Kinar menerima tawaran menikah dari sang dokter untuk melunasi hutangnya pada pihak Bank. Sedangkan, dr. Raditya Putra Al-Ghifari, Sp. B menikahinya secara siri hanya untuk mendapatkan keturunan.
Awalnya Kinar menjalaninya sesuai tujuan mereka, tapi lambat laun ia mulai merasa aneh dengan kedekatan mereka selama masa pernikahan. Belum lagi kelahiran anak yang ia kandung, membuatnya tak ingin pergi dari sisi sang dokter.
Kemanakah kisah Kinar akan bermuara?
Ikuti Kisahnya di sini!
follow ig author @amii.ras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesalahpahaman
Hari ini tepat dua hari setelah keberangkatan Dokter Radit ke Bandung. Kebetulan hari ini sabtu, Kinar dapat jatah liburnya. Melihat stok susu hamilnya sudah habis, dan isi kulkas yang mulai kosong, Kinar memutuskan untuk berbelanja di supermarket biasanya.
Ia mengenakan celana kulot, dan baju kaos yang agak longgar. Perutnya yang membuncit, sudah tampak begitu nyata jika ia menggunakan kaos berkerah seperti saat ini.
Dengan taksi, Kinar sampai di pusat perbelanjaan. Pertama yang ia tuju ialah deretan susu ibu hamil.
Kinar sedang memilah dan fokus membaca deskripsi produk susu di tangannya ketika seseorajg menepuk pundaknya. Suster Kinar pun menoleh, dan netranya langsung tampak menunjukkan kekagetan.
"Kamu hamil, Suster Kinar?" tanya orang itu.
"I--Ibu Sonia?" ucap Kinar tergagap. Di hadapannya sosok wanita baya menatapnya dengan netra menajam, antara wajahnya dan kotak susu di tangannya, serta ke arah perutnya yang begitu tampak buncitannya.
"Bukannya kamu masih gadis? Ba--bagaimana bisa kamu hamil?" ucap Ibu Sonia menatap tak percaya.
"Ma--maaf Ibu saya buru-buru!"
Kinar hendak berlalu setelah menaruh susu kotak yang tadi ia pegang kembali ke rak, tapi lengannya segera dicekal oleh wanita baya di depannya itu.
"Kamu menyerahkan diri pada kekasihmu?"
Wanita baya itu memicingkan mata menilai.
"Astagfirullah! Jangan asal menuduh, Bu. Saya tidak segampangan itu!" ujar Kinar menggeleng dengan netra berkaca-kaca.
"Lalau kamu hamil anak siapa?" tanya Ibu Sonia menuntut.
"Sa--saya hamil--"
"Ah, sudahlah gak penting juga buat saya. Lagian Suster Kinar sudah dewasa, dan tahu mana yang benar dan salah. Saya hanya sedikit merasa kecewa karena di pandangan saya Suster adalah wanita baik-baik yang secara pribadi saya nilai," ucap Ibu Sonia menggeleng kecewa.
"Tapi, Bu--"
"Sudahlah! Maaf juga jika saya membuat Suster Kinar tak nyaman dengan semua pertanyaan saya tadi," potong Ibu Sonia lagi menghentikan ucapan Kinar.
"Saya duluan, Suster! Semoga Suster dan kandungan selalu sehat!"
Setelah mengucapakan itu, Ibu Sonia berlalu pergi. Meninggalkan Kinar yang mencebikkan wajah kesal, antara ingin menangis dan mengumpat.
"Kesel banget, Ya Allah. Gak anak, gak Ibu kenapa sih suka banget nyimpulin sendiri tanpa mau dengar orang ngomong dulu. Jadi pengen makan bakso kan jadinya," ucap Kinar merengut dengan bibir mencebik.
Senin pagi adalah hari sibuknya para manusia. Hari memulai kerja dan sekolah bagi para siswa. Kinar masih bisa menyembunyikan kehamilannya di balik baju kerjanya yang dua minggu lalu ia jahit lagi dengan ukuran agak besaran.
"Suster Kinar!"
Kinar baru saja keluar dari ruang vip setelah mengecek keperluan pasien. Menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya itu.
"Eh, iya. Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Kinar mengangguk singkat.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Dokter Ardi menilik penampilan Kinar.
Kinar mengangguk. Dokter Ardi pun menuntun jalan dengan berjalan lebih dulu diikuti Kinar di belakangnya. Mereka memilih taman rumah sakit yang asri untuk berbicara.
Keduanya duduk di salah satu bangku kayu, dengan memisah jarak beberapa centi meter.
"Anda sudah menikah kan, Suster Kinar?"
Pertanyaan itu kontan saja membuat Kinar menoleh terkejut pada Dokter lelaki di sampingnya. Bagaimana bisa dokter ini tahu?
"Ba--bagaimana bisa Anda menyimpulkan seperti itu, Dokter Ardi?" tanya Kinar tergagap.
Dokter Ardi tersenyum jumawa, "dan Anda juga sedang mengandung, kan?" tanya lelaki itu dengan netra mengarah pada perut Kinar yang jika diperhatikan di jarak dekat akan terlihat bukitan di perut itu.
Kinar kembali terkejut akan ucapan lelaki di sampingnya itu. Kinar memiringkan tubuh, sehingga bisa berbicara dengan bersitatap dengan Dokter di depannya. Ia menoleh kanan kiri takut ada yang mendengar percakapan mereka.
"Bagaimana bisa Dokter tahu?" tanya Kinar serius, mulai mengurangi paniknya. Ia memicingkan netranya menatap penuh selidik pada lelaki itu.
"Saya tidak sengaja melihat Suster dan Dokter Radit ketika di supermarket sebulan yang lalu," jawab Dokter Ardi.
Kinar mengendurkan bahunya yang menegang. Menatap Dokter Ardi yang wajahnya serius.
"Saya minta tolong agar Dokter tidak membocorkan semua yang Dokter tahu kepada siapapun," ujar Kinar menangkupkan tangan di depan dada.
"Saya akan merahasiakannya, tapi dengan satu syarat...."
"Syarat?"
"Jika Dokter Radit melepaskan Suster Kinar... Maka jangan pernah Suster menolak saya di saat itu nanti!"
Kinar membeku. Setelahnya Dokter Ardi berlalu meninggalkan Kinar yang tercenung. Oh apa lagi ini? Dengan satu Dokter itu saja dia bingung, lah ini kenapa Dokter yang satu ini mau membuatnya tambah pusing saja? Kinar boleh gak sih menghilang di pintu ajaibnya doraemon? Kalau boleh dia mau menghilang sejenak saja deh. Melupakan sejenak semua hal yang membebani pikirannya yang semerawut ini.
...Bersambung.......
setidaknya tau diri, ga usah sok jadi korban menderita akan keputusan sendiri