"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu fany
Max sibuk membersihkan cairan tinta yang sempat meleber di lantai akibat ulah Mita. Setelah hampir setengah jam jongkok dan mengelap, lantai akhirnya kembali bersih. Ia menaruh lap basah di ember, lalu berkata pelan, "Untung tintanya belum sempat mengering".
Tangannya kemudian menata kembali kotak-kotak tinta di etalase, sementara sebagian yang terkena noda ia pisahkan ke dalam kardus kecil. Dari sudut ruangan, Mita berdiri kikuk, wajahnya tampak menyesal. Ia maju beberapa langkah, lalu berkata lirih, "Maaf…"
Max menoleh sekilas. "Itu terus yang kamu bilang."
"Lah, terus aku harus bilang apa?" balas Mita spontan.
"Bilang kayak kemarin…"
"Kemarin?" Mita mengerutkan dahi, matanya menatap ke atas seolah berusaha mengingat.
Tok tok tok…
Suara ketukan di rolling door memecah suasana. Max dan Mita refleks menoleh bersamaan ke arah pintu yang terbuka setengah.
Di sana berdiri seorang wanita cantik. Pakaian yang ia kenakan sederhana, namun entah bagaimana tetap tampak elegan dan berkelas.
"Hai, Max!" sapanya riang.
"Woah, ini bisnis yang mau kamu jalanin, ya? Bagus banget!" katanya sambil melangkah masuk dan menatap sekeliling konter dengan antusias.
Tatapannya kemudian berhenti pada sosok Mita. "Oh, ini siapa? Karyawan kamu?" tanyanya sambil tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada menggoda, "Atau pembantu kamu, Max?"
Mata Mita langsung menyipit. (Pembantu? Enak aja congornya kalau ngomong!)
"Bukan, Mbak" jawab Mita cepat, berusaha menahan diri.
"Oh, terus Mbak siapa?"
Belum sempat Mita membuka mulut, Max langsung memotong, "Kamu tahu dari mana kalau aku mau buka konter?"
"Dari papah kamu, dong. Tadi papah kamu nunjukin aku ke sini" ucapnya dengan gaya setengah manja.
(Idih… cantik-cantik centil. Habis itu centilnya sama Maxwel lagi!)
"Oh iya, Max! Kamu udah makan belum? Nih, aku bawain makanan sama kue juga" kata Fany sambil menunjukkan beberapa paperbag di tangannya. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung menggenggam tangan Max dan menariknya ke meja.
"Sini, sini, Max! Duduk dulu ya, ini makanannya enak banget, aku jamin kamu pasti suka."
Dengan gesit, Fany membuka satu per satu kotak makanan dan menyusunnya di atas meja petak berwarna hitam. Dari tempatnya berdiri, Mita hanya bisa menatap pemandangan itu dengan wajah datar.
(Yang satu bucin akut, yang satunya cuek bebek. Capek aku lihatnya!)
"Ngapain juga aku di sini… mending pulang" gumamnya kesal, lalu berbalik menuju pintu.
"Mit, mau ke mana?" panggil Max.
"Mau pulang, lah! Enak banget kalian asik pacaran, sementara aku sibuk sendiri beresin kerjaan!" jawab Mita tanpa menoleh.
"Yaudah, Mbak, hati-hati yaaa… makasih loh udah ngerti!" balas Fany dengan nada nyinyir yang terselubung manis.
Mita tak menjawab. Ia hanya melengos dan melangkah pergi, langkahnya tegas tapi di dadanya terasa sesak.
Begitu suara langkahnya hilang, Fany kembali menatap Max dan tersenyum genit.
"Max~ cobain ini, deh…" ujarnya manja sambil menyodorkan sepotong paha ayam ke arah bibir Max.
"Apaan sih, Fan? Aku bukan anak kecil" ujar Max menepis pelan tangan Fany yang masih menyodorkan paha ayam ke arah mulutnya.
"Ih kamu!" Fany mencibir manja, tapi matanya berbinar. "Emang kebiasaan deh, judes banget! Tapi justru itu yang bikin aku makin cinta sama kamu, Max."
Max hanya tersenyum tipis, nyaris seperti senyum basa-basi. Tatapannya sempat melirik etalase yang tadi diisi rapi oleh Mita, kini tampak sedikit kosong di beberapa sisi.
"Jadi kamu jauh-jauh ke sini cuma buat nganterin aku makanan, Fan?" tanyanya pelan, suaranya datar tapi sopan.
"Gak cuma itu sih…" Fany menggoyang-goyangkan paperbag di tangannya sambil tersenyum lebar.
"Aku juga mau bilang makasih soal yang kemaren karena udah nolong dan ngenterin aku ke rumah sakit, sama mau ngajak kamu ke nikahan kakakku minggu depan."
Max menarik napas panjang. Tangannya terangkat ke batang hidung, memijitnya pelan seperti menahan sesuatu. "Fan, aku udah bilang kalau ak—"
"Kamu gak bisa bales cinta aku, ya?" potong Fany cepat, suaranya bergetar tapi masih disamarkan dengan tawa kecil.
