Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
🌼🌼🌼
"Gue jadi milik lo? Cewe bego kek lo? Lo dan Rania nggak bisa disamain," cibir Saka dengan tatapan merendahkan.
Elea tersenyum kecut. "Ah, gitu kah? Kita bisa liat apakah pandangan lo akan berubah terhadap gue dan Rania, Saka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19| Rencana Rania
"Gue nggak bermaksud kek gitu, Rania," kata Saka lirih.
Rania menghela napas berat. "Tapi, yang terjadi berbeda Saka. Lo tetap bakalan jadi tunangan Elea, setelah lo yakinin gue kalo hubungan kita nggak akan berakhir kek gitu aja."
Saka mengangkat tangannya ditepis kasar oleh Rania, sorot mata Rania tampak kecewa.
"Lo tau, berat banget buat gue sampai di tempat ini. Jadi bayangan Elea, bahkan sampai detik ini pun gue yang harus terluka," lanjut Rania parau.
Saka menarik kedua sisi bahu Rania, memeluknya dengan erat. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk Saka. Remaja lelaki satu ini tidak bisa membantah setiap keputusan sang kakek, ia menginginkan gadis ini.
Walaupun tahu Rania tidak pernah mencintai dirinya, gadis yang kini ia peluk masih mencintai Gala. Bukankah cinta memang membuat manusia kehilangan logikanya.
"Gue harap lo bakalan bertahan, Rania. Gue janji ini cuma beberapa tahun doang, setelah Kakek nggak lagi ada. Posisi itu bakalan balik ke lo," janji Saka tegas.
Kepala Rania mengangguk, kedua tangannya mendorong pelan dada bidang Saka. Pelukan Saka terlepas, kedua sisi bibir Rania melengkung.
"Oke, gue tunggu sampai saat itu tiba, Saka." Rania menatap lambat kedua mata Saka.
Saku celana Saka bergetar, Saka merogoh saku celana seragam sekolahnya. Mengeluarkan smartphone di dalam sana, nama Elea terpampang di layar.
"Pergilah," tutur Rania yang ikut melirik ke arah ponsel Saka.
Kepala Saka mengangguk, ibu jari Saka menggeser layar ke samping. Ia mengayunkan langkah kakinya menjauh, Rania menghela napas berat. Suara derap langkah kaki dari sudut loker membawa atensi Rania terarah padanya, lelaki tua 2 tahun dari Rania terlihat.
"Sudah saatnya, Dek! Kita nggak bisa menunggu terlalu lama lagi. Hancurkan hati wanita itu dan anaknya," ujarnya berat.
"Bang! Gu—"
"Nggak bisa? Lo mulai goyah? Apakah 11 tahun berada di sana bikin lo jadi lembek. Lo ngerasa kalo lo bakalan dapatin harta keluarga Baskara, hah?" potongnya cemooh, "ingat, Dek! Kita nggak akan berakhir kayak gini kalo bukan karena wanita murahan sialan itu. Mama nggak akan masuk RSJ karena perselingkuhan itu, lo jangan lupa gimana penderitaan kita. Semua dimulai dari wanita sialan itu."
Jari jemari Rania bertaut, kepalanya tertunduk. Ia memasuki rumah Baskara karena dirinya adalah putri dari lelaki yang dicintai Diana, awalnya Rania tidak tahu- menahu jika ibunya gila. Ayahnya menitipkan dirinya pada sang bibi, sementara ayah mereka berdua hanya membesarkan sang kakak.
Di saat usianya 10 tahun sang kakak mulai mendekati dirinya, dan mengatakan jika mereka kakak-beradik kandung. Ayah mereka seorang guru les piano terkenal, karena ayahnya selingkuh dengan Diana. Ibu mereka depresi hebat saat tahu, sang ayah bahkan memiliki anak dengan Diana.
"Bukankah memalukan kalo sampai ada yang tau siapa orang tua kita, Bang? Punya ibu yang gila dan Ayah tukang selingkuh," gumam Rania lirih.
Ekspresi wajahnya langsung merah padam, matanya melotot. "Jaga mulut lo! Lo nggak tau apa-apa Rania. Gue yang ngeliatin gimana hancurnya Mama, bahkan saat hamil lo. Mama semakin tertekan karena Papa selalu ribut sama Mama," sahutnya marah.
"Cuma Abang yang dibesarin sama Mama. Sementara gue nggak pernah dibesarin sama Mama maupun Papa tapi, kenapa harus gue yang balas dendam?" Rania mengangkat pandangan matanya menatap tajam sang kakak.
Tawa mencemooh mengalun, beginilah adiknya. Rania terlalu terbenam pada kemewahan yang didapatkan, cinta dari Diana. Hingga mengabaikan ibu kandung mereka, tidak disangka jika sang adik sangat mirip dengan sang ayah. Tidak tahu balas budi, tidak tahu diri.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Ya, ya, ya, kok gue lupa. Kalo darah lelaki sialan itu lebih kental dibandingkan darah Mama. Lo licik dan picik kek Papa, nggak tau terima kasih. Lo menj—"
PLAK!
Pipinya berdenyut, pupil matanya membesar. Kedua sisi bahu Rania naik-turun, kakak kandungnya tidak pernah menyayangi dirinya. Setiap saat selalu saja soal dendam dan dendam, Rania bukan alat balas dendam.
"Abang nggak berhak ngomong kek gini sama gue, bahkan Bang Zion jauh lebih sayang gue dibanding Abang Yuda. Apa Bang Yuda tau? Gue selalu stres kalo udah ketemu sama Bang Yuda. Gue ini Adik kandung lo, Bang. Tapi, setiap ketemu gue, lo nggak pernah nanyain kabar gue." Jari jemari Rania menunjuk-nunjuk wajah Yuda marah.
