini: angka itu bukan hanya untuk membeli aset, tetapi juga sebagai harga yang harus kubayar untuk membalikkan narasi Keluarga Pengambil Aset ini, dan mengembalikan martabat Bima dan Dinda.”
Semua orang terdiam. Untuk pertama kalinya, mereka mendengar ancaman yang dibungkus strategi bisnis, sebuah penantangan yang didasarkan pada kekayaan fungsional, bukan dendam emosional.
{Validasi Sosial telah tercapai. Aku telah menaikkan harga saham sosialku di mata mereka. Sekarang, saatnya fokus pada Validasi Kepercayaan di mata Investor Strategis.}
Roni Sanjaya tidak diberi kesempatan untuk membalas, karena suara tajam yang penuh wibawa tiba-tiba memotong ketegangan di ruangan.
“Cukup. Roni, Bima, saatnya kita makan.” Tante Elina Sanjaya, kepala rumah tangga sekaligus Pengambil Aset Utama, berdiri di ambang pintu ruang makan. Ekspresinya tenang, tetapi sorot matanya yang dingin menunjukkan bahwa ia telah mencerna semua informasi yang dilemparkan Bima, termasuk angka-angka yang mengejutkan itu.
Bima mendudukkan Dinda di antara Pak Bram dan Bu Lasmini di meja panjang, memastikan adiknya memiliki Jaringan Pengaman yang paling kuat. Sementara itu, ia mengambil tempat duduk di seberang Roni dan di samping Tante Elina, menempatkan dirinya tepat di pusat medan energi negatif.
Hidangan mewah disajikan, tetapi tidak ada yang fokus pada makanan. Suasana hening yang canggung tergantung di udara, berat karena pertanyaan yang belum terjawab.
Tante Elina meletakkan sendoknya, melirik Bima dengan tatapan yang terasa seperti perhitungan auditor. “Rp250.000.000,” ulangnya perlahan, sengaja menggelembungkan angka tersebut di depan semua anggota keluarga. “Angka yang fantastis untuk seorang pemuda yang baru keluar dari lingkungan kumuh. Bukankah begitu, Bima?”
{Elina tidak menyerang angka itu sendiri, tetapi Narasi Belakang Angka-ku. Ia mencoba mendiskreditkan kapabilitas dengan mengaitkannya pada masa lalu yang menyakitkan. Ini adalah serangan emosional yang cerdas.}
Bima membersihkan tenggorokannya dan mengambil piring kecil di hadapannya, memainkan peran sebagai tamu yang sopan dan profesional.
“Tentu saja, Tante Elina. Lingkungan kumuh, atau lebih tepatnya, Distrik Modal Terbatas, justru menjadi keunggulan kompetitif Yura,” jawab Bima, menolak terminologi negatif Elina dan menggantinya dengan istilah bisnis. “Di sana, kami belajar cara menciptakan profit dari inefisiensi pasar yang sempurna. Di sana, kami menemukan bahwa satu-satunya perbedaan antara aset yang bernilai Rp50.000 dan Rp500.000 adalah komponen chip kecil senilai Rp5.000 dan waktu restorasi tiga puluh menit. Kami mengubah inefisiensi teknis menjadi Margin Keuntungan Bruto yang Absurd.”
Tante Elina mengangkat alisnya sedikit, ini adalah reaksi yang langka darinya. Anggota keluarga yang lain memandang Bima dengan campuran kejutan dan kekaguman tersembunyi.
“Sebuah penjelasan yang indah, Bima,” Elina memuji dengan senyum tipis, tetapi segera menyerang ke bagian yang paling sensitif. “Namun, margin hanya berarti jika ada volume yang berkelanjutan. Saya tahu kamu masih beroperasi di garasi. Bagaimana kamu akan meyakinkan investor, yang rata-rata usianya empat puluh tahun dan sangat skeptis, bahwa seorang anak berusia dua puluh dua tahun dengan latar belakang garasi ini mampu mengelola modal seperempat miliar?”
{Ini adalah pertanyaan sesungguhnya: Validasi Kepercayaan Manajerial. Aku harus menggunakan satu-satunya keunggulan yang tidak mereka miliki: keberanian yang datang dari tidak adanya rasa takut kehilangan apa pun, dan visi yang jelas.}
“Saya akan menunjukkan kepada mereka proyeksi saya, Tante,” Bima menjawab, suaranya kini mengambil otoritas seorang CEO yang yakin. “Saya tidak akan menyembunyikan masa lalu saya, justru saya akan menggunakannya. Saya akan mengatakan, ‘Saya membangun bisnis ini dari nol, melunasi utang keluarga, dan menghasilkan Rp68.000.000 hanya dalam tiga bulan, semua dilakukan di tengah kondisi modal paling terbatas yang pernah ada.’ Itu bukan risiko, Tante Elina, itu adalah Pengujian Stres Operasional yang terbukti sukses.”
Bima mencondongkan tubuh sedikit, menatap Elina tepat di matanya. “Lalu, saya akan menunjukkan bahwa target Rp250.000.000 akan sepenuhnya dialokasikan untuk deposit pasokan, bukan untuk membayar gaji saya, bukan untuk mobil mewah, dan bukan untuk renovasi kantor. Investor tidak berinvestasi pada garasi, Tante. Mereka berinvestasi pada Sistem yang Teruji dan Terukur.”
Elina terdiam untuk waktu yang lama, membiarkan perkataan Bima menggantung di udara. Kekuatan argumen Bima, yang didukung oleh angka nyata dan terminologi bisnis yang ketat, meruntuhkan semua serangan berbasis sosial dan emosional yang coba dilancarkannya. Dia tidak dapat menyanggah angka atau logika bisnis, karena itu adalah satu-satunya bahasa yang ia hargai.
Akhirnya, Tante Elina menghela napas, sebuah gerakan yang hampir tidak terdeteksi.
“Baiklah, Bima. Tunjukkan pada kami,” katanya, suaranya kembali datar. “Tunjukkan bahwa kamu layak berada di meja makan ini.”
Bima membalas tatapan itu, senyum pertamanya malam itu muncul di wajahnya, senyum yang dingin dan penuh perhitungan. “Tentu, Tante. Saya berencana melakukannya di acara gala akhir pekan ini.”
{Pertempuran Validasi Sosial dimenangkan. Sekarang, aku memiliki Keuntungan Psikologis yang cukup untuk menghadapi Validasi Kepercayaan di panggung yang lebih besar, dengan dukungan dari Tuan Banu dan Risa.}