NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28

Di sebuah rumah besar di kota kelahiran Arif, sore itu suasana terasa hangat aroma teh melati memenuhi ruang keluarga.

Ibu Arif duduk di sofa bersama Ayah Arif, keduanya menikmati masa pensiun dengan damai.

Tiba-tiba, ponsel Ibu Arif bergetar.

Sebuah pesan masuk dari Bu Rina.

Ibu Arif membuka pesan itu, membaca cepat, lalu alisnya perlahan berkerut.

"Kak, dengar kabar dari temanku. Katanya Arif sudah menikah lagi diam-diam. Tidak memberitahu siapa pun.

Katanya dengan perempuan biasa, bukan dari keluarga terhormat.

Apa benar, Bu?"

Ibu Arif menegakkan tubuh, matanya melebar.

"Pak..." panggilnya dengan suara bergetar. "Lihat ini."

Ayah Arif mendekat, membaca pesan itu.

Sejenak, ruangan itu diselimuti keheningan yang mencekam.

"Ini... tidak mungkin," kata Ayah Arif, suaranya berat.

"Arif tidak mungkin menikah tanpa memberitahu kita!" seru Ibu Arif, emosinya mulai naik.

"Apa dia begitu mudah melupakan istri pertamanya? Melupakan Rani begitu saja?"

Ayah Arif menghela napas panjang.

Kekecewaan tampak jelas di wajahnya.

"Dia bahkan tidak meminta restu kita..." katanya lirih.

Ibu Arif bangkit dari sofa, berjalan mondar-mandir, hatinya bergolak antara marah dan sedih.

"Bagaimana bisa dia menghina keluarga kita seperti ini?" serunya.

"Menikah dengan perempuan biasa? Tanpa status, tanpa latar belakang? Apa dia sudah tidak menghargai darah yang mengalir di tubuhnya?"

Ayah Arif mencoba menenangkan, tapi hatinya sendiri terasa disayat.

Anak yang selama ini mereka banggakan, diam-diam membuat keputusan besar... tanpa melibatkan mereka.

"Pak," kata Ibu Arif, matanya menyala penuh tekad.

"Kita harus ke sana. Kita harus bicara langsung dengan Arif."

Ayah Arif mengangguk perlahan.

"Besok kita atur keberangkatan," katanya.

"Kita tidak bisa diam saja."

Di antara kemarahan dan kekecewaan itu, mereka tidak tahu —

ada tangan licik yang mengatur semua ini dari balik bayangan.

Dan badai besar... sedang menunggu di depan pintu rumah Arif dan Amira.

*******************************

Di rumah Arif , sore itu berjalan seperti biasa.

Arif baru pulang kerja, dan begitu membuka pintu, ia langsung disambut suara ceria Maira yang berlari kecil ke arahnya.

"Papa!" teriak Maira sambil memeluk kakinya.

Arif tertawa kecil, mengangkat Maira ke gendongannya.

"Papa kangen sama Maira," ucap Arif sambil mencium pipi mungil putrinya.

Amira muncul dari dapur, mengenakan apron, tangannya masih memegang spatula.

Aroma sup ayam hangat memenuhi udara.

"Kamu pulang juga, Mas," katanya sambil tersenyum manis.

Arif menatap istrinya dengan rasa sayang yang dalam.

Perempuan sederhana ini, yang kini tengah mengandung anak mereka, membuat rumah kecil mereka terasa penuh kehangatan.

Ia mendekat, menaruh Maira di sofa, lalu berjalan ke arah Amira dan mencium keningnya lembut.

"Aku pulang," bisiknya.

Amira tersenyum, pipinya bersemu merah.

"Supnya hampir matang, tunggu sebentar ya."

Arif duduk di sofa, memangku Maira yang merengek ingin bercerita tentang harinya di sekolah.

Amira kembali ke dapur, hatinya hangat melihat pemandangan itu — Arif dan Maira, dua orang yang kini menjadi pusat dunianya.

Malam itu, mereka makan malam bersama dengan tawa sederhana.

Maira bercerita tentang tugas sekolahnya, tentang teman-temannya, bahkan tentang Livia yang katanya sempat mengajaknya mampir ke taman.

Amira mendengarkan dengan sabar, meski dalam hatinya ada sedikit rasa tidak nyaman saat mendengar nama Livia.

Arif juga sempat menanggapi, tapi tidak terlalu memikirkan.

Baginya, Livia hanyalah teman lama, tidak lebih.

Setelah makan, mereka duduk di balkon, seperti kebiasaan baru mereka.

Amira menyandarkan kepala di bahu Arif, menikmati belaian angin malam.

"Aku bahagia, Mas," bisik Amira.

Arif mengecup ubun-ubunnya pelan.

"Aku juga, Mira."

Mereka tidak tahu... di tempat lain, badai besar sedang berkumpul, siap menerjang kebahagiaan kecil yang baru saja mulai mereka bangun.

Dan saat pagi menjelang... segalanya mungkin tidak akan sama lagi.

Malam itu, selepas makan dan berbincang ringan di balkon, Arif dan Amira memutuskan masuk ke kamar.

Maira sudah lebih dulu tidur, meringkuk manis di kamarnya setelah seharian kelelahan.

Di kamar mereka, lampu temaram menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan.

Amira duduk di tepi ranjang sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit.

Tangannya bergerak lembut, seakan berbicara dalam diam dengan bayi kecil di dalam sana.

Arif yang baru selesai membersihkan diri keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus longgar dan celana santai.

Ia tersenyum melihat pemandangan itu — Amira, dengan wajah tenangnya, merawat kehidupan baru yang mereka ciptakan bersama.

Ia mendekat, duduk di samping Amira, lalu meletakkan telapak tangannya di atas tangan Amira.

"Sudah terasa gerakannya?" tanyanya pelan.

Amira menggeleng sambil tersenyum manis.

"Belum, Mas. Kata bidan, mungkin beberapa minggu lagi baru terasa jelas."

Arif mengangguk, matanya menatap perut Amira dengan penuh kekaguman.

Perasaan yang sulit dijelaskan mengalir di dadanya —

rasa cinta, rasa takut, rasa haru — semuanya bercampur aduk.

"Kamu hebat, Mira," bisik Arif.

"Kamu kuat. Terima kasih... sudah bertahan bersamaku."

Amira tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Aku juga berterima kasih, Mas... karena mau menerima aku."

Mereka saling berpandangan, dan dalam tatapan itu, ada janji diam-diam: bahwa mereka akan saling menjaga, apapun yang terjadi.

Arif perlahan menarik Amira ke dalam pelukannya, memeluknya dengan hati-hati, tidak ingin menyakiti bayi kecil mereka.

Malam itu, mereka tidur dalam kehangatan satu sama lain —

tanpa tahu, bahwa esok hari... dunia mereka perlahan akan berguncang.

Di sudut pikirannya, Arif sempat merasakan kegelisahan kecil.

Seperti firasat samar yang berbisik bahwa sesuatu sedang mendekat.

Tapi ia mengabaikannya, memilih menikmati ketenangan malam itu bersama wanita yang kini menjadi seluruh dunianya.

Malam semakin larut.

Suara jangkrik dari halaman terdengar sayup-sayup, bercampur dengan hembusan angin malam yang menyelinap masuk lewat celah jendela.

Di ranjang, Amira sudah terlelap dalam pelukan Arif, napasnya teratur dan damai.

Tapi Arif tetap terjaga.

Matanya menatap langit-langit kamar yang temaram.

Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa berat.

Entah kenapa, malam ini... ketenangan yang biasanya ia rasakan berubah menjadi keresahan yang sulit ia jelaskan.

Arif menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Kenapa aku merasa seperti ini?" batinnya bertanya.

"Semua baik-baik saja... kan?"

Ia mengencangkan pelukannya sedikit, seolah berusaha melindungi Amira dan bayi mereka dari sesuatu yang belum diketahui.

Pikirannya melayang ke banyak hal —

Tentang Amira yang tengah mengandung, tentang Maira yang mulai tumbuh besar, tentang janji-janjinya kepada keluarganya yang belum ia penuhi.

Dan sesekali, bayangan tentang orang tuanya muncul.

Rasa bersalah mengusik hatinya.

"Aku belum sempat bicara... belum memperkenalkan Amira..."

"Bagaimana kalau mereka marah? Bagaimana kalau mereka tidak mau menerima Amira?"

Ia mengepalkan tangannya di balik selimut.

Arif tahu, cepat atau lambat ia harus menghadapi semuanya.

Ia harus berani berdiri tegak, apapun risikonya.

Tapi... kenapa malam ini rasa takut itu terasa begitu nyata?

Begitu dekat?

Seolah ada sesuatu... yang sedang bergerak di luar kendalinya.

Arif menutup matanya rapat-rapat, memaksa dirinya untuk tidur.

Ia tidak tahu, bahwa di luar sana, roda nasib sudah mulai berputar.

Dan tidak lama lagi... ia harus memilih: bertahan melindungi keluarganya, atau kehilangan segalanya yang baru saja ia genggam.

1
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!