Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA BARANG BEKAS
Aku sengaja memperlambat langkahku, memastikan jika seseorang di belakang memang kebetulan lewat, atau memang sedang membuntuti. Ekor mataku melirik ke banyak arah, mencari jalan untuk berjaga-jaga jika perlu melarikan diri. Jantungku berdebar kencang saat langkah kaki di belakangku mengikuti ritme yang sama.
Ini tidak benar. Siapa yang mengikuti ku diam-diam? Apa itu jambret, rampok, atau bahkan orang mesum yang seperti di bus tadi malam?
Pikiran-pikiran buruk berlomba-lomba di kepalaku. Tulang di kakiku terasa gemetaran, meski tetap aku paksa berlari kencang. Didaerah pedesaan yang langkah rumah penduduk, aku terus mencari langkah paling aman untuk menyelamatkan diri.
"Riana!" Teriak seseorang di belakangku.
Dada yang tadi berdebar, kini seperti berhenti seketika. Kenapa dia mengenaliku? Apa yang dia mau dariku?
Aku sama sekali tidak mau berbalik, antara takut dan khawatir tersandung bebatuan karena aku harus terus berlari. Namun pria dibelakang lagi-lagi terus memanggil.
"Riana! Kenapa kamu lari?" Ucapnya. "Ini aku Anton. Kakaknya, Kenzi."
Mendengar nama itu, reflek aku menoleh, meski langkahku sama sekali tidak mau berhenti. "Kenapa kamu ngejar aku?" Tanyaku sambil terus berlari.
"Itu karena kamu lari!"
"Aku lari karena kamu ngejar aku!"
Seketika kulihat Anton berhenti, napasnya tersengal-sengal. "Oke. Aku gak bakal ngejar kamu lagi ", ucapnya sambil mengurut dada, sepertinya pria itu tidak biasa kari. "Jadi kamu jangan lari lagi, oke?"
Perlahan aku menghentikan langkah, lalu berbalik sambil memegangi lutut karena lelah. Kapan terakhir aku lari seperti tadi? Entahlah, mungkin saat kuliah dulu.
Beberapa saat kami hanya saling diam sambil menstabilkan napas masing-masing. Hingga setelah jantung kami lumayan tenang, kulihat Anton mendekat.
"Jangan lari lagi, aku bukan orang jahat", katanya saat melihat aku mundur reflek curiga.
"Apa yang kamu lakuin disini? Kamu ngikutin aku?" Seruku, masih penuh dengan prasangka.
Anton menggeleng. "Aku kebetulan lihat kamu, jadi aku mau nyapa. Tapi kamu malah lari".
"Kamu nggak bohong?" Kulihat pria itu kembali menggelengkan kepala. "Jadi ngapain kamu ada disini?" Tanyaku lagi.
"Aku lagi lihat proyek disini. Kamu gak percaya?" Kemudian dia menunjuk sebuah pembangun gedung yang lumayan jauh. "Bangunan itu, aku lagi mriksa proyek disana".
Awalnya aku masih takut untuk percaya. Namun setelah dipikir-pikir, dia bukan orang jahat, meskipun agak aneh kurasa. "Jadi, kamu cuma mau nyapa, kan?"
Anton nampak menelan ludah sesaat, napasnya masih sedikit tersengal sisa habis lari tadi belum hilang. "Tadinya iya. Tapi apa kamu gak mau cari minum? Capek banget lari kayak tadi."
Aku bergeming, mempertimbangkan mau langsung pulang atau mau cari minuman yang menyegarkan. "Kalo kamu tau penjual es kelapa__"
"Aku tau", Anton memotong dengan cepat. "Aku tau penjual es kelapa yang asli. Kamu mau bareng aku?"
Aku mempertimbangkan sejenak, masih memegangi lutut sambil menstabilkan napas. Anton nampak agak cemas menungguku menjawab, mungkin dia khawatir aku akan lari lagi. Di daerah pedesaan yang langkah akan penjual minuman, tawaran Anton terasa sangat menggoda.
