Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Dilema Seorang Pria
"Bisa ke ruanganku sebentar?" Hiro menekan tombol interkom dan kembali menyandarkan punggung pada kepala kursi.
Lelaki tersebut memejamkan mata. Kakinya bergerak sehingga membuat kursi kerja yang dia duduki berputar ke kiri dan kanan. Semua teka-teki mengenai Reina dan kondisi Gendis membuat semuanya seperti benang merah yang saling terhubung.
Tak lama berselang terdengar ketukan dari luar. Pintu terbuka sehingga menampilkan sosok gagah Ren dalam balutan setelan kemeja formal. Lelaki tersebut melangkah, lalu berhenti dan mengangguk hormat ketika berada di depan Hiro.
Hiro menegakkan pungguk, lalu membuka laci meja kerjanya. Dia menatap dua plastik klip kecil dengan masing-masing berisi rambut. Hiro menarik napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan kedua benda itu dari laci dan meletakkannya ke atas meja.
"Kirim sampel rambut ini untuk tes DNA. Cari laboratorium terbaik dan terpercaya di sini. Aku mau hasilnya keluar dengan cepat." Hiro mengetuk meja di depannya seraya menatap Ren dengan tatapan dingin.
"Baik, Pak." Ren langsung mengambil bungkusan tersebut dan memasukkannya ke saku kemeja.
Ren mengangguk lagi sebelum akhirnya berjalan mundur dan keluar dari ruangan atasannya tersebut. Setelah pintu tertutup, Hiro kembali bergelut dengan pikirannya. Lelaki itu sama sekali tidak bisa bekerja dengan baik semenjak sang kakak mengalami kecelakaan.
Hiro harus menjalankan perusahaan konstruksi kakaknya di Jakarta, dan tetap memantau perusahaan properti keluarga yang ada di Jepang. Awalnya Yumi membantu sementara waktu. Namun, karena perempuan tersebut datang ke Indonesia membuat perusahaan mendiang ayahnya kehilangan pemimpin.
Kepala Hiro semakin berdenyut ketika terus mendapat kabar saham perusahaan dan penjualan yang terus anjlok. Dia merasa semua beban tiba-tiba menimpanya di waktu bersamaan. Hal itu membuat Hiro merasa kesulitan bernapas.
***
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" Hiro tersenyum tipis ketika melihat Gendis sedang mengajak Reina bermain.
Sesekali Reina mengeluarkan suara ocehan khas bayi. Senyum Gendis semakin merekah ketika tangan mungil itu meraih rambutnya, lalu menariknya pelan. Ada sesuatu di dada Gendis yang terasa hangat.
Sudah lama Gendis tidak merasakan ketenangan seperti ini. Hanya duduk, tertawa kecil, membiarkan dunia di luar rumah itu menjadi latar samar yang tak penting. Hiro berdiri di ambang pintu ruang keluarga, bersandar pada kusen kayu, memperhatikan pemandangan itu.
Perempuan yang sempat rapuh itu, kini duduk bersila di atas karpet, mengenakan kaus tipis dan celana santai, wajahnya terlihat lebih hidup daripada beberapa hari terakhir meski tanpa riasan. Reina tertawa, bunyinya jernih, seolah menembus lapisan tebal yang selama ini menutupi hati Gendis.
“Aku ... merasa lebih baik,” ucap Gendis lirih, seakan hanya untuk dirinya sendiri. Jemarinya bergerak memainkan jari-jari Reina.
Hiro melangkah mendekat, lalu berjongkok di sisi karpet. Tangannya otomatis terulur, mengusap kepala Reina. “Kamu terlihat seperti ibu yang bahagia.”
Gendis terdiam sejenak. Kalimat itu seperti sesuatu yang dulu hanya dia bayangkan. Sekarang, terdengar begitu nyata. “Entahlah. Rasanya ... seperti aku akhirnya menemukan potongan diriku yang hilang.”
Tidak ada yang membalas ucapan itu. Hanya suara tawa Reina yang pecah ketika Gendis menggelitik perutnya. Hiro tetap berada di situ, duduk bersila. Sorot matanya melembut, berbeda dari tatapan dingin di ruang kerjanya.
Waktu seolah melambat. Sinar matahari sore yang masuk melalui jendela besar jatuh ke rambut Gendis, menciptakan efek keemasan yang membuatnya tampak seperti sosok yang muncul dari lukisan klasik. Hiro membiarkan dirinya hanyut dalam momen itu.
