Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19: Wrong
“Ka-kalau begitu...” posisinya agak menjauh dan membiarkan Lorenzo untuk berbaring di futon. “Silakan, Lorenzo!”
Lorenzo yang duduk dan melihatnya berdiri membuatnya langsung membaringkan dirinya. Wajahnya menjadi lebih memerah hebat bahkan wajah Violet juga menjadi lebih memerah hebat. Saat ia mau melepaskan bajunya, tiba-tiba...
BRUKK...
Membuka pintu dengan sangat keras. “Violet!!!” teriaknya kencang dengan napas ngos-ngosan karena capek berlari menuju ke tempat Violet berada.
Violet langsung membalikkan badannya dan langsung tersenyum lebar sambil berlari cukup cepat ke arahnya. “Amelia!” serunya cukup kencang.
“Syu-syukurlah kau baik-baik sa_” tiba-tiba dirinya dipeluk dengan sangat erat sampai membuat wajahnya memerah hebat. Dirinya yang malu-malu langsung berbicara kepadanya. “Vi-violet... lepaskan aku!” mohonnya kepadanya dan melanjutkan pembicaraannya. “Dan juga, ka-kau ba-baik saja bu-bukan?” tanyanya khawatir.
“Aku baik-baik saja kok.” Saking senangnya, ia menjawab pertanyaan itu sambil terus memeluknya dengan sangat erat. “Dan...” pelukannya menjadi lebih erat. “Aku tidak akan melepaskan mu, Amelia,” tolaknya akan permohonannya dengan tersenyum lebar.
Amelia semakin malu, wajahnya semakin memerah, dan dengan dorongan paksa akhirnya terlepas dari pelukannya. “Hah, hah, hahhh,” embusan napas penuh kelelahan. Napas ngos-ngosan sampai Lorenzo hanya melihatnya dengan tersenyum kecil sambil matanya tertutup rapat.
“Apa yang terjadi di sini sekarang?” tanyanya di dalam hati dengan tetap berbaring.
Ia membalikkan badan ke arah mereka berdua dan dirinya langsung terkejut akan wanita yang ia lihat. Ia langsung berdiri tegak. “Kau yang tadi!!” tunjuknya dengan jari telunjuk kanannya sambil teriak cukup kencang.
Ia langsung melihat ke arahnya dan langsung tersenyum lebar. “Ooo... pria tadi. Aaa...” dengan terlihat marah dan senyum lebar menghilang sepenuhnya darinya, ia langsung berada di depannya.
Lorenzo ketakutan dan langsung menundukkan kepalanya. “Maafkan aku. A-aku tidak melakukan apa-apa padanya kok!” belanya untuk melindungi dirinya.
“Kauu..” perlahan ekspresi marah menjadi tersenyum lebar dan bersemangat kembali. “Wohoho, kau tampan sekali!” pujinya dengan riang gembira.
“Eehh,” ucapnya terkejut akan pujian darinya. “Te-terimakasih.” Senyuman dengan wajah memerah, tersipu malu, tergambar lagi di dalam dirinya saat ini.
Ia langsung kembali seperti semula dan langsung teringat akan namanya. “Aaa...” menatapnya lurus. “Bukankah namamu Elizabeth? Amelia nama panggilanmu kah?” tanyanya kepadanya dengan penasaran.
Tersenyum lebar dan langsung menjawab pertanyaannya. “Ya, namaku adalah Elizabeth. Amerilia Elizabeth. Violet Gevvany adalah adik angkat ku dan karena Amerilia itu terlalu ribet, aku menyuruhnya memanggilku Amelia.”
“Ternyata seperti itu ya.” Rasa penasarannya pun kini telah dijawab dengan benar. “Lalu, kenapa kau tahu adikmu ada di sini? Apakah dari tadi kau mengikuti kami berdua?” tanyanya lagi kepadanya dengan pertanyaan yang berbeda.
Tetap tersenyum lebar dan menutup matanya rapat dengan kepalanya dimiringkan ke arah kiri. “Aku mengikuti kalian adalah kebenaran.” Tatapannya tiba-tiba mengeluarkan aura penuh kebencian. “Karena kupikir kau pria berbahaya dari belakang, makanya aku mengikuti mu yang mau main dengan adikku.”
Lorenzo langsung ketakutan dan langsung menundukkan kepalanya lagi. “Maafkan aku. Bagian depanku mungkin lumayan, tapi bagian belakangku biasa saja.”
Permohonan maafnya hanya membuatnya tertawa terbahak-bahak. “Ahahaha, tak perlu meminta maaf. Lalu, sepertinya aku harus meminta maaf.” Ia menundukkan kepalanya. “Maafkan aku. Maaf, sudah membuatmu dan adikku tak bisa bersenang-senang.”
“Ta-tak perlu mi-minta maaf, a-aku juga tidak mungkin bermain dengan anak kecil.”
Sebuah fakta yang cukup mengejutkan langsung membuatnya bertanya kepadanya. “Umurnya 25 tahun lho! Sedangkan umurku 30 tahun. Jadi, apanya yang anak kecil?”
“30 tahun!” kaget karena tak seperti itu dalam pengelihatannya. “Bukannya 18 tahun ya!”
Ia langsung terkejut dan langsung bertanya kepadanya. “Eehh... ke-kenapa kau bisa tahu?”
“Tentu saja, karena aku seorang detektif,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.
Ia melihatnya dan tergambar dalam pikiran Widlie bahwa dirinya tak terlihat tua. Penampilan luar ya, tapi dalamnya tidak. Masih banyak sifat kekanak-kanakan darinya apalagi saat ia dipeluk oleh yang lebih muda darinya, sudah menjadi bukti kuat, bahwa dirinya masih belum terbiasa karena umur mereka tak begitu jauh bedanya.
