kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Malam Jumat Kliwon
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma aneh yang membuat dedaunan berdesir seperti bisikan. Langit mendung, namun bulan masih terlihat menggantung pucat. Malam itu, malam Jumat Kliwon, menjadi saksi kembalinya kekuatan lama yang telah lama tersegel.
Di balai desa, Aji duduk bersila dengan mata terpejam, tiga batu segel diletakkan melingkar di depannya. Di sekelilingnya, Pak Lutfi, Mbah Tejo, Udin, Pedot, dan beberapa warga yang berani turut serta, membentuk lingkaran doa. Pak Bolot? Ia duduk di pojokan sambil komat-kamit sendiri, entah berdoa atau sekadar menghindar dari tugas berat.
Mbah Tejo: “Ingat, Aji. Begitu ritual dimulai, semua roh di sekitar akan terseret. Termasuk… dia…”
Aji: “Dia… Nenek Bisu?”
Mbah Tejo mengangguk berat. “Bukan sekadar arwah penasaran. Dia penjaga. Tapi jika terbangun dalam marah… bisa membakar satu desa.”
Hutan Menjerit
Sementara itu, di tengah hutan, Guntur menancapkan tongkat hitamnya ke tanah. Ia sudah membuka celah antara dunia manusia dan alam gaib. Cahaya merah keluar dari bumi, membentuk pusaran.
Guntur: “Buka matamu, leluhur. Warisanmu akan kuteruskan…”
Tiba-tiba tanah bergetar. Dari balik kabut, sesosok tubuh bungkuk muncul perlahan. Tubuhnya mengenakan kebaya lusuh, rambut panjang kusut menutupi separuh wajah. Tak ada suara. Tak ada napas. Hanya tatapan kosong yang membuat udara membeku.
Guntur (tersenyum puas): “Akhirnya… Hantu Nenek Bisu…”
Namun yang tak ia duga — hantu itu bukan sekutunya.
Nenek Bisu (tanpa bersuara, hanya lewat batin):
“Kau… pewaris kegelapan… kau pembuka kutukan. Tapi aku… bukan pelayanmu…”
Hantu itu melayang, lalu menghantam tubuh Guntur hingga terlempar. Guntur terbatuk, darah hitam mengalir dari mulutnya.
Guntur (mendesis): “Dasar roh tua… Aku akan jinakkan kau juga!”
Balai Desa Guncang
Di desa, Aji tiba-tiba membuka mata. “Dia terbangun… Nenek Bisu…”
Lampu petromax di balai desa mendadak padam satu per satu. Udara menjadi dingin, nafas membeku. Udin memegang tangan Pedot erat-erat.
Udin: “Pedot… iki seriusan. Rasane kaya nyawang malaikat maut.”
(Pedot… ini serius. Rasanya kayak ngeliat malaikat maut.)
Pedot: “Jangan gitu, Din! Aku belum sempat bayar utang warung, woi!”
Tiba-tiba, dari jendela, muncul siluet wanita bungkuk berdiri diam, menatap ke dalam. Tak ada suara. Tapi semua tubuh jadi lemas.
Pak Bolot: “Lho… lho… iki mbak-mbak sing nganter jenang kemarin to?”
(Lho… ini mbak-mbak yang nganter jenang kemarin ya?)
Udin: “Pak! Iki hantu Nenek Bisu!”
(Pak! Itu hantu Nenek Bisu!)
Pak Bolot malah nyengir. “Ora popo, mesakne. Wong bisu kok.”
(Gak papa, kasihan. Dia bisu kan.)
Pertarungan Energi
Aji berdiri, membentangkan tangannya, lalu berteriak pelan, “Kiai Al-Haq, pelindung para pewaris, berikan hamba cahaya.”
Tubuhnya berpendar terang, mengusir hawa dingin. Nenek Bisu berhenti melangkah, memiringkan kepala seperti mengenali Aji. Ia maju… pelan… lalu berhenti di depan Aji.
Aji (dalam hati): “Apakah kau… korban? Atau penjaga?”
Nenek Bisu (dalam bisikan batin):
“Jagaku telah dikhianati… Batu-batu itu pernah kusegel dengan darahku… Kini mereka mencurinya… Aku datang… untuk mengakhiri…”
Tiba-tiba, tubuh Nenek Bisu bergetar hebat. Mata kosongnya memancarkan cahaya merah.
Mbah Tejo (berteriak): “Dia dibakar amarah masa lalu! Aji, kau harus tenangkan dia! Atau desa ini… tamat!”
Menguak Masa Lalu
Aji mengangkat tangannya. Dengan suara lembut, ia mengaji pelan. Ayat-ayat suci mengalun seperti nyanyian hening, menyusup ke dalam batin.
Dan di tengah cahaya putih, bayangan masa lalu muncul. Nenek Bisu dulunya adalah manusia — Nyai Saminah, penjaga batu segel pertama. Ia disumpah bisu agar tak membocorkan rahasia segel. Namun pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikut Ki Jagatrowo agar segel terlepas. Jiwanya terperangkap sebagai penjaga terkutuk.
Aji meneteskan air mata. “Maafkan kami… desa ini butuh perlindunganmu lagi…”
Nenek Bisu perlahan tenang. Tatapannya melembut. Ia melayang ke atas batu segel, lalu tubuhnya menyatu… dan hilang. Hanya meninggalkan kabut putih dan satu suara bisikan…
“Jagalah Karangjati… jangan biarkan sejarah terulang…”
Pagi Menyingsing
Matahari pertama setelah malam kelam itu muncul malu-malu dari ufuk timur. Desa Karangjati kembali tenang, meski tanda-tanda pertempuran besar belum berakhir.
Aji menatap jauh ke arah hutan. “Guntur belum selesai… dan segel belum utuh…”
Udin berdiri di sebelahnya. “Tapi kita gak sendiri, Ji. Masih ada aku… Pedot… dan Pak Bolot yang super power.”
Pak Bolot (dari belakang): “Lho? Aku ta? Aku kan cuma tamu kehormatan.”
(Lho? Saya ya? Saya kan cuma tamu kehormatan.)
Semua tertawa. Tapi di hati Aji, ia tahu: badai sesungguhnya belum datang.