***
Malam itu mereka makan malam bersama. Gendis terlihat lebih tenang, meski sesekali melamun karena teringat Ayaka. Tak ada kabar tentang keberadaan perempuan itu, seolah bumi benar-benar menelannya. Namun, Gendis memilih untuk tidak membicarakan itu.
Setelah makan, Gendis duduk di sofa dengan Reina yang mulai mengantuk di pelukannya. Hiro membawa selimut tipis dan menaruhnya di atas bahu Gendis. “Biar aku gendong,” ucapnya pelan.
Gendis menggeleng. “Biarkan aku. Rasanya ... aku tidak ingin melepaskannya malam ini.”
Hiro hanya mengangguk. Dia duduk di kursi seberang, menyandarkan punggung, memperhatikan keduanya. Ada rasa aneh di dadanya, campuran lega dan cemas. Dia tidak tahu apakah yang perasaan ini akan bertahan lama, atau hanya ilusi yang akan hancur ketika kebenaran akhirnya terungkap.
Keesokan harinya, Gendis kembali mencoba menikmati hari. Dia mengajak Reina bermain di ruang keluarga sambil bernyanyi pelan. Hiro yang pulang sedikit lebih awal dari biasanya, bergabung tanpa banyak bicara.
Tiba-tiba, suara ponsel berdering memecah suasana. Hiro menoleh cepat, lalu berdiri. Nama Ren tertera di layar.
“Hiro-sama, hasil tes DNA sudah keluar.” Suara Ren terdengar formal, meski ada ketegangan samar di balik nada suaranya.
Hiro menatap Gendis sejenak. Perempuan itu sedang membantu Reina duduk. Senyumnya tampak begitu polos. “Aku akan keluar sebentar,” ucap Hiro.
“Mau ke mana?” tanya Gendis ketika menyadari Hiro bergerak.
“Ke kantor. Ada urusan penting.”
Gendis hanya mengangguk, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang muncul. Dia menunduk lagi, fokus pada Reina.
Hiro mengambil kunci mobilnya. Langkahnya cepat, hampir tergesa. Di halaman, dia menyalakan mobil dan melajukannya keluar, meninggalkan suara deru ban di jalan beraspal.
Kantor sudah mulai sepi ketika Hiro tiba. Ren sudah menunggunya di ruang kerja dengan wajah serius. Di tangannya terdapat sebuah amplop putih tebal.
“Ini hasil tes DNA-nya, Pak.” Ren menyerahkan amplop itu dengan dua tangan, seolah memegang sesuatu yang rapuh.
Hiro duduk. Tangan besarnya sedikit bergetar ketika merobek segel amplop. Dia menarik napas panjang, lalu menarik lembaran kertas di dalamnya. Suara detak jarum jam di ruangan itu terasa terlalu keras.
Matanya bergerak cepat membaca laporan. Ada grafik, ada tabel, lalu satu kalimat tegas yang membuat jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat.
Probability of Maternity: 99.999%
Hiro memejamkan mata. Kertas itu bergetar di tangannya. Ren menatapnya hati-hati ada rasa penasaran, tetapi tidak berani bertanya lebih jauh.
“Reina adalah ... anak kandung Gendis." Suara Hiro terdengar rendah, hampir tak terdengar.
Ruangan itu mendadak terasa sempit. Hiro menaruh kertas itu di meja, lalu berdiri, berjalan ke arah jendela. Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala, seperti bintang yang jatuh ke bumi. Akan tetapi, matanya terasa panas.
Pikiran Hiro melayang ke semua momen yang ia lewati bersama Gendis beberapa hari terakhir tatapan cemasnya, senyum yang perlahan kembali, tangannya yang menggenggam Reina seolah takut kehilangan. Sekarang semuanya masuk akal.
“Hiro-sama?” Ren memanggil hati-hati.
Hiro menarik napas panjang, berusaha menguasai diri. “Terima kasih, Ren. Kamu boleh pulang.”
Ren mengangguk, lalu keluar meninggalkan ruangan. Hiro kembali duduk. Kertas itu masih tergeletak di atas meja, seolah menantangnya. Hiro meraih kertas itu lagi, menatapnya lama-lama. Perasaan lega bercampur gentar menghantam dadanya.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki