Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Cheng Xiao telah pindah ke Paviliun Awan selama seminggu, dan selama itu pula Putra Mahkota Wang Yuwen terbaring sakit. Keinginannya untuk menceraikan Wang Yuwen yang tiba-tiba itu mengejutkan sang putra mahkota.
"Lian'er, apakah ada kabar dari istana Kaisar?" tanya Cheng Xiao, matanya tertuju pada putranya yang tertidur lelap di ranjang berukir naga. Aroma lavender samar-samar memenuhi ruangan, menenangkan suasana hati yang gundah.
Lian'er, pelayan setia yang selalu berada di sisinya, menggeleng pelan. "Belum ada, Nona. Sepertinya Kaisar tidak akan mengeluarkan dekrit perceraian itu." jawabnya dengan nada prihatin.
Cheng Xiao menghela napas panjang, bahunya merosot lesu. "Lalu, bagaimana dengan Putra Mahkota? Apakah dia sudah menandatangani surat cerai yang aku berikan?" tanyanya lagi, suaranya nyaris berbisik.
Lian'er menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Yang Mulia... beliau merobek surat cerai dari Anda, Nona." jawab Lian'er, takut menatap mata Cheng Xiao.
Cheng Xiao merasa lelah yang teramat sangat. Ia ingin pulang, mengadu pada ayahnya, menangis di pelukannya, dan mendengar suara ayahnya yang selalu menenangkan dan menguatkannya. Di sini, di istana yang megah namun dingin ini, ia tidak bisa menangis, tidak ada tempat untuk menenangkan diri. Semakin ia bersembunyi, semakin ia teringat akan harga dirinya yang dipermainkan oleh putra mahkota.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar, membuat Cheng Xiao tersentak. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Lian'er, bawa Tuan Muda pergi dari sini." titahnya pada Lian'er, menyuruhnya membawa putranya menjauh.
Wang Yuwen, dengan mata merah dan rambut yang sedikit berantakan, ingin meraih putranya yang digendong oleh pelayan istrinya. Namun, Cheng Xiao tiba-tiba bersuara, menghentikan langkahnya. "Apakah kau sudah menandatangani surat cerai itu, Yang Mulia?"
Wang Yuwen langsung menoleh pada Cheng Xiao, yang sama sekali tidak ingin menatapnya. Wanita itu terlihat tenang, seolah tidak terjadi apa-apa pada hubungan mereka, dan dengan santainya menyesap teh dari cangkir porselen putih.
Wang Yuwen menghampiri Cheng Xiao dengan langkah gontai. Wajah pria itu pucat pasi, matanya sayu. "Xiaoxiao... apakah kau tidak lelah, mengabaikanku terus menerus seperti ini?" tanya pria itu dengan suara lemah, nyaris putus asa.
Sebelah sudut bibir Cheng Xiao tertarik membentuk seringai sinis. "Bukankah kau tidak pernah peduli, apakah aku mengabaikanmu atau tidak di masa lalu?" tanya wanita itu, akhirnya menatap wajah Wang Yuwen yang terlihat begitu berantakan. Ada sedikit rasa sakit yang menusuk hatinya melihat kondisi pria itu.
"Yang Mulia, apakah kau tidak lelah, terus menerus membohongiku?" tanya Cheng Xiao, suaranya dingin dan menusuk.
"Aku sudah menjelaskannya padamu, Xiaoxiao. Aku membawa Zhou Mei kembali bukan tanpa alasan. Dia telah menyelamatkanku dari bahaya saat berada di wilayah bencana, dan aku membawanya untuk membalas budi," ujar Wang Yuwen, suaranya meninggi, berusaha meyakinkan Cheng Xiao.
Cheng Xiao menggelengkan kepalanya perlahan, rambut hitamnya yang tergerai indah bergerak lembut. "Bukankah aku sudah mengatakan, aku sudah tidak mencintaimu lagi? Aku tidak peduli, sebanyak apa pun wanita yang kau bawa pulang ke istana ini. Yang aku inginkan hanyalah perceraian. Kebebasan," jawab Cheng Xiao, suaranya dingin dan datar, tanpa emosi.
Kedua tangan putra mahkota terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Lalu apa alasanmu ingin bercerai denganku! Bahkan aku tidak boleh melihat putraku sendiri! Apa salahku?" teriak Wang Yuwen, frustrasi. Suaranya menggema di dalam ruangan yang hening.