Yuda menghela napas kasar, dan berkata, "Ya, jelas. Karena dia 'kan sama kek lo, darah pria sialan itu pun mengalir di tubuhnya."
Rania mengepalkan kedua tangannya, membalikkan tubuhnya melangkah meninggalkan ruangan istirahat sekolah.
...***...
Suara alunan suara piano mengalun di ruangan musik, di kursi penonton membuat Rania tercekat. Jari jemari Elea bermain begitu cepat, tempo yang dihasilkan membuat suara yang memukau untuk para penikmat musik.
Jari jemari Rania bergetar, tidak butuh waktu lama untuk Elea menguasai piano. Rania harus mengasah kemampuan berpiano untuk memuaskan orang-orang dari keluarga Baskara, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mahir. Nyatanya bakat tidak pernah berbohong, tepukan tangan bergemuruh.
"Gue pikir si Elea cuma omdo, eh siapa sangka dia bisa menguasai piano dalam waktu 3 bulan doang."
"Permainan dia bagus banget gue akuin, dia punya bakat lebih bagus dibanding Rania."
"Duh, gimana ya itu? Kali ini kayaknya bisa aja Elea yang menangin permainan pianonya."
"Kalo gue jadi Rania sih dah ketar-ketir gue."
Ekspresi wajah Rania tampak santai, sebisa mungkin untuk tidak berekspresi berlebihan melihat penampilan Elea.
'Apa yang harus gue lakuin? Sebentar lagi gue yang bakalan tampil. Gue nggak mau kalah gitu aja sama dia.' Rania melirik ke arah bangku tak jauh dari posisinya duduk.
Senyum lebar dari Guntur untuk Elea, lalu ia beralih ke arah wajah Diana. Wanita itu terlihat bangga dengan Elea, Rania mencibir dalam diam.
Ia bangkit dari posisi duduknya di saat Elea melangkah meninggalkan podium, tangan Rania ditahan oleh Zion yang duduk di sampingnya.
"Mau kemana, Dek?" tanya Zion mendongak menatap sang adik.
"Ke toilet bentar, Bang." Rania memaksakan senyum.
Zion melepaskan pergelangan tangan Rania, kedua tungkai kaki Rania melangkah terburu-buru ke luar dari ruangan. Di lorong gedung, ia melangkah mendekati Elea.
"Elea, tunggu!" Rania berseru keras.
Langkah kaki Elea berhenti, ia menoleh ke belakang. Dahinya berkerut, mendapati Rania terburu-buru mendekati dirinya.
"Ikutin gue! Ada yang pingin gue bicarain ke lo!" Rania melewati Elea begitu saja.
Elea mengayunkan langkah kakinya kembali mengikuti Rania, keduanya melangkah menuju tangga di bagian Utara gedung pertandingan piano.
Rania berhenti menaiki anak tangga, matanya bergerak acak. Elea melipat kedua tangannya di bawah dada, menatap aneh ke arah Rania.
"Lo mau ngomong di sini?" tanya Elea memastikan.
Kepala Rania mengangguk. "Ya, gue mau ngomong di sini."
"Apa yang mau lo omongin?"
Rania menipiskan bibirnya. "Lo mau tau satu rahasia gila Nyokap lo?"
Kerutan di pangkal hidung Elea terlihat, apa yang dimaksud oleh Rania soal perselingkuhan atau soal Zion bukan anak ayahnya.
"Haruskah gue, tau?" tanya balik Elea seakan tidak tertarik.
"Ya! Lo harus tau," sahut Rania cepat, "karena ini menyangkut keutuhan keluarga lo."
Kekehan kecil yang keluar dari mulut Elea membuat Rania memicing kedua matanya, ekspresi datar Elea seakan-akan gadis ini sudah tahu.
"Gue bahkan mau kalo Nyokap dan Bokap pisah secepatnya," jawab Elea santai.
"Ha? Maksudnya lo, mereka cerai?"
Elea tersenyum tipis. "Yap, jadi simpan aja rahasia yang lo ketahui. Gue nggak tertarik sama sekali tuh, sama apa yang mau lo omongin."
Rania tercekat, apa yang harus Rania lakukan? Ia bermaksud mengancam Elea dengan perselingkuhan Diana. Tapi, Elea malah tidak peduli. Rania tidak ingin tampil di pertandingan, dan menerima kekalahan.
Elea membalikkan tubuhnya, bermaksud meninggalkan Rania. Samar-samar Rania mendengar suara derap langkah kaki, ide gila melintas di otaknya.
"JANGAN!"
Teriak keras dari Rania membuat Elea terkejut, apalagi di saat tiba-tiba tubuh Rania terjatuh dari tangga sampai ke lantai. Elea membeku, suara derap langkah kaki menggema di lorong. Benturan keras dari kepala Rania membuat darah segar mengenai lantai, kejadiannya begitu cepat. Elea membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Rania dan Saka di bawah sana.
"Rania! Hei! Rania!" seru Saka panik bukan main mendapati sang pujaan hati terjatuh.
Tangan Rania terangkat di saat tubuhnya dipangku, menunjuk ke arah anak tangga. Saka menoleh ke arah tangga, ia melebarkan pupil matanya melirik Elea yang membeku.
Suara orang-orang berlarian ke arah Saka dan Rania di bawah sana membuat gaduh, telinga Elea berdengung. Tatapan mata Saka penuh kebencian membuat hati kecil Elea tercubit, tatapan mata itu seakan menghakimi Elea.
Bersambung...
semangat 💪💪💪