seorang anak perempuan bercita-cita untuk sukses bersama sang ayah menuju kehidupan yang lebih baik. banyak badai yang dilalui sebelum menuju sukses, apa saja badai itu?
Yok baca sekarang untuk tau kisah selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica Wulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Mentari pagi menyinari wajah Aisyah dan Caca yang masih terlelap dalam mimpi. Sinar itu perlahan-lahan membangunkan mereka, menyapa hari baru yang penuh semangat. Hari ini, mereka berencana mengunjungi pasar tradisional dekat kosan mereka di Palembang, untuk membeli bahan makanan. Aroma khas rempah-rempah dan hiruk-pikuk pasar sudah membayang di benak mereka. Setelah beres-beres, mereka bergegas turun, siap menjelajahi kesibukan kota.
"Caca, kita mau masak apa hari ini? Aku masih bingung," tanya Aisyah, sambil mengenakan sandal jepitnya.
Caca, yang sudah lebih dulu siap, tersenyum. "Aku kepingin bikin Ayam Betutu, gimana mau nggak? Kita beli ayam kampung sama bumbu-bumbu di pasar, ya?"
"Ide bagus! Aku bantuin motong-motong bumbunya ya, aku suka banget ngulek bumbu," jawab Aisyah, semangat.
Mereka berjalan kaki menuju pasar, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Suasana kota yang semarak sangat berbeda dengan desa tempat Aisyah berasal. Di desa, pagi hari terasa lebih tenang, lebih damai. Di sini, suara motor, klakson, dan obrolan pedagang memenuhi telinga mereka.
"Wah, rame banget ya, Ca," kata Aisyah, sedikit terkesima.
"Iya, nih. Beda banget sama di desa, kan?" sahut Caca, sambil mengamati pedagang-pedagang yang menjajakan dagangannya. "Tapi aku suka hiruk-pikuknya, kerasa hidup."
Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang berbagai hal. Dari rencana kuliah mereka di Universitas jaya raya hingga cita-cita mereka di masa depan. Aisyah bermimpi menjadi pembisnis dan desainer merancang gaun indah di butik sendiri. Caca ingin menjadi dokter psikologi, mengabdi untuk masyarakat. Mereka juga membicarakan detail resep Ayam Betutu, memastikan tak ada bahan yang terlewat. Aisyah bahkan sempat menanyakan tips memasak Ayam Betutu yang empuk dan beraroma khas dari penjual bumbu.
"Aku masih deg-degan, Ca, buat persiapan kuliah nanti," ujar Aisyah, sedikit gugup.
"Santai aja, Say. Kita udah siapin semua berkasnya, kok. Pasti lancar," Caca menenangkan Aisyah, sambil merangkul bahunya. Sentuhan Caca memberikan Aisyah rasa aman dan nyaman.
Di tengah kesibukan pasar, mereka menemukan penjual ayam kampung yang ramah. Mereka memilih ayam kampung yang sehat dan segar. Setelah itu, mereka berkeliling mencari rempah-rempah tambahan untuk Ayam Betutu seperti lengkuas, jahe, kunyit, kemiri, cabai rawit, dan berbagai bumbu lainnya.
Setelah membeli semua bahan-bahan, mereka juga membeli sayur kangkung dan tempe untuk melengkapi menu makan siang mereka. Mereka berbelanja dengan cermat, memastikan semua kebutuhan terpenuhi.
"Ca, kamu tau nggak? Aku suka banget loh sama suasana pasar kayak gini. Rasanya lebih hidup, lebih bersemangat," kata Aisyah, sambil membawa kantong belanjaan mereka.
"Aku juga, sya Apalagi kalau belanja bareng kamu," jawab Caca, tersenyum manis. Matanya berbinar, menatap Aisyah dengan penuh kasih sayang seperti saudara sendiri
Perjalanan pulang terasa singkat. Mereka terus berbincang, menjalin ikatan persahabatan yang semakin erat. Di kosan, mereka langsung menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Ayam Betutu. Aroma rempah-rempah yang harum memenuhi ruangan, menambah kehangatan suasana. Aisyah dengan cekatan membantu Caca mengulek bumbu, sementara Caca memotong ayam dan menyiapkan bahan lainnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mentari siang menyinari Aisyah dan Caca yang berjalan beriringan menuju Universitas Jaya Raya. Keduanya mengenakan pakaian sederhana namun rapi dengan kaos dan celana panjang yang nyaman. Langkah kaki mereka ringan, menunjukkan semangat mereka untuk menyelesaikan urusan pendaftaran kuliah. Jarak kosan mereka ke kampus memang tak jauh, hanya beberapa menit jalan kaki.
"Wah, kampusnya bagus juga ya, sya" kata Caca, matanya tertuju pada bangunan kampus yang sederhana namun terawat dengan baik. Arsitektur bangunannya memadukan unsur modern dan tradisional, menunjukkan ciri khas Palembang.
"Iya, Ca. Meskipun nggak semegah kampus-kampus elit di TV TV aku bersyukur banget bisa kuliah di sini. Dapat kesempatan kuliah di kota ini aja udah luar biasa," jawab Aisyah, tersenyum. Ia merasa bangga dan bersyukur atas kesempatan yang mereka dapatkan.
Mereka melanjutkan perjalanan, sambil berbincang tentang harapan dan cita-cita mereka di masa depan. Tiba-tiba, Caca berseru, "Astaga, Say! liat deh Kakak kelas ganteng itu! Omagaa kayak artis Bollywood cuyyy!"
Aisyah menoleh, melihat seorang pemuda tinggi dan tampan berjalan berlawanan arah dengan mereka. Pemuda itu memang terlihat cukup menarik, namun Aisyah lebih fokus pada urusan pendaftaran kuliah.
"Sssttt... Diam, Ca! Jangan heboh malu di liat orang," bisik Aisyah, pipinya memerah karena malu. Ia merasa malu dengan reaksi Caca yang terlalu berlebihan.
Caca, yang masih terpesona, mencoba menahan senyumnya. "Ih, sya dia beneran ganteng banget deh! Kayaknya dia mahasiswa tingkat akhir. Aku mau minta nomor HP-nya ahh!"
Aisyah langsung mencubit lengan Caca, "Aw! Sakit, Say! Jangan cubit aku kan bisa ihh!" Caca meringis kesakitan, namun senyumnya masih mengembang.
"Udah, Ca. Kita lagi mau ngurusin kuliah, jangan ngehalu dulu. Nanti aja ngegosipnya," kata Aisyah, menarik lengan Caca agar berjalan lebih cepat.
"Iya, iya... Tapi serius, Say, dia ganteng banget akhh ya Tuhan!" Caca masih saja bergumam, sambil sesekali melirik ke arah pemuda tersebut. Aisyah hanya menggelengkan kepala, tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya yang satu itu.
"Hadehh Udah, Ca, fokus! Kita harus cepet selesai, nanti keburu antriannya panjang," Aisyah mengingatkan kembali. Caca akhirnya mengangguk, mencoba untuk fokus pada tujuan mereka. Meskipun begitu, sesekali ia masih melirik ke arah pemuda tersebut, hingga mereka sampai di gedung rektorat Universitas Jaya Raya.
"Huft akhirnya sampai juga. Lupakan kakak kelas ganteng itu, fokus kuliah dulu ca," Aisyah berkata sambil tersenyum, menarik tangan Caca menuju pintu masuk gedung rektorat. Caca akhirnya mengalah, mencoba untuk melupakan sejenak pesona kakak kelas tersebut dan fokus pada urusan kuliah mereka.
Setelah menyelesaikan urusan pendaftaran, Aisyah dan Caca berpisah. Jurusan mereka berbeda Aisyah mengambil Manajemen Bisnis, sementara Caca memilih Psikologi. Caca melambaikan tangan, "Say, aku ke ruang Psikologi dulu ya! Nanti ketemu lagi di kantin!"
"Iya, Ca! Hati-hati!" Aisyah membalas lambaian tangan Caca, kemudian mulai mencari ruangan Jurusan Manajemen Bisnis. Gedung kampus yang cukup luas membuat Aisyah sedikit kesulitan. Ia berjalan menyusuri koridor, melihat papan petunjuk jurusan yang terpasang di dinding.
Saat hampir sampai di ruangan yang dituju, tiba-tiba
*Brukkk*
seorang laki-laki menabraknya dari belakang. Berkas-berkas pendaftaran Aisyah berserakan di lantai.
"Aduh, maaf! Aku buru-buru banget," kata laki-laki itu, terlihat panik. Ia segera membungkuk untuk membantu Aisyah mengumpulkan berkas-berkasnya.
Aisyah tertegun. Laki-laki itu sangat tampan, dengan wajah yang bersih dan senyum yang ramah. Meskipun pakaiannya sederhana, ia terlihat rapi dan berwibawa.
"Gak papa, kok," jawab Aisyah, sedikit gugup. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.
Saat membantu Aisyah mengumpulkan berkas-berkasnya, laki-laki itu tak sengaja menyentuh tangan Aisyah. Sentuhan itu terasa singkat namun membuat Aisyah merasa sedikit geli. Ia memperhatikan laki-laki itu dari dekat. Kulitnya yang bersih, bulu mata lentik, dan bibirnya yang mungil membuat Aisyah semakin terpesona.
"Sekali lagi, maaf ya. Aku benar-benar buru-buru," kata laki-laki itu, matanya tak lepas dari wajah Aisyah. Ia terpaku sejenak, terpesona oleh kecantikan Aisyah yang sederhana namun memikat. Meskipun Aisyah mengenakan pakaian sederhana, ia terlihat sangat cantik di matanya.
"Iya, gak papa kok," ulang Aisyah, suaranya sedikit gemetar.
"Namaku Bagas," kata laki-laki itu, menularkan senyumnya. "Kamu?"
"Aisyah," jawab Aisyah, akhirnya bisa sedikit mengendalikan debar jantungnya.
"Senang ketemu kamu, Aisyah. Kamu anak baru kan? Jurusan apa, kalau boleh tahu?" tanya Bagas.
"Manajemen Bisnis, Kak," jawab Aisyah, menambahkan "Kak" karena Bagas terlihat lebih tua darinya.
"Oh, Manajemen Bisnis. Semoga lancar kuliahnya ya," kata Bagas. "Aku harus buru-buru sekarang. Sampai jumpa lagi, Aisyah." Ia tersenyum ramah sebelum berlalu.
Aisyah hanya bisa mengangguk, merasakan debaran jantungnya masih belum mereda. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruangan Jurusan Manajemen Bisnis, membawa secercah perasaan baru yang muncul di hatinya.
*Makasih yang udah sejauh ini guys love you ❤*