Max terdiam sesaat, lalu menatapnya lekat. "Iya, Fan. Jadi tolong… jangan berharap dan jangan minta lebih dari aku."
Fany terdiam. Jemarinya pelan-pelan merogoh sesuatu dari dalam sling bag kecilnya sebuah amplop putih dengan logo rumah sakit di pojok kanan. Ia menyerahkannya pada Max tanpa banyak kata.
Max tampak ragu, tapi tetap menerimanya. Saat ia membaca isi surat itu, ekspresinya berubah. Alisnya berkerut, matanya menatap tak percaya.
"Ini… kamu serius?" tanyanya pelan.
Fany tersenyum getir, tapi matanya mulai berkaca-kaca. "Dokter bilang aku kena kanker otak stadium tiga."
Suara itu membuat ruangan seolah membeku. Max menatap Fany tanpa kata.
"Katanya sih masih bisa disembuhin" lanjut Fany, menelan ludah "tapi risikonya besar banget. Kamu tahu kan, penyakit kayak gini... kecil kemungkinan sembuh total."
Air mata mulai menitik dari sudut matanya, tapi ia buru-buru tersenyum lagi, seolah menolak terlihat lemah. Jemarinya yang dingin meraih tangan Max, menggenggamnya erat.
"Tolong ya, Max…" ucapnya lirih. "Cuma sama kamu aku bisa bahagia. Bantu aku biar cepat sembuh…"
Suara Fany pecah di akhir kalimat.
Max hanya bisa diam tubuhnya tegang, pandangannya kosong ke amplop di tangannya.
Antara rasa kasihan dan kebingungan bercampur jadi satu di dalam dadanya.
---
Mita menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan suara menggerutu. "Pacarnya si Max segitunya banget yaa… enak banget mulutnya bilang aku pembantu!"
Ia menatap langit-langit, kemudian menegakkan badan sambil menatap cermin di meja rias.
"Memangnya muka aku mirip pembantu apa?" ujarnya dramatis, kedua tangan memegang pipinya seperti aktris sinetron.
Mita mendekat ke cermin, menatap pantulannya dengan gaya sok percaya diri.
"Enggak kok" katanya, tersenyum lebar.
"Malah mirip Bae Suzy. Ini kalau aku tinggal di Korea, ih, pokoknya Song Kang udah jadi mantanku itu!"
Dia terkekeh sendiri lalu buru-buru meraih ponselnya.
"Nah, ini nih alat yang bagus! Brand ambasadornya Jang Wonyoung, ya ampun cantik banget. Tapi… mahal banget juga ya, Ya Allah…"
Mita menggulir layar ponselnya cepat-cepat. "Nggak ada gitu yang murahan dikit, ya?" gumamnya sambil mengerucutkan bibir.
"Mita…"
"Mit!"
"Iya, mak! Masuk aja, pintunya gak dikunci!"
"Mit!!"
Mita sontak menoleh — dan hampir menjerit ketika wajah Mak Leha muncul dari celah pintu.
"ASTAGHFIRULLAH, mak!! Mita kira setan!" teriaknya sambil memegangi dada.
"Setan-setan. Ini mamak lagi maskeran, tau nggak? Biar muka mamak kelihatan muda lagi!" ujar Mak Leha dengan santainya.
Mita mencibir. "Hadehh, kalau cuma modal bedak dingin doang mah kagak ngaruh, mak. Kalau mau awet muda dan smriwing kayak Dewi Persik, treatment dong, mak!"
"Eh, sstt! Diam, Mit! Mamak bukan mau adu tinju sama kamu, udah malam ini, nanti masker mamak pecah!"
Mita cuma bisa menggeleng. Heran, ini emak apa ABG baru kenal skincare?
"Oh iya" lanjut Mak Leha, "kemarin temen kamu ada pesan peyek kan?"
"Siapa, mak?" tanya Mita bingung.
"Lah, malah nanya balik. Itu si Herwan!"
Mita langsung menepuk jidat. Plak!
"Makk, Herman, mak… Herman!"
"Ah, iya iya itu! Bilangin peyeknya udah bisa diambil. Atau kamu aja yang anterin ke sekolah besok?"
"Ah, nggak lah, biar dia aja yang jemput ke sini" jawab Mita cepat.
Mak Leha melirik jam dinding. "Tapi udah jam sepuluh loh, Mit."
"Ya kalau dia gak sempat, besok aja."
"Yaudah, tapi kabarin, ya. Mamak gak mau customer mamak kecewa, nanti mamak—"
"Iyaa, iyaaa, nanti Mita sampaikan. Sekarang mending mamak bobok manis aja, nanti maskernya retak, muka mamak bisa keriput seribu!"
Mita mendorong lembut bahu Mak Leha keluar kamar sambil cekikikan.
"Dasar anak ini!" omel Mak Leha, tapi wajahnya tetap tersenyum sambil menutup pintu.
Begitu pintu tertutup, Mita menghembuskan napas panjang, menatap langit-langit kamarnya lagi.
"Fany?" Ucapnya pelan