“Lalu, apa tujuanmu kemari, nona Elizabeth?” tanyanya kepadanya dengan rasa penasaran menyelimutinya.
Elizabeth langsung teringat akan apa yang ia ingin katakan kepada adiknya. “Oh iya benar juga. Violet, ibu memanggil kita!”
Violet langsung agak ketakutan. “Be-begitu ya.” Ia berdiri searah dengannya. “Maaf Lorenzo, aku harus pergi sekarang. Kau bisa bermalam di sini hari ini.” Ia menatapnya dengan mata agak ketakutan. “Jangan keluar dari tempat ini lagi untuk malam ini! Di luar sangat berbahaya dan...”
Ia langsung berjalan dengan diikuti oleh kakaknya. Dengan posisi membelakanginya, ia langsung melanjutkan pembicaraannya dengan membalikkan kepala ke arahnya. “Aku ingin kau tidak kenapa-kenapa.” Wajahnya memerah hebat dan dengan cepat langsung meninggalkan dirinya. “I-tu saja, sampai jumpa besok pagi, Lo-lorenzo.”
Setelah pergi ke depan sana dengan langkah kaki cepat, Elizabeth langsung tersenyum lebar ke arahnya. “Fufufu, adikku sampai seperti itu, anda hebat sekali, Tuan Lorenzo. Oh iya, sampai jumpa besok pagi juga, Tuan Lorenzo dan sebelum aku pergi, usiamu berapa tahun?”
Pertanyaannya langsung dijawabnya dengan cepat. “25 tahun. Lalu, bilang terimakasih kepadanya, karena sudah memperingatkan ku.”
Senyuman lebarnya membuat wajahnya memerah hebat dan menutup pintu dengan cepat. “A-aku mengerti, bye, bye, Tuan Lorenzo.”
Elizabeth juga berjalan cepat meninggalkan ruangannya dan Lorenzo hanya bisa berdiri diam saja untuk beberapa saat. 5 menit berlalu, karena ia capek berdiri di tempat yang sama, ia memutuskan untuk duduk sila di tengah-tengah futon nya.
Menundukkan kepalanya dan langsung berpikir di dalam hatinya. “Aku tidak mengerti apa yang terjadi barusan. Otak Widlie juga sepertinya belum mengerti akan apa situasi keluarga mereka berdua. Saat ini, apa yang harus ku lakukan ya?” tanyanya kepada dirinya sendiri.
Ia berpikir keras dan tak menemukan jawaban sama sekali. Karena ia merasa cukup lelah, sebelum tidur, dirinya berjalan terlebih dahulu ke arah jendela yang terbuka lebar.
Balkon adalah tempat yang ditujunya. Saat ia berdiri di balkon, ia sangat terpukau akan pemandangan yang bisa ia lihat. Pasalnya, pemandangan yang ia lihat adalah pemandangan indah di malam hari yang benar-benar indah.
Malam hari yang gelap dengan diterangi sinar bulan putih agak kemerahan, lampu-lampu di semua bangunan tinggi, sedang, maupun rendah, kondisi yang ramai di luar, sungai pembatas dengan lampu-lampu jalanan menerangi sungai, membuat tempat ini terasa hidup serta membuatnya berpikir bahwa tempat ini tak seburuk tempat lainnya.
Membuatnya berpikir juga, dunia ini bukan hanya tempat para kanibal berada. Ada juga tempat indah dengan kehidupan normal di dalamnya. Ia hanya bisa tersenyum lebar sambil bisik-bisik pelan yang hanya bisa terdengar olehnya.
“Pemandangan yang indah sekali.” Menundukkan kepalanya. Keluar air mata dari kedua matanya dan langsung ia usap secepat mungkin. “Ke-kenapa aku menangis?” tanyanya dengan senyum kecil dan sisa tangisan di kedua matanya.
“Benar juga, di tempat ini, ada yang harus ku lakukan.” Kepalanya di angkat ke atas dan langsung lanjut berbicara sendiri dengan tetap bisik-bisik. “Liliana... D.A.E.. semuanya... aku harus mengurus mereka berdua atau tempat ini?”
Tanyanya kepada bayangan mereka semua akan apa yang harus dilakukannya di sini. Ia tertawa kecil, menutup jendela balkon, mematikan lampu, dan langsung berbaring di futon nya dengan kepala mengarah ke atasnya.
Di dalam hatinya, ia berpikir sedikit. “Kalau tujuanku mereka berdua... apa yang harus kucari? Otak Widlie... sepertinya ia juga tidak tahu ya. Cari, siapa, apa yang harus ku lakukan, dan apapun itu, sepertinya... aku akan segera mengetahuinya."
Dengan mata tertutup rapat, ia langsung berbisik pelan. “Yahh... lupakan saja itu dan waktunya tidur.”
Malam hari ia tutup dengan tidur nyenyak di atas futon. Sementara itu, di sebuah tempat gelap gulita, cahaya hanya ada di sisi kanan dan kiri kursi. Seorang wanita yang entah bagaimana sosoknya, tersenyum lebar.
Elizabeth dan Violet tersenyum kecil dengan penuh ketakutan di dalam diri mereka masing-masing. Suara lembut penuh kengerian membuat detak jantung mereka berdua berdetak dengan sangat kencang.
“Elizabeth, Violet, pelanggan itu... aku menyukainya. Dia tampan dan baik. Boleh aku bermain dengannya!”
Sebuah permintaan yang tak terduga, keluar dari mulutnya. Jawaban apa yang akan mereka berikan kepadanya?
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani