Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berikut
Pov Haneul Kamandaka
Dengan hanya mengandalkan pulpen, aku membentuk sketsa gambar dari organ pernapasan. Ketika sedang fokus, Daniza disampingku tiba-tiba bersuara "kejadian waktu itu, tolong rahasia kan " aku menengok, Daniza tengah memutar pulpen nya seperti gasing, maksudnya adalah benda melayang. lalu aku mengulum senyum melihat polah nya itu.
"Tentu, sebagai ganti pipimu yang ku gigit " dia berhenti memutar pulpen nya, tangannya berganti menyentuh pipinya lalu menganguk.
Itu...menggemaskan, aku jadi ketagihan ingin menggigit lagi. Tapi tentu tidak boleh aku lakukan, jika tidak ingin dia merasa takut. Aku kembali menggambar lagi di buku tulis Daniza yang nantinya bukunya lah yang akan dikumpulkan.
"Daniza, Han "aku menoleh, Winda mendekati kami dengan membawa buku tulis dan kotak alat tulis.
"Belum selesai juga kalian berdua?"
"Tinggal buat keterangan, sedikit lagi rampung. Mau duduk, Winda?" tanyaku melihat dia berdiri disamping mejanya sendiri "Ngga usah Han, selesai kan saja tugas kalian " aku mengangguk, dan Winda memilih duduk dikursi Aca yang memang kosong sebab pemiliknya duduk satu meja dengan kelompok nya.
"Siapa yang nulis?"
"Gantian, kami bagi berdua "
"yang gambar kamu sendiri,Han?"
"Tentu, khusus yang ini ngga bisa dibagi dua"
"Tulisan Daniza jelek loh, Han?"
"Tapi cepat" Daniza disampingku menyela, giliran Winda yang mengejek nya dia tidak terima dan sangat cepat menyangkal.
"Tapi tetap ngga bisa mengubah kenyataan kalo itu jelek, umpama nya percuma muka jelek kalo ngga baik" aku terkekeh itu umpama yang tidak bijak, lalu tawa Winda datang menyusul.
"Masam banget mukanya, Daniza " aku menengok mendengar itu, tapi Daniza dengan cepat mengubah ekspresi nya jadi datar. Dia tidak mengizinkan ku melihat ekspresi nya yang lain?
"Eh...kenapa pipimu ,Dan?" Daniza menyentuh pipinya seraya melirik ku, aku menunggu jawabannya, Jujur bukan masalah, aku hanya perlu menjelaskan kesalahpahaman ku tentang ucapanmu sama seperti aku memberi alasan padamu.
"Digigit Delia "dia menyembunyikan nya, begitupun juga tidak apa, maka aku hanya perlu diam. "Iyakah? Kok aku baru lihat" kening Winda berkerut dalam, tapi Daniza meyakinkan dengan kalimat yang lain. "Itu karena kamu sama yang lainnya sibuk ngaca, jadi ngga memperhatikan"
"Oh...gitu. Gambaran kamu bagus, Han. Beda banget sama Dimas, dia cuma mengandalkan aku di kelompok. Tulisannya jelek terus lambat, gambarnya ngga bisa dipercaya, dia cuma modal buku tulis sama tinta doang" Winda mengalihkan perhatiannya pada tugas kami, dan itu membuatku mendengar helaan napas lega yang samar dari Daniza.
"Dimas memang seperti itu, dan ditambah lagi dia itu cerewet. Kamu perlu banyak stok sabar kalo kelompok sama dia" aku melanjutkan gambaran ku dengan memberikan panah pada gambar lalu menambahkan keterangan.
"Iya...ya ampun, mulutnya ngga bisa diam ngobrol sama teman dibelakang dan parah nya juga dia menghina gambaran ku" aku melirik pada Dimas yang ternyata menatap kearah kami sambil mengorek kuping nya.
Lalu aku menegakkan punggung, menatap kedua perempuan itu bergantian "Sudah selesai, Daniza biar aku yang kumpulkan bukunya sekalian kembali ke bangku ku" aku bangkit ketika mendapat anggukan darinya lalu membereskan barang ku.
"Silahkan kembali duduk di kursimu, Winda. Terimakasih untuk pinjaman kursinya" ujarku sambil tersenyum "Sama-sama, Han " aku melirik Daniza sekali lagi, dia sibuk membereskan barang nya juga.
Setelah mengumpulkan tugas, aku kembali ke kursi ku menunggu jam istirahat tiba untuk menikmati bekal ku. Aku masih belum bisa leluasa kemana -mana, karena itu akan merepotkan dengan kaki yang masih mengandalkan tongkat. Dan tidak lama setelah sepuluh menit berlalu, bel istirahat berbunyi.
Murid-murid keluar dari ruang kelas menuju tujuannya masing-masing begitu pun Dimas dan Gato yang ke kantin. Aku tidak menitip apapun kali ini merasa tidak perlu karena Daniza juga keluar bersama teman-teman nya, mungkin ke kantin? Dia memang jarang ke kantin ataupun keluar ruangan, seingatku .
Namun entah mengapa akhir-akhir ini selama aku tidak ke kantin dan selalu diruang kelas dia selalu keluar. Daniza yang biasa belum kembali juga ternyata, tapi tidak masalah untuk harga pipinya, aku akan menerima sikapnya yang lalu ataupun yang sekarang ini. Satu gigit harganya semahal ini, bagaimana jika yang lain?
" Han, kita tukeran yaa lauk nya"Rina memindahkan daging ayam goreng nya ke kotak bekal ku dan mengambil ikan goreng nila dari bekal ku.
"Apa ini masakan Bibi Fatwa lagi, Han?"Ujarnya setelah menelan sesuap, "Bukan, ini masakan paman." kataku lalu menyuap sesendok , ayam goreng nya ternyata gurih.
"Paman kamu pintar masak ternyata! Kalo kamu, Han? Bisa masak juga?"
"Sedikit" mata Rina berbinar, dia menepuk pundak ku lalu bertepuk tangan. Sambil mengatakan bagaimana dia kagum padaku yang bisa memasak. Katanya, jarang sekali laki-laki mau pergi ke dapur.
×××××××××××
Aku meneguk air minum ku dengan pandangan tertuju pada layar Hanphone yang menayangkan animasi, untuk menunggu paman menjemput ku. Hampir seluruh murid sudah pulang, yang tersisa disekolah hanya anak-anak kelas 12 dan aku satu-satunya dari kelas 11. Aku menunggu di tempat paman kantin, begitu biasa orang-orang memanggilnya karena cuma beliau satu-satunya kantin disekolah ini. Yang juga menjadi tempat ku menitipkan Hanphone sebab sekolah SMA- Negeri 1 Baru Merdeka menganut sistem yang melarang murid nya membawa benda canggih itu.
Namun aku tetap membawa benda ini meskipun ilegal, sebab aku mungkin membutuhkan nya seperti saat ini untuk mengusir suntuk, untuk memberi kabar dan mendapat kabar penting. Bibi Fatwa tahu akan hal ini dan beliau memperbolehkan dengan syarat aku tidak menggunakan nya dalam waktu sekolah berlangsung, dan mungkin aku tidak akan peduli jika tidak menghormati Bibi Fatwa yang seseorang guru disekolah ini.
Lalu ketika terdengar suara klakson, aku menaikan pandangan. Dan benar ternyata itu paman yang datang, aku lantas menaruh Handphone ku ke dalam saku celana. Lalu masuk sebentar untuk memberitahu paman kantin, bahwa jemputan ku sudah datang.
"Paman kantin...paman ku sudah datang, aku pamit dulu" kataku pada beliau seraya bersalaman "Hati-hati, Nak " beliau mengantar sampai depan dan masih menunggu sampai mobil paman perlahan bergerak menjauh, paman kantin akan mengangkat tangan kanannya menanggapi klakson dari paman. Ini adalah kebiasaan baru selama kaki ku di gips dan aku diantar jemput oleh paman.
"Bagaimana sekolahnya, Han?"
"Baik Paman, sekolah seperti biasa ngga berubah dan juga ngga pindah. Hanya manusia-manusia nya yang sedikit membuat lelah " jawabku seraya menyadarkan punggung, dan paman tertawa sampai matanya membentuk seperti bulan sabit.
"Tapi seharusnya ngga semua bikin lelah kan, pasti ada juga yang bikin semangat?" Paman menarik turunkan alisnya sebelum kembali melihat ke depan.
"Tentunya Paman, kalo mau pulang ke rumah pasti semangat "
"Hah...kamu ngga seru, Han. Ngga ngerti maksud paman " aku tersenyum, jelas paham maksud paman. Tapi sengaja tidak memberi jawaban yang sesuai untuk membalas godaan paman.
"Ngomong-ngomong kita sudah lama ngga liburan, bagaimana kalo libur nanti setelah kakimu sembuh kita liburan lagi ke pantai "
"pantai di Jalan Selatan ?"
"Iya, kamu kan baru sekali ke tempat itu, itu pun pas kamu baru pertama kali ke kampung Tepat kan ?"
sial namaku juga rina/Facepalm/
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu