NovelToon NovelToon
CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:772
Nilai: 5
Nama Author: Rii Rya

dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

eps 19. AKU TIDAK TAKUT MATI

🌸 Aku Bukan Pria yang Baik, Tapi Aku Mencintai Istriku dengan Cara Paling Setia 🌸

Langit kelabu telah menghiasi langit sejak pagi. Rintik hujan mulai turun, menyapu kaca mobil yang melaju membelah jalan, seakan ikut mengiringi gejolak yang berkecamuk dalam dada Sean. Tak ada suara, hanya detak jarum jam yang melekat di tangan nya dan gemuruh petir di kejauhan yang sesekali menggelegar, menambah muram suasana.

Mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang selama ini ia sebut tempat pulang. tempat yang dulu menenangkan, kini terasa asing. Dengan langkah berat, Sean keluar dari mobil, membiarkan angin dan hujan menyambutnya seperti pelukan dingin dari kenyataan yang tak ingin ia hadapi.

Tap... Tap... Tap...

Langkahnya berhenti di depan pintu kamar. Pintu yang selama ini menjadi batas antara dirinya dan pelukan hangat Alana. Namun kali ini, ia tak membawa rindu. Yang ia bawa hanyalah luka, amarah, dan hati yang nyaris hancur.

Tanpa ragu, Sean membuka pintu dengan keras, bahkan membantingnya hingga menggetarkan ruangan. Alana yang tengah membaca buku langsung terlonjak, kaget sekaligus panik.

"Sean! Apa yang terjadi dengan wajahmu?!" serunya tergesa, menghampiri suaminya dengan langkah khawatir.

Namun Sean bergeming. Ia tidak menjawab. Ia hanya memandang sekeliling dengan tatapan tajam, lalu mulai menggeledah laci dan lemari secara membabi buta. Segalanya dibuang, dilempar, seolah mencari sesuatu yang jika benar ia temukan, akan mengubah segalanya.

"Apa yang sedang kau lakukan?!" tanya Alana, suaranya bergetar.

"Di mana obat itu?" suara Sean dalam dan berat. Mata cokelatnya berkilat penuh tekanan.

"Sean... aku..."

"DI MANA?!" teriaknya, membuat Alana tersentak dan terduduk lemas di atas ranjang. Tangannya menutupi mulut, matanya menahan air mata. Ia tak pernah melihat suaminya semarah ini.

Dan akhirnya, di laci paling bawah, Sean menemukannya...botol kecil berisi pil berwarna merah. Sama persis seperti yang ia curigai. Tangannya gemetar saat mengangkatnya.

"Obat apa ini?" tanyanya dingin. "Jawab aku dengan jujur, Alana."

"Itu... itu hanya vitamin, Bukan apa-apa…" jawab Alana gugup sambil mencoba merebut botol dari tangannya.

Sean dengan cepat menepis tangan itu, lalu membuka tutup botol dan menumpahkan isinya ke telapak tangan.

"Kalau memang vitamin... biarkan aku meminum semuanya," katanya lirih namun tegas.

"JANGAN! Apa yang kau lakukan?!" jerit Alana sambil menahan tangan Sean. Ia merebut pil-pil itu satu per satu, tangisnya mulai pecah. Sean hanya menatapnya, lalu perlahan membuka genggamannya, membiarkan Alana mengambil semua isi hatinya yang tercerai-berai di situ.

Air mata mulai membasahi wajahnya. Ia menatap istrinya, wanita yang selalu ia jaga, namun kini justru menyimpan rahasia yang nyaris menghancurkannya.

Dengan segenap rasa yang tersisa, Sean menarik Alana ke dalam pelukannya. Pelukan yang penuh luka dan ketakutan.

"Sejak kapan... kau menanggung semuanya sendirian, sayang?" bisiknya serak.

Alana tak menjawab. Ia hanya menangis, tubuhnya gemetar dalam pelukan itu. Semua rasa sesak yang selama ini ia simpan akhirnya pecah, meledak bersamaan dengan air mata yang tak bisa lagi ia bendung.

Sean melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah wanita itu seakan ingin mengingat setiap garisnya. Ia mengusap pipi yang basah, lalu mengecup kening Alana lama sekali, seolah ingin menanamkan semua cinta dan ketakutan dalam satu isyarat. Di dalam kecupan itu, terselip isakan lirih yang membuat dada Alana kian perih.

"Kau terluka… biarkan aku mengobatimu ya?" bisik Alana lembut, namun Sean hanya diam. Ia berbalik tanpa kata, lalu melangkah keluar kamar.

Sesampainya di ruang kerja, ia mengambil ponsel dari laci. ponsel lama yang ia simpan sebagai cadangan. Ponsel utamanya tertinggal di lokasi kejadian. Tangannya gemetar saat menekan angka, wajahnya pucat dan tak berdaya, namun tekadnya bulat.

Panggilan tersambung. Ia berbicara dalam bahasa Rusia dengan suara beratnya.

“Найдите мне лучшего специалиста по раку в России. Одна из моих компаний там будет вашей, если вы найдете его раньше. Я уезжаю завтра утром.”

(Carikan aku dokter spesialis kanker terbaik di Rusia. Salah satu perusahaanku di sana akan menjadi milikmu jika kau bisa menemukannya segera. Aku berangkat besok pagi.)

Setelah menutup telepon, Sean menjatuhkan dirinya ke sofa. Ia memejamkan mata, tubuhnya terasa berat, bahkan jiwanya lebih berat lagi.

Yang tak ia tahu, sejak tadi Alana berdiri di balik pintu, menggenggam kotak P3K dengan tangan gemetar. Ia cemas... takut... kalau Sean akan melakukan sesuatu yang nekat.

Perlahan, Alana masuk dan berlutut di hadapan pria itu. Tangannya menyentuh luka yang menganga di dahi Sean. Dengan hati-hati, ia membersihkan darah, mengoleskan antiseptik, dan menempelkan plester di sana. Sean tak berkata apa-apa, tak bergerak sedikit pun, seolah hatinya sudah beku.

Alana berdiri, menatap wajah suaminya yang selalu berhasil membuat dunianya terbalik dengan satu senyum dan kini, senyum itu hilang. Diganti dengan diam dan luka.

"Maafkan aku... karena tidak memberitahumu lebih awal," bisiknya lirih, lalu mengecup bibir Sean pelan dan cukup lama. Ia berjalan pergi dengan langkah berat, menutup pintu dengan sangat perlahan.

Sean membuka mata. Ia belum tidur. Bibirnya melengkung pahit. Di matanya, air bening mengalir, bukan karena lemah, tapi karena ia telah mencintai seseorang lebih dari dirinya sendiri, dan kini luka itu terlalu dalam tertancap di jiwa nya.

Salju tipis mulai turun di pelataran rumah sakit swasta di jantung kota Moskow. Udara menusuk tulang, tapi tidak lebih dingin dari hati Sean yang telah beku oleh kenyataan yang harus ia terima.

Tubuh Alana yang begitu lemah digenggamnya erat saat ia membantunya keluar dari mobil menuju pintu rumah sakit. Tak ada waktu lagi untuk membantah. Ia tak peduli seberapa keras Alana menolak, dan Sean telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan istrinya.

Pemeriksaan dilakukan cepat. Tim medis terbaik telah dikerahkan. Hanya butuh waktu singkat sebelum seorang pria paruh baya berkacamata, berpakaian rapi dengan jas dokter putih dan bahasa tubuh penuh kehati-hatian, memasuki ruangan konsultasi tempat Sean dan Alana menunggu.

"Herr Rajendra," ucap dokter itu dengan aksen berat, memandang Sean dan kemudian menatap Alana dengan penuh empati, kemudian berbicara dalam bahasa Rusia yang artinya "Kami sudah memeriksa seluruh hasil scan dan data penunjang lainnya. Kondisi istri Anda... sudah memasuki fase lanjut."

Alana memejamkan mata. Sean menggenggam tangannya lebih erat, seolah ingin memindahkan seluruh kekuatannya.

"Ada dua pilihan..." Dokter itu melanjutkan, "Yang pertama adalah pembedahan. Tapi kami harus jujur, operasi ini sangat kompleks dan berisiko. Letak sel kanker berada sangat dekat dengan bagian otak yang mengatur ingatan dan emosi. Jika berhasil pun, besar kemungkinan pasien akan mengalami kehilangan memori jangka panjang, atau bahkan seluruhnya."

Alana terdiam. Nafasnya tertahan. Sean menatap dokter itu dengan mata yang sudah basah.

Alana tidak mengerti bahasa Rusia namun dia tahu apa yang tersirat dari netra cokelat milik Sean.

"Opsi kedua," lanjutnya, "adalah terapi intensif yang bertujuan menekan pertumbuhan sel kanker. Ini bukan penyembuhan, melainkan pengendalian. Butuh waktu cukup lama, dan tingkat keberhasilan terapi ini... hanya sekitar lima puluh lima persen."

Hening. Seakan dunia berhenti berputar di ruang itu.

Alana menggeleng pelan, air matanya mulai jatuh membasahi pipi. "Aku... tidak ingin dioperasi," bisiknya nyaris tak terdengar. "Aku tak ingin bangun suatu hari... dan tak mengenalmu."

Sean menunduk, menyembunyikan wajah yang bergetar menahan tangis. Tapi ketika Alana berbicara lagi, suaranya sudah pecah.

"Bagaimana kalau aku melupakanmu, Sean? Melupakan semuanya? melupakan Ryu? Semua kenangan kita? Aku takut..." Isaknya pecah tak tertahan di lorong rumah sakit yang lengang, menggema di antara dinding dingin dan bau obat-obatan yang menyengat.

Sean berjongkok di hadapan istrinya, menatapnya dari bawah, mencoba menyentuh matanya yang penuh luka. Pria itu mencoba tersenyum meskipun sangat tipis.

"Kalau kau melupakanku," ucap Sean lirih, "maka aku akan mengisi kembali memori itu. Satu per satu. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi padaku, seperti pertama kali kita bertemu. Setiap hari, jika perlu. Aku tidak akan menyerah, Alana... aku tidak akan pernah menyerah untuk dicintai olehmu, sekali lagi."

Alana memeluknya, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Tapi ketakutan itu belum usai.

"Bagaimana... kalau tidak berhasil?" Alana terisak, suaranya bergetar seperti anak kecil. "Bagaimana... kalau aku tidak bisa bertahan?"

Sean menarik napas dalam-dalam, lalu menempelkan dahinya ke dahi Alana. Napas mereka saling bertautan, dan dari matanya yang sembab, Sean menjawab dengan suara paling lembut namun penuh tekad yang pernah keluar dari dirinya.

"Maka aku akan ikut denganmu... ke manapun. Kau tahu, kan? Aku tidak takut mati. Jika harus pergi untuk tetap bersamamu, aku akan lakukan itu tanpa ragu. Aku lebih takut hidup tanpamu daripada menghadapi kematian, aku tidak takut mati, Alana,"

Air mata Alana pecah seketika. Ia menjerit pelan, memeluk Sean lebih erat, tubuhnya bergetar dalam dekapan suaminya. Tangisan mereka menyatu di ruang tunggu yang sepi, saksi bisu cinta yang diuji oleh maut, oleh waktu, oleh pilihan yang tak mudah.

Sean mengecup rambut Alana, lalu berbisik, "Jadi... izinkan aku bertarung untukmu, kali ini. Meski kau menyerah, tapi aku belum selesai."

Alana menggigit bibirnya, mencoba meredam isak. Lalu mengangguk perlahan dalam pelukannya, bukan karena ia yakin, tapi karena ia percaya pada Sean, satu-satunya orang yang bersedia mati bersamanya... atau hidup untuknya, apapun risikonya.

1
Mamimi Samejima
Terinspirasi
Rock
Gak nyangka bisa sebagus ini.
Rya_rii: terima kasih 😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!