Tangan Cheng Xiao menggenggam erat gelas porselen putih yang ada di tangannya, seolah mencari kekuatan. "Yang Mulia, mau seperti apa lagi kau menghukumku? Apakah tidak puas dengan kenyataan bahwa kau tidak pernah bisa memberiku cintamu? Apakah kau tidak puas sampai melihatku benar-benar hancur berkeping-keping?" tanya Cheng Xiao, dengan mata yang sudah memerah menahan air mata. Setetes air mata lolos dari sudut matanya, membasahi pipinya yang halus.
"Aku merendahkan diriku, mengabaikan harga diri dan kebanggaanku demi bisa menikah denganmu, dan apa yang kau lakukan? Kau menghancurkan harga diriku, menginjak-injak kehormatanku sebagai seorang wanita. Kau..." Cheng Xiao tidak bisa melanjutkan kata-katanya, dadanya terasa terlalu sesak, seperti ada batu besar yang menghimpitnya.
Wang Yuwen masih tidak mengerti arah pembicaraan Cheng Xiao. Pria itu terdiam, menatap Cheng Xiao dengan bingung, berusaha mencerna setiap perkataan wanita itu.
"Ayah dari putraku, bukan kau, melainkan Jenderal Tang? Benar, Yang Mulia?" ujar Cheng Xiao pada akhirnya, suaranya bergetar hebat, menahan tangis yang siap meledak.
Mata Wang Yuwen membulat sempurna, rahangnya terkatup rapat, namun tak ada suara yang keluar. Wajahnya yang pucat pasi kini semakin kehilangan warna, seperti kanvas yang diputihkan paksa. Pria itu terhuyung mundur beberapa langkah, tubuhnya limbung seolah baru saja menerima pukulan telak yang meremukkan tulang rusuknya. Gelas porselen di tangan Cheng Xiao bergetar hebat, teh pahit di dalamnya tumpah ruah, membasahi tangannya yang gemetar, namun wanita itu tak merasakan apa pun selain nyeri di hatinya.
Cheng Xiao menangis terisak, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang tirus. "Kau... menghancurkan hidupku. Menginjak-injak harga diriku hingga tak bersisa," lirihnya, suaranya tercekat oleh emosi.
Wang Yuwen hanya bisa mematung di tempatnya, tatapannya kosong namun sarat akan penyesalan yang mendalam. Bagaimana mungkin rahasia kelam yang selama ini ia simpan rapat-rapat, ia kubur dalam-dalam di dasar hatinya, bisa terbongkar dan menghantamnya balik sekeras ini?
"Biarkan aku dan putraku pergi dari sini," ujar Cheng Xiao, suaranya bergetar namun penuh ketegasan. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. "Pada awalnya, memang salahku yang memaksamu untuk menikah denganku. Aku tidak akan menyalahkanmu atas apa pun, dan aku akan menanggung semua rasa penyesalan ini seorang diri." Cheng Xiao enggan menoleh pada Wang Yuwen yang masih membisu, lidahnya kelu, tak mampu merangkai kata. Ia tak ingin melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya lebih lama lagi.
Tanpa menunggu jawaban, Cheng Xiao bangkit dan melangkah pergi. Setiap langkahnya terasa berat, seolah memikul beban seluruh dunia di pundaknya. Ia berjalan melewati pintu, meninggalkan Wang Yuwen yang masih terdiam membisu di tengah ruangan.
Saat Cheng Xiao mencapai ambang pintu, ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh, ia berbisik lirih, "Semoga kita tidak pernah bertemu lagi, Yang Mulia."
Di kejauhan, Wang Yuwen masih berdiri mematung di tengah ruangan. Ia menatap kepergian Cheng Xiao dengan tatapan kosong. Ia tahu, ia telah kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan wanita yang seharusnya ia cintai, putranya yang bukan darah dagingnya, dan kehormatannya sebagai seorang putra mahkota.
Penyesalan mendalam menghantuinya. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menebus kesalahannya. Ia telah menghancurkan hidup Cheng Xiao, dan ia harus menerima konsekuensinya.
Wang Yuwen terduduk lemas di lantai, air mata mulai membasahi pipinya. Ia menangis, bukan karena kehilangan kekuasaan atau kehormatan, melainkan karena kehilangan cinta. Ia telah kehilangan cinta Cheng Xiao, dan ia tahu, ia tidak akan pernah bisa mendapatkannya kembali.
. . .
"Yang Mulia, hamba memutuskan mundur dari jabatan Adipati, dan ingin membawa pulang putri hamba."
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