"Oke", jawabku akhirnya, masih sedikit ada keraguan. "Tapi jangan coba-coba macam-macam, ya?"
Anton tersenyum lega. "Tenang, aku gak bakal macam-macam ", katanya.
Kemudian, kami berjalan beriringan. Aku tetap menjaga jarak, masih waspada meskipun sudah menyetujui. Anton tampak berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan, langkahnya perlahan dan santai.
"Kamu sering kesini?" Tanyaku, mencoba memecah keheningan.
"Kadang-kadang, biasanya aku datang bersama keluarga buat ke makam kakek kami. Tapi kebetulan sekarang lagi ada proyek disini ", jawab Anton, matanya sesekali melirik ke arahku. "Kamu sendiri ngapain disini? Jalan-jalan?"
Aku mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya jujur. "Iya, lagi butuh suasana baru aja".
Tak lama berjalan, kami tiba di suatu warung kecil dengan penjual es kelapa yang tampak ramah. Anton memesan dua gelas es kelapa muda, kemudian duduk di bangku kayu yang ada disana. Aku duduk di depannya, masih sedikit waspada.
"Ini," ucap Anton sambil menyerahkan saru gelas kepadaku.
"Ah, berapa?" Tanyaku.
Namun Anton justru menggeleng. "Nggak usah. Aku cukup kaya buat traktir kamu es kelapa", ujarnya, terdengar becanda karena berhasil membuatku tertawa.
Aku menyesap es kelapa itu perlahan, merasakan kesegarannya yang segera meredakan dahaga setelah berlari tadi. "Makasih".
Anton tersenyum. "Kamu gak usah takut sama aku, Riana. Apa tampang ku kayak kriminal?" Tanyanya sambil menyentuh wajahnya yang ... Lumayan tampan?
Aku terkekeh sebentar, kemudian menggeleng dan berujar, "maaf, aku tadi panik", aku akhirnya mengakui, merasa sedikit bersalah. "Kejadian di bus semalam, membuatku harus gampang takut".
Kedua mata Anton membulat. "Kamu dijahatin di bus?"
"Ah, bukan", aku segera menjelaskan. "Tapi ada laki-laki mesum. Tapi gakpapa, aku bisa balas, kok".
"Riana!" Kulihat, Anton menatap dengan sorot khawatir. "Kapan kamu pulang?"
"Mungkin setelah ini? Aku rada takut ambil bus malam lagi ", kataku sambil sedikit memiringkan kepala.
"Kalau gitu, mau pulang bareng? Kebetulan aku bawa mobil di __", Anton melirik ke arah lain. "Ah, aku ninggalin mobil di proyek. Tapi, aku bisa ambil dulu, gimana?"
Tentu saja, siapa yang akan menolak tumpangan gratis itu, mengingat aku yang masih pengangguran harus menghemat pengeluaran mulai sekarang. Namun meski begitu, aku harus tetap berpura-pura sungkan.
"Nggak usah. Nanti aku ngerepotin", ucapku menolak, padahal dalam hati aku langsung mengiyakan.
Beruntung, karena kemudian Anton berkata, "nggak ngerepotin, kamu tunggu disini sebentar, ya. Aku ambil mobil dulu".
"Tapi bukannya kamu masih sibuk?"
Anton menggeleng. "Nggak. Aku udah dari kemarin ada disini, jadi pekerjaanku hari ini sudah kelar ".
Setelah dibujuk seperti itu, siapa yang tidak akan setuju. Aku segera mengangguk. "Yasudah. Nanti aku ganti uang bensin, ya?" Aku berbasa-basi karena aku tahu Anton pasti menolak.
"Nggak usah. Lagian aku sekalian pulang".
Setelah berdebat kecil, Anton akhirnya bangkit dan bergegas berjalan mengambil mobil yang jaraknya lumayan jauh. Sedangkan aku menurut, duduk menunggu dia kembali sambil menghabiskan es kelapa yang masih ada banyak.
Kemudian kira-kira sepuluh menit, kulihat ada mobil hitam berjalan mendekat dan berhenti. Ketika kaca depan di buka, Anton yang duduk di belakang kemudi.
"Masuk Riana. Kamu aku antar ke penginapan buat ambil barang-barang".
Aku mengangguk setelahnya, pria ini benar-benar membawaku ke penginapan sebelum akhirnya kami menghabiskan jalan meninggalkan desa menuju kota.
Perjalanan yang lumayan panjang ini membawa kami pada obrolan ngalor-ngidul yang lumayan beragam. Mulai dari basa-basi sampai membahas soal pekerjaan. Mungkin karena kami seumuran, jadi obrolan kami terasa ringan dan tidak banyak kesenjangan.
"Jadi sekarang kamu lagi cari-cari kerja?" Tanya Anton setelah aku menceritakan posisi aku yang pengangguran.
Aku mengiyakan. "Iya. Tapi aku agak santai sambil istirahat kayak gini".
Anton terdiam sesaat. Tak lama dia menoleh sekilas dan bertanya, "Terus pacarmu gimana? Masak iya pacarmu ngebiarin cewek cakep kayak kamu jalan kesini sendirian" .
Sudut bibirku sedikit naik, entah kenapa pertanyaan tentang pacar sedikit menggelitik di telingaku. "Aku gak punya pacar".
"Aku nggak percaya", ucap Anton sedikit terkejut. "Nggak mungkin cewek cantik kayak kamu masih jomblo. Kamu pasti bohong, kan? Atau kamu lagi ada masalah sama pacar?"
Aku menggeleng. "Kamu baru saja bercerai" ucapku dengan nada pelan tapi penuh luka disetiap katanya. "Aku sudah cerai, jadi sekarang emang gak ada pacar".
Tiba-tiba Anton terdiam setelah matanya kulihat membulat sesaat. Apakah ucapan ku barusan membuatnya terkejut? Namun saat keheningan menyergap, aku bisa mendengar pria ini bergumam.
"Ternyata barang bekas". Dia mengarangnya dengan suara sangat pelan, aku hampir tidak mendengar dengan jelas. Ingin memastikan, tapi aku urungkan. Sebab mendadak tekanan atmosfer disana terasa berat.
Perjalanan yang tersisa satu jam itu, kini terasa lama sakali. Anton tak lagi banyak bicara seperti sebelumnya. Sedangkan aku memilih basa-basi sedikit, sebelum ikut diam pura-pura menikmati pemandangan sawah yang perlahan berubah menjadi gedung dan bangunan.
Ah, sepertinya salahku karena mengatakan cerai dan membuat suasana diantara kami menjadi canggung.
Beruntungnya, kami akhirnya tiba di depan Grand place setelah menghirup udara yang lumayan menyesakkan selama sisa perjalanan tadi. Aku turun dari mobil setelah mengucapkan terimakasih.
Namun tiba-tiba....
"Bu Riana!" Ternyata Kenzi sedang ada di luar. "Bu Riana sudah pulang? Kenapa bisa bareng sama, Kak Anton?" Tanyanya sambil sesekali melirik ke arah mobil yang kacanya masih terbuka.
"Ah, kebetulan kami bertemu disana", jawabku jujur.
"Oh, ya?" Kenzi nampak tidak percaya. "Tapi kenapa __"
"Kenzi".
Kami menoleh bersama saat Anton memanggil nama Kenzi dengan suara tegas.
"Kesini sebentar", sambung pria di dalam mobil.
Awalnya, kulihat Kenzi enggan. Namun setelah dipaksa, akhirnya dia berjalan mendekati mobil dan kakaknya.
Aku berdiri sebentar. Sebelum akhirnya, berjalan masuk kedalam, meninggalkan dua bersaudara itu dengan perasaan tidak enak. Rasanya aku telah melakukan kesalahan yang besar.