Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak rela
Galih meraih tangan Arumni, saat Arumni hendak ke dalam, Galih menariknya begitu cepat hingga Arumni terjatuh dalam pelukan Galih. Tangannya menahan dada Galih, "lepaskan aku mas, ibu membutuhkan obat ini!" ucapnya.
Galih mendekapnya erat. "Siapa sih dia, Arumni?" Lirihnya. "Aku ngak rela kamu dekat dengannya, aku ngak rela!" Galih memekik frustasi.
"Aarrggh!!" Arumni mendorong dada Galih dengan sekuat tenaga. "Kamu pikir aku rela kamu bersama wanita lain, mas?" matanya melotot.
"Kamu dengar dulu Arumni, aku akan ceraikan Mita, aku mohon kamu jangan menyiksa ku seperti ini terus, Arumni! kita bisa, kita pasti bisa lewati ini semua, dan kembali seperti dulu lagi." Galih berusaha mengengam tangan Arumni.
"Tidak mungkin, mas! kita tidak akan mungkin seperti dulu lagi, meskipun kamu sudah menceraikan Mita!" Tegas Arumni.
"Arum! argh!"
Arumni meninggalkan Galih di teras, ia bermaksud akan memberikan obat pada ibu mertuanya yang sedang sakit, namun saat hendak membangunkan ternyata ibu tengah tak sadarkan diri.
"Mas Galih... tolong ibu mas!" Teriak Arumni dari dalam.
Galih segera berlari ke dalam. "Ada apa, Arumni?"
"Ibu pingsan mas!"
Galih pun membawa ibu ke rumah sakit bersama Arumni. Di sepanjang perjalanan, Arumni berusaha membuat ibu siuman, dengan mengarahkan uap minyak kayu putih ke hidung ibu, namun upayanya menyadarkan ibu belum membuahkan hasil, hingga mereka pun tiba di rumah sakit.
Lima belas menit.
Tiga puluh menit.
Satu jam!
Satu jam berada di sana, bu Susi belum juga tersadar. Galih dan Arumni masih larut dalam pikiran masing-masing, meski duduk berdampingan, namun belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka.
"Arumni, sepertinya ibu pingsan karena mendengar pertengkaran kita tadi." Galih mencoba membuka obrolan.
Arumni yang sedang duduk berpangku tangan, hanya melirik sedikit tanpa suara.
Galih berdiri, berjalan mendekati jendela rumah sakit dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. "Aku heran padamu, Arumni. Kamu bisa menerima kehadiran Mita, tapi kenapa kamu tidak bisa berdamai dengan ku?" ucapnya sambil menatap luar melalui jendela.
Hening! tak ada sautan sama sekali dari Arumni.
Tiba-tiba ponsel Galih berdering, ternyata itu dari bos pemilik perusahaan, meminta agar Galih segera kembali bekerja. Galih mencoba meminta ijin untuk beberapa hari lagi karena ibunya sedang sakit. Namun posisi Galih di perusahaan itu sangat penting, sehingga bos menyuruhnya untuk segera berangkat.
"Itu dari bos kamu ya, mas?" akhirnya Arumni membuka suara.
Galih menatap Arumni, sambil mengangguk.
"Posisi mu sangat penting bagi mereka, mas. Pergilah, aku akan jaga ibu sampai ibu benar-benar sembuh."
"Tapi Arumni... "
"Lebih baik kamu berangkat saja Galih! biar bapak sama Arumni yang menjaga ibumu!" Saut pak Arif yang baru saja datang meninggalkan sekolah.
Galih terdiam, bingung memikirkan banyak hal. Ibunya sakit karena memikirkan ulahnya, bapaknya masih ketus saat bicara dengannya, urusan dengan Arumni belum selesai, ditambah lagi kehadiran Adit yang membuatnya resah, hingga merasa takut akan kehilangan Arumni. ponsel Galih kembali berdering, Galih segera menutup panggilan saat menatap nama Mita dalam layar ponselnya.
"Itu, Mita, kan? tanya Arumni.
Galih hanya menghela napas sambil memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Namun ponsel itu kembali berdering.
"Kenapa tidak diangkat? siapa tahu itu penting, mas!" Arumni begitu santai dalam menanggapi.
"Biarkan saja, Arumni. Kenapa kamu harus memikirkan wanita yang sudah merebut suami mu?" cetus pak Arif.
Sesaat mereka semua terdiam, namun ponsel Galih kembali berdering, tiga kali Mita memangil sudah pasti penting. Galih ingin mematikan ponsel, namun Arumni lebih dulu merebutnya.
Tanpa pikir panjang, Arumni segera mengeser tombol hijau, terdengar suara bayi menangis sebelum Mita bicara.
"Mita, itu Rama yang menangis?" tanya Arumni.
"Iya, mbak. Maaf aku terpaksa menghubungi mas Galih, soalnya sejak kemarin mas Galih pergi Rama menangis terus, mungkin karena tidak mau jauh dari ayahnya, makanya sekarang dia demam."
"Iya, Mita. Mas Galih akan pulang sore ini juga, kamu jangan panik, ya!"
"Terimakasih, mbak!"
Pangilan pun terputus. Tadinya Galih tidak ingin kembali ke Jakarta secepat itu, namun kebaikan Arumni meminta agar sang suami kembali pada anak dan istri keduanya.
"Tapi ibu bagaimana, Arumni?" Galih sedih harus meninggalkan ibunya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit.
"Kamu tidak perlu khawatir, mas, ada aku sama bapak yang akan menjaga ibu."
"Lagi pula kedatangan mu hanya menambah beban pikiran ibu mu, Galih!" saut pak Arif.
Galih hanya menatap dengan tatapan sayu. Tak ingin berdebat panjang, Galih pun pulang ke rumah untuk mempersiapkan diri, sebelumnya ia pamit pada sang ibu yang masih belum sadarkan diri.
Langkahnya pelan, ada rasa berat meninggalkan Arumni. Tanpa sengaja, saat berjalan keluar ia melihat Adit lengkap dengan seragam polri. Ia menatap pundak Adit, tampak satu bintang emas dan dua jalur emas di pundak Adit, lalu menatap lambang polri di dada kiri, yang disertai pangkat IPTU.
"Ternyata dia seorang polisi?" bisik Galih dalam hatinya.
Adit yang sedang bertugas mengumpulkan informasi dan bukti-bukti yang relevan dalam sebuah kasus perampokan, yang menyebabkan korban terluka parah, dan dilarikan ke rumah sakit tersebut, hanya menatap Galih sekilas saja.
Hati Galih kembali berapi-api, saat ia teringat Adit. Sejak itu Galih terus menahan sesak didadanya, karena kini Arumni seperti sedang menjauh darinya. Usia Adit yang lebih muda dari Galih, dan parasnya yang rupawan, membuat Galih merasa Arumni akan lebih memilihnya.
**
Arumni sedang bingung, jika ia bekerja sudah pasti tidak ada yang akan merawat ibu mertua, jika ia ijin terlalu lama sudah pasti akan membuat pak Beni merugi. Arumni mengigit kuku sambil berjalan mondar-mandir di ruang tunggu.
"Kamu kenapa, Arumni?" tanya pak Arif.
"Aku lagi bingung, pak. Apa sebaiknya aku berhenti kerja saja ya, pak? soalnya belum pasti aku libur sampai kapan, takut pak Beni merasa kecewa."
"Oh, soal itu? pamit saja, Arumni! kamu tidak perlu kerja sekeras itu, pulang malam terus, kapan ada waktu untuk dirimu sendiri?"
Arumni jadi berpikir, ada benarnya juga. Lagi pula untuk apa dia bekerja? jika untuk mengalihkan perasaannya pada Galih, kan Galih juga tidak selalu berada di rumah.
Kedatangan Galih membuyarkan lamunan. "Mas Galih, kamu belum berangkat, mas?"
Galih kembali ke rumah sakit karena merasa berat meninggalkan mereka. "Aku mau melihat ibu sebelum berangkat, bagaimana keadaan ibu saat ini?" ucapnya.
"Ibu sudah siuman, mas. Sekarang masih bersama bapak di dalam."
Galih pun masuk ke dalam, ibu sedang duduk bersandar ditemani oleh bapak di sampingnya.
Ibu tersenyum pada Galih. "Masuk Galih!"
Galih mengambil kursi, lalu duduk mendekati ibu, ia pegang tangan ibu dengan lembut, mencium dan menaruh di pipinya. "Maafkan aku ya, bu."
Satu tangan ibu mengusap puncak kepala Galih. "Perbaiki hubungan mu dengan Arumni, nak!"
"Pasti, bu, pasti! aku sedang berusaha keras, tapi saat ini Arumni masih sulit memaafkan." Cairan bening membasahi pipinya.
"Jangan menyerah, nak!" lirih ibu.
Pak Arif jadi merasa iba, jadi tidak tega melihat Galih dengan rasa penyesalannya. Sementara Arumni masih duduk di luar ruangan itu.
"Ibu harus sehat ya, bu? jangan terlalu memikirkan aku dan Arumni, semua pasti akan membaik dengan sendirinya."
Ibu menganggukan kepalanya pelan, " iya, Galih." Lirih ibu.
"Sebelum aku pergi, ibu harus berjanji akan menjaga kesehatan, ibu harus sehat seperti semula ya, bu?" pesan Galih.
"iya, nak, ibu berjanji!"
Dengan berat hati Galih beranjak pergi meninggalkan semua.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi