NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:579
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Pagi itu sinar matahari menyusup lembut dari celah gorden jendela rumah kontrakan mereka di Bumiarjo.

Burung-burung di pohon rambutan depan rumah bercuit ramai.

Sri sibuk di dapur, menanak nasi sambil sesekali melirik jam dinding.

Grilyanto, seperti biasa, sudah bersiap-siap mengenakan kemeja kerja.

Ia sempat bercanda kecil dengan Sri tentang rencana memasak sayur lodeh malam nanti. Heri masih belum bangun, pikir mereka.

Namun setelah jam menunjukkan pukul tujuh pagi, kamar Heri tetap sunyi. Grilyanto mengetuk pintu kamar bocah itu.

“Heri, bangun, Nak. Ayo sarapan.”

Tak ada jawaban.

Pelan-pelan pintu kamar dibuka. Kosong. Tempat tidur masih acak-acakan, dan jendela terbuka lebar. Sepatu kecil Heri tidak ada di rak.

“Mas… Heri nggak ada…” ucap Sri dari belakang, matanya membesar.

Grilyanto masuk ke kamarnya, membuka laci tempat menyimpan dompet. Kosong. Uang di dalamnya, yang baru ia ambil kemarin—lenyap.

Ia menarik napas panjang. “Heri bawa uangku…”

Sri terduduk di kursi makan. Dadanya terasa sesak. Wajahnya pucat.

Ia memegangi perutnya yang mulai membesar. Air matanya jatuh perlahan.

“Mas… aku malu… Heri mencuri darimu…”

Grilyanto yang berdiri di ambang pintu menatap istrinya dengan pandangan dalam.

Ia tahu, saat itu bukan waktunya untuk marah, bukan waktunya untuk menyalahkan. Ia mendekat, lalu duduk di samping Sri dan memeluk tubuh istrinya erat.

“Sri, dengar aku… Ini bukan salah kamu. Heri itu anakmu. Sekarang juga anakku. Kita sama-sama bertanggung jawab.”

Sri menutup wajahnya dengan telapak tangan, “Aku gagal jadi ibu, Mas… Dia sudah kubujuk, kupeluk, kudoakan… Tapi dia tetap menyakiti kita…”

“Dia masih kecil, Sri. Hatinya belum penuh. Kita harus terus isi hatinya dengan cinta, bukan luka. Kita harus cari dia lagi, Sri. Kita harus jemput dia kembali.”

Pelukan Grilyanto menyalurkan kekuatan. Seperti pohon tua yang melindungi bunga kecil dari badai, ia tak goyah.

Ia tahu cintanya pada Sri bukan hanya untuknya, tapi juga untuk seluruh hidup yang ikut datang bersamanya termasuk Heri, sekacau apapun perilakunya.

Beberapa saat kemudian, Grilyanto bangkit. Ia mengambil jaketnya dan bergegas keluar, tapi sebelum itu ia kembali ke dapur, meminum air hangat, lalu mengecup dahi Sri yang masih duduk dengan mata sembab.

“Aku cari dia. Kamu istirahat, ya. Jangan sampai kamu jatuh sakit.”

Sri mengangguk perlahan. Dalam diam, hatinya berkecamuk antara perasaan bersalah, lelah, dan cinta yang dalam kepada anak dan suaminya.

---

Di luar, Grilyanto kembali menelusuri jalan-jalan kota Surabaya.

Ia sudah hafal tempat-tempat di mana anak nakal bisa bersembunyi: warnet pinggir jalan, lapangan kosong, bahkan emperan toko di pasar Blauran.

Di dalam hatinya, ia tidak lagi marah. Ia hanya ingin menemukan Heri dan mengatakan:

“Pulanglah, Nak. Kita bisa perbaiki semuanya.”

Dan jauh di rumah kecil Bumiarjo, Sri berlutut di sajadah, berdoa sambil menggenggam erat satu benda kecil—foto Heri yang terselip di dalam dompet lamanya. Sebuah harapan ia panjatkan: agar anaknya kembali, dan keluarganya tetap utuh.

***

Hari-hari berlalu sejak Heri kabur dan mencuri uang dari dompet Grilyanto.

Sejak pagi itu, rumah kontrakan kecil di Bumiarjo terasa lebih sepi. Tidak ada lagi langkah kaki kecil di pagi hari, tidak ada suara tawa anak-anak, dan tidak ada permintaan sederhana seperti "Bu, sarapan apa hari ini?"

Sri, yang biasanya sibuk mengurus Heri, kini memilih diam.

Ia banyak duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela.

Sesekali tangannya mengelus perutnya yang makin membesar.

Kandungan memasuki bulan keempat. Kehamilan itu seharusnya membawa kebahagiaan, namun kegelisahan akan nasib anak pertamanya membuat hati Sri sering dilanda badai perasaan.

Grilyanto, setiap hari sepulang kerja, masih menyisihkan waktu menyusuri lorong-lorong kota, berharap bisa menemukan Heri.

Namun setiap langkahnya selalu kembali tanpa hasil.

“Mas… sudahlah… biarkan saja dia… mungkin ini jalan terbaik,” ucap Sri suatu malam saat mereka selesai makan malam, diiringi suara jangkrik dari halaman.

Grilyanto memandangi istrinya. “Kamu rela, Sri? Membiarkan anakmu hidup di jalanan? Kita tidak tahu dia makan apa, tidur di mana…”

Sri menunduk. Air matanya tak bisa ditahan. “Aku sudah mencoba segalanya, Mas… aku sudah jadi ibu yang sabar, yang mendampingi, yang mendidik… Tapi dia tetap memilih jalan itu. Aku… aku lelah. Sekarang aku ingin fokus pada bayi ini… dan padamu.”

Ada nada putus asa dalam suaranya. Grilyanto bisa merasakannya.

Tapi bagi Grilyanto, Heri bukan sekadar anak tiri. Ia sudah menganggap Heri bagian dari dirinya.

Di dalam hati kecilnya, ia ingin menjadi figur ayah yang bisa mengubah jalan hidup Heri.

Ia ingin Heri sekolah, lulus, bekerja, dan suatu hari bisa berdiri gagah di depan Sri dan berkata, “Bu, aku berhasil.”

Namun kenyataannya tak seindah itu. Heri memilih kebebasan tanpa batas, tanpa aturan. Ia mulai dikenal sebagai bocah jalanan yang liar.

Nongkrong di terminal, merokok, bahkan sempat terlihat ikut kelompok anak nakal yang biasa mencopet di pasar.

Beberapa tetangga pernah memberi kabar, tapi tiap kali dicari, Heri sudah tak ada.

“Kalau dia terus seperti itu, dia bisa celaka,” gumam Grilyanto suatu malam, duduk di beranda rumah kontrakan.

Hatinya dilanda konflik. Di satu sisi ia ingin terus memperjuangkan Heri, di sisi lain ia harus menjaga perasaan Sri dan kesehatan calon bayi mereka. Ia tidak ingin pertengkaran memecah rumah tangga mereka hanya karena perbedaan pandangan soal Heri.

Sri, meski tampak tegar, seringkali menangis dalam diam.

Setiap kali melihat anak kecil lewat depan rumah, hatinya terasa ditusuk.

Tapi luka demi luka yang Heri berikan padanya telah membentuk dinding tebal. Ia memilih menyerah bukan karena benci, melainkan karena ingin menyelamatkan sisa dirinya yang mulai retak.

Suatu malam, Grilyanto duduk di ruang tamu sendirian.

Ia mengambil foto Heri dari dalam laci, membersihkannya pelan dengan sapu tangan. Di foto itu, Heri tersenyum lebar saat berumur lima tahun, mengenakan baju ulang tahun. Senyum polos tanpa beban. Bukan senyum yang sekarang.

“Kalau kamu bisa dengar, Heri… pulanglah. Ayah dan Ibu masih sayang kamu. Kita masih bisa perbaiki semuanya…”

Tapi tak ada jawaban. Hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.

Di luar, malam makin larut. Kota Surabaya memeluk sunyinya. Di jalanan, entah di mana, Heri berjalan dengan langkah liar yang ia pilih sendiri. Dan di rumah kecil Bumiarjo, seorang pria dan wanita masih menunggu, meski dengan luka, harap, dan cinta yang belum padam.

***

Pagi hari itu langit Surabaya tampak sendu, mendung tipis menggantung seolah hendak menyampaikan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.

Di rumah kontrakan kecil di daerah Bumiarjo, Sri terbangun dengan rasa nyeri di perutnya. Tangan kirinya refleks mengelus perut yang membesar, sudah sembilan bulan lebih bayi dalam kandungannya tumbuh dengan kasih dan harapan.

“Mas…” lirihnya sambil mengguncang bahu Grilyanto yang masih tertidur.

Grilyanto membuka mata, dan dalam sekejap melihat wajah istrinya yang pucat dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

“Kenapa, Sri?”

“Aku… aku rasa ini waktunya…”

Tanpa panik, Grilyanto segera bangkit. Tangannya cepat mengambil handuk, membenahi tas kecil berisi pakaian dan perlengkapan bayi yang sudah disiapkan sejak sebulan lalu. Suara hujan rintik-rintik mulai terdengar di luar.

“Pak Slamet!” panggil Grilyanto kepada tetangganya yang biasa mangkal dengan becaknya di ujung gang.

“Tolong antar ke RKZ. Istriku mau melahirkan!”

Becak meluncur di antara jalanan basah, roda berderit pelan.

Di dalamnya, Sri menggenggam erat tangan Grilyanto, menahan sakit yang semakin intens.

Setiap kontraksi membuat tubuhnya tegang, namun matanya tetap menatap suaminya, mencari ketenangan dari wajah yang sejak awal menguatkan.

Setibanya di Rumah Sakit RKZ, para perawat sigap membawa Sri ke ruang bersalin.

Grilyanto mengikuti sampai batas ruang yang diperbolehkan.

Ia menunggu dengan gelisah di ruang tunggu, berjalan bolak-balik seperti menghitung detik demi detik dengan napas tak teratur.

Waktu seakan berjalan lambat. Hujan semakin deras di luar.

Deru suara mobil ambulans, langkah kaki perawat, dan sesekali suara tangis bayi terdengar dari koridor. Grilyanto menunduk, menangkupkan tangan.

“Ya Tuhan, beri kekuatan untuk istriku. Jadikan anak ini lahir sehat, kuat, dan menjadi cahaya bagi hidup kami.”

Beberapa jam kemudian, pintu ruang bersalin terbuka. Seorang bidan keluar dengan senyum lelah.

“Pak Grilyanto?”

Grilyanto langsung menghampiri. “Bagaimana? Bagaimana istri saya?”

“Selamat, Pak. Istri Anda melahirkan bayi perempuan. Semuanya sehat.”

Tiba-tiba matanya memanas. Dalam dada, ada rasa lega, bahagia, dan syukur yang meledak seperti matahari yang baru muncul setelah badai panjang.

Ia mengikuti perawat ke ruang pemulihan. Di sana, Sri terbaring lemah, namun senyum mengembang di wajahnya. Di sampingnya, bayi mungil terlelap dengan selimut putih.

“Terima kasih, Sri… kamu luar biasa…” bisik Grilyanto sambil duduk di sisi ranjang.

Sri mengangguk pelan. “Kita beri nama dia apa, Mas?”

Grilyanto memandang wajah putrinya. Kulitnya bersih, alisnya tipis, bibirnya mungil… dan saat itu juga, kenangan tentang malam ketika mereka menonton film India berjudul Puja terlintas.

“Reiny Puja Prameshwari,” ucap Grilyanto dengan penuh keyakinan.

“Reiny artinya hujan pagi ini yang membawa berkah. Puja dari malam kita di bioskop dulu. Dan Prameshwari… nama sang ratu, karena dia akan jadi cahaya hidup kita.”

Sri tersenyum haru. “Indah sekali…”

Hari itu, di bawah langit Surabaya yang mulai cerah kembali, Grilyanto dan Sri resmi menjadi orang tua dari bayi perempuan yang akan mereka besarkan dengan kasih sayang dan harapan yang tulus.

Dan dalam dekapan pertama, Grilyanto berjanji di dalam hatinya — meskipun Heri telah memilih jalan hidupnya sendiri, dia tak akan pernah gagal untuk menjadi ayah yang penuh cinta bagi Reiny Puja Prameshwari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!