Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Pelarian
Menara Sunyi tidak bernama demikian tanpa alasan.
Di dalam sel batu sempit yang lembap di puncak menara itu, suara dunia luar seakan mati. Tidak ada suara angin, tidak ada suara burung, bahkan suara napas Elara sendiri terdengar teredam, seolah dinding-dinding batu ini menyerap setiap getaran kehidupan.
Elara duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Pergelangan tangannya lecet karena borgol besi hitam—Anti-Mage Cuffs—yang memblokir aliran sihirnya. Tanpa sihir, dia merasa kedinginan sampai ke tulang. Gaun pestanya yang indah kini robek dan kotor oleh debu penjara.
"Kaelen," bisiknya pada kegelapan.
Dia tidak takut mati. Dia takut pada apa yang akan dilakukan Vane dan Baron Thorne pada Kaelen sekarang setelah Elara tidak ada di sana untuk menjadi "rem"-nya.
Klik.
Suara kunci diputar memecah keheningan. Sangat pelan, sangat hati-hati.
Elara mendongak. Pintu sel besi yang berat berayun terbuka tanpa derit sedikit pun—engselnya baru saja diminyaki.
Dua sosok berdiri di ambang pintu, tersembunyi dalam bayangan jubah berkerudung.
Sosok pertama melangkah masuk. Vorian. Di tangannya ada kunci master penjara yang berlumuran darah segar—tanda bahwa penjaga di depan tidak sekadar tidur.
"Nona Elara," bisik Vorian. "Kita harus bergerak cepat."
Sosok kedua melangkah masuk dengan terpincang-pincang. Dia bersandar berat pada dinding untuk menopang tubuhnya. Saat tudung kepalanya tersingkap, Elara menahan napas.
Kaelen terlihat mengerikan.
Wajahnya pucat seperti mayat. Bibirnya membiru. Matanya cekung dengan lingkaran hitam pekat di bawahnya. Efek crash dari ramuan Numbskull dan pertarungan melawan Behemoth telah menguras habis vitalitasnya. Namun, mata itu... mata itu masih menyala dengan tekad yang menakutkan.
"Kaelen!" Elara bangkit dan berlari ke arahnya, mengabaikan rantai di kakinya yang berdenting.
Kaelen menangkapnya sebelum Elara menabraknya. Pelukannya lemah, tapi protektif.
"Maafkan aku," suara Kaelen serak, nyaris tak terdengar. "Aku membiarkan mereka membawamu."
"Itu bukan salahmu," Elara menggeleng cepat, air mata merebak di matanya. Dia menyentuh pipi Kaelen yang dingin. "Kau seharusnya di tempat tidur! Kau tidak bisa berjalan dalam kondisi seperti ini!"
"Aku bisa merangkak ke neraka dan kembali jika itu artinya mengeluarkanmu dari sini," jawab Kaelen. Dia menoleh pada Vorian. "Lepaskan borgolnya."
Vorian maju dan membuka borgol di tangan dan kaki Elara dengan cekatan.
"Rute selokan bawah tanah sudah diamankan, Yang Mulia," lapor Vorian. "Tapi patroli Baron Thorne akan menyadari penjaga yang hilang dalam sepuluh menit."
"Ayo," Kaelen menggenggam tangan Elara.
Mereka tidak berlari—Kaelen tidak mampu berlari. Mereka bergerak cepat menyusuri lorong-lorong batu yang berliku, menuruni tangga spiral yang seakan tak berujung, menuju perut bumi di bawah istana.
Elara menopang tubuh Kaelen di sisi kiri, sementara Vorian memimpin jalan dengan pedang terhunus di depan. Setiap kali Kaelen tersandung, jantung Elara seakan berhenti, tapi Raja itu selalu memaksakan dirinya tegak kembali.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu besi tua yang berkarat di ujung terowongan pembuangan air.
Vorian mendobraknya terbuka.
Udara malam yang dingin dan aroma hutan pinus menerpa wajah mereka. Mereka berada di luar tembok istana, di tepi Hutan Terlarang yang mengelilingi Shadowfall.
Di sana, seekor kuda sudah menunggu. Bukan kuda perang, tapi kuda cokelat yang tangguh dengan tas pelana penuh perbekalan.
Kaelen melepaskan pegangannya dari Elara. Dia menepuk leher kuda itu pelan, lalu berbalik menghadap Elara.
"Naiklah," perintahnya.
Elara menatap kuda itu, lalu menatap Kaelen. Kebingungan mulai merayap di wajahnya.
"Kita hanya membawa satu kuda?" tanya Elara. "Vorian, di mana kudamu? Di mana kuda Kaelen?"
Vorian tidak menjawab. Dia memalingkan wajahnya, menatap ke arah hutan yang gelap.
Kaelen melangkah mendekat, memegang bahu Elara dengan kedua tangannya.
"Elara, dengarkan aku baik-baik," katanya, menatap lurus ke dalam mata gadis itu. "Hanya ada satu kuda. Dan itu untukmu."
Dunia Elara berhenti berputar.
"Apa?" bisiknya. "Tidak. Tidak! Kita lari bersama! Itu rencananya!"
"Aku tidak bisa lari," kata Kaelen lembut tapi tegas. "Lihat aku. Aku nyaris tidak bisa berdiri. Jika aku ikut, aku hanya akan memperlambatmu. Kita akan tertangkap dalam satu jam."
"Kalau begitu kita sembunyi!" Elara mencengkeram jubah Kaelen histeris. "Kita cari gua! Aku akan merawatmu sampai sembuh, lalu kita pergi!"
"Tidak ada tempat sembunyi di Shadowfall selama Vane dan Thorne memegang kendali anjing pelacak," bantah Kaelen. "Satu-satunya cara agar kau selamat adalah jika kau keluar dari perbatasan kerajaan malam ini juga."
"Aku tidak akan pergi tanpamu!" Elara menggeleng keras, air mata membasahi pipinya. "Aku tidak peduli jika kita tertangkap! Aku lebih baik mati bersamamu daripada hidup sendirian!"
"JANGAN BODOH!"
Bentakan Kaelen menggema di pinggir hutan, membuat kuda itu meringkik kaget.
Elara tersentak mundur.
Kaelen menarik napas panjang, wajahnya berkerut menahan sakit fisik dan emosional. Dia merendahkan suaranya kembali, kali ini terdengar pecah.
"Tolong, Elara... jangan buat ini semakin sulit bagiku."
Kