kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyaman?
Langkah Dara tertatih-tatih, tidak tentu arah. Air mata masih membasahi wajahnya, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ia putuskan untuk tidak berangkat ke sekolah. Perasaannya kacau balau, pikirannya penuh dengan rasa sakit hati dan kekecewa. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa fokus menerima pelajaran dalam keadaan seperti ini. Lebih baik ia mencari tempat yang tenang untuk menenangkan dirinya.
Dara berjalan sambil menangis sesenggukan, langkah kakinya tanpa tujuan. Ia hanya ingin melepaskan semua perasaan sakit hatinya. "Kenapa, sih, mereka baru sadar di saat gue disakitin? Kenapa mereka baru sadar di saat gue lagi nggak mau lihat mereka?" gumamnya, suaranya penuh dengan rasa kecewa dan sedikit marah.
Dara merasa bahwa perhatian orang tuanya terlalu lambat datang. Dara merasa bahwa orang tuanya baru menyadari kesalahannya setelah ia menunjukkan rasa sakit hatinya.
Dara terus berjalan, menangis sesenggukan. Perasaan sakit hati dan kecewa menyerang hatinya dengan deras. "Mereka bersikap biasa saja, seolah-olah gue nggak punya hati… terutama Mamah," ujarnya, suaranya penuh dengan rasa kecewa yang mendalam. Dara merasakan bahwa ibunya tidak pernah memperhatikan perasaannya.
"Mamah bahkan nggak merasa sedikitpun rasa bersalah setelah menampar gue tadi malam," lanjutnya, suaranya penuh dengan rasa sakit hati yang mendalam. Ia masih merasakan tamparan ibunya di pipinya. Rasa sakit fisik dan psikis masih Dara rasakan. Ia merasa bahwa ibunya tidak menghargai perasaannya. Ia merasa bahwa ibunya tidak mencintainya.
Dara terus berjalan, tanpa tujuan, hanya mengikuti aliran air matanya yang tak henti-hentinya. Matanya tidak memperhatikan jalan sehingga ia tersandung batu kecil yang membuatnya terduduk di pinggir jalan.
Dara memeluk lututnya erat-erat, tangisnya pecah lagi, sesenggukan. Rasa sakit hati dan kekecewaan yang begitu dalam menyerangnya bagai gelombang besar yang tak henti-hentinya menerjang.
"Sakit banget, tapi lebih sakit waktu Mamah nampar gue," keluhnya, dengan tangisan yang terdengar pilu.
Kesendirian yang mendalam mencengkeramnya, memperkuat rasa sakit yang tengah ia rasakan. Ia merasa terabaikan, tidak dihargai, dan tidak dicintai oleh orang tuanya. Perasaan itu begitu menyesakkan dadanya.
Ia ingin sekali meluapkan semua perasaannya, mencurahkan semua beban di hatinya, tapi ia tak tahu harus kepada siapa ia mengutarakannya. Semua orang yang seharusnya ada untuknya, justru menjadi sumber kesedihannya.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Andra sedang melajukan mobilnya menuju sekolah. Ia bersenandung riang, menikmati perjalanan pagi yang cerah. Jalanan ramai, berbagai aktifitas orang-orang terlihat dari balik kaca mobilnya. Muda-mudi berlalu lalang, menunjukkan semangat dan keceriaan khas masa muda. Suasana ceria itu seharusnya membuat hati Andra ikut senang.
Namun, pandangan Andra tiba-tiba tertuju pada seseorang yang terduduk di tepi jalan. Sosok itu terlihat kecil dan mungil, memeluk lututnya erat-erat, menangis. Tangisnya yang pilu menyayat hati.
Andra mengerem mobilnya, rasa ingin tahunya meningkat. Sosok itu terlihat begitu familiar. Ia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, tak tega meninggalkan sosok yang tengah menangis sendirian itu. Ia keluar dari mobilnya, mendekati sosok tersebut. Hati Andra berdebar kencang, sebuah firasat mengatakan bahwa ia mengenal gadis yang sedang menangis tersebut.
Semakin dekat, semakin jelas terlihat. Itu Dara. Dara yang tengah menangis sendirian di pinggir jalan. Andra bergegas menghampiri Dara, hatinya dipenuhi oleh rasa khawatir dan iba. Ia harus menolong Dara. Ia harus ada untuk Dara. Ia harus memberikan dukungan dan kenyamanan pada Dara. Ia harus menjadi tempat Dara berkeluh kesah. Ia harus memastikan Dara baik-baik saja. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Dara.
Andra duduk di samping Dara, menyamai posisi Dara yang masih menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya, memeluk erat kedua lututnya. Suasana hening, hanya terdengar isakan Dara yang pilu. Andra merasakan getaran kesedihan yang begitu kuat dari Dara.
"Ra?" Andra mencoba memanggil, suaranya lembut, penuh dengan rasa khawatir. Ia tidak yakin, tapi firasatnya mengatakan bahwa gadis yang sedang menangis ini adalah Dara.
Dara mendongakkan wajahnya, menatap Andra dengan mata yang sembab dan berkaca-kaca. Ia mengenali Andra. "Andra…" ujarnya, suaranya tercekat, menunjukkan betapa terguncangnya perasaannya. Ia memeluk Andra erat-erat, menumpahkan semua kesedihannya. Tangisnya kembali pecah, mengalir deras membasahi pipinya.
Andra membalas pelukan Dara, memeluknya dengan erat. Ia merasakan getaran tubuh Dara yang gemetar hebat. "Ternyata beneran ini kamu, Ra…" ujarnya, suaranya terdengar lembut dan penuh empati.
Andra merasakan betapa besarnya kesedihan yang tengah dirasakan Dara. Ia merasa sedih melihat Dara dalam keadaan seperti ini. Ia ingin memberikan dukungan dan kenyamanan untuk Dara. Ia ingin menjadi tempat Dara berkeluh kesah. Ia ingin membantu Dara mengatasi kesedihannya.
Andra memeluk tubuh Dara erat-erat, mencoba untuk memberikannya rasa aman dan ketenangan. Ia menunggu hingga tangis Dara sedikit mereda, baru kemudian ia akan mengajak Dara untuk berbicara. Ia akan mendengarkan semua cerita Dara, mendengarkan semua keluh kesahnya. Ia akan menjadi pendengar yang baik untuk Dara. Ia akan selalu ada untuk Dara, dalam suka maupun duka. Pelukan Andra memberikan sedikit kekuatan untuk Dara, memberinya rasa aman di tengah kepedihan yang tengah ia rasakan.
"Ssst… Ra… tenang, oke? Kita masuk ke mobil, ya? Nanti aku bantu obatin luka di lutut kamu…" Andra berkata dengan lembut, mencoba untuk menenangkan Dara. Ia membantu Dara untuk berdiri, menopang tubuh Dara agar tidak jatuh.
Membawa Dara ke dalam mobilnya, Andra memegang lengan Dara dengan hati-hati agar Dara tidak terjatuh. "Aww… sakit, Dra…" Dara merintih kesakitan, merasakan nyeri di lututnya saat menaiki mobil. Lututnya mungkin terluka karena ia telah duduk di tanah yang keras dalam waktu yang cukup lama.
"Tenang, ya, Ra…" Andra berkata, suaranya masih lembut, menunjukkan rasa simpati dan kepeduliannya. Ia menutup pintu mobil dengan perlahan.
Andra mengambil kotak P3K dari mobilnya. Ia mengeluarkan obat merah dan kain kasa. "Fuhh… pasti sakit, ya…" ujarnya, meniup pelan luka di lutut Dara sebelum mengoleskan obat merah dengan hati-hati. Gerakannya lembut, menunjukkan kepeduliannya.
Dara merasakan perih saat obat merah menyentuh lukanya. "Sakit banget, Dra…" ujarnya, menahan rasa sakit.
"Tahan, ya, Ra… aku kasih kain kasa dulu biar luka kamu nggak infeksi…" Andra berkata, menempatkan kain kasa dengan lembut di atas luka Dara. Ia memastikan kain kasa menutupi luka Dara dengan sempurna. Ia ingin memastikan luka Dara terawat dengan baik agar tidak terjadi infeksi.
Dara menatap lekat wajah Andra yang begitu telaten mengobati lukanya. Ia merasa sedikit tenang dan nyaman di dekat Andra. "Dra… makasih udah bantu gue…" ujarnya, suaranya masih sedikit terisak, namun nadanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus. Ia merasa beruntung bertemu Andra di saat ia sedang membutuhkan bantuan.
Andra tersenyum, gerakan tangannya tetap lembut mengobati lutut Dara. "Em… yang penting kamu nggak luka lagi…" ujarnya, menunjukkan kepeduliannya. Ia senang bisa membantu Dara. Ia merasa lega karena bisa memberikan sedikit bantuan pada Dara.
Setelah selesai mengobati luka Dara, Andra menatap Dara dengan lekat. "Sekarang kita mau ke mana? Nggak mungkin mau sekolah, kan? Udah siang…" tanyanya, menunjukkan perhatiannya pada Dara.
Dara mengangguk, menunjukkan bahwa ia memang tidak berniat untuk pergi ke sekolah hari ini. Ia masih merasa tidak baik-baik saja, baik secara fisik maupun emosional. "Gue laper, Dra…" ujarnya, mengusap perutnya yang keroncongan. Ia menyadari bahwa ia belum makan apa pun sejak pagi tadi.
"Okey… sekarang kita ke restoran aja yang deket sini…" Andra berkata, menunjukkan kepeduliannya pada Dara.
Andra melajukan mobilnya dengan pelan, menjaga agar Dara merasa nyaman. Ia ingin memastikan Dara merasa aman dan terlindungi bersamanya.
Andra melajukan mobilnya dengan pelan dan hati-hati, menjaga agar Dara tetap merasa nyaman. Ia memilih jalan yang tidak terlalu ramai, menghindari kemacetan dan guncangan yang mungkin membuat luka Dara terasa lebih sakit. Ia sesekali melirik Dara, memastikan Dara baik-baik saja.
Suasana di dalam mobil terasa tenang, hanya diselingi suara musik lembut yang keluar dari radio mobil. Andra berusaha menciptakan suasana yang menenangkan untuk Dara, suasana yang bisa membuat Dara merasa lebih rileks dan nyaman.
Sesampainya di restoran, Andra membantu Dara turun dari mobil. Ia memegangi lengan Dara dengan lembut, menjaga agar Dara tidak terjatuh. Restoran yang mereka pilih adalah restoran kecil yang nyaman dan tidak terlalu ramai. Suasana di dalam restoran terasa hangat dan ramah. Andra memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, agar Dara bisa melihat pemandangan di luar.
Setelah memesan makanan, Andra kembali menatap Dara. "Kamu mau cerita nggak, Ra? Aku siap dengerin…" ujarnya, suaranya lembut dan penuh empati. Ia ingin memberikan Dara kesempatan untuk mencurahkan isi hatinya.
Andra ingin menjadi tempat Dara berkeluh kesah. Ia ingin menjadi tempat Dara menemukan ketenangan. Ia ingin membantu Dara melewati masa-masa sulitnya. Ia siap mendengarkan semua cerita Dara, semua keluh kesah Dara, semua beban yang tengah dipikul Dara. Ia akan menjadi pendengar yang baik untuk Dara.
"Nanti… habis makan gue cerita. Tapi gue isi tenaga dulu…" Dara berkata, suaranya masih sedikit lemah, namun nadanya menunjukkan sedikit peningkatan. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah lukanya diobati dan berada di tempat yang nyaman. Ia ingin mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum menceritakan semua masalahnya.
Andra merasa gemas melihat Dara yang masih terlihat lesu dan sedih. Ia tidak tahan untuk mengusap lembut pucuk kepala Dara. Gerakannya spontan, dilakukan tanpa berpikir panjang.
Dara menatap Andra dengan datar, menunjukkan bahwa ia masih merasa sedikit tidak nyaman. Andra menyadari kesalahannya, ia telah bertindak terlalu lancang. "Maaf, Ra… udah lancang…" ujarnya, suaranya terdengar menyesal. Ia merasa telah bertindak tanpa permisi.
Dara tersenyum kecil, menunjukkan bahwa ia tidak tersinggung. "Nggak papa… tapi rambut gue berantakan, Dra…" ujarnya, suaranya terdengar santai, menunjukkan bahwa ia sudah mulai merasa lebih nyaman.
Andra mengulurkan tangannya, merapikan rambut Dara dengan lembut. "Maaf, ya… udah cantik kalau kayak gini…" ujarnya, senyumnya tulus. Ia merasa senang bisa membantu Dara. Ia merasa senang bisa membuat Dara merasa lebih nyaman. Ia merasa senang bisa berada di dekat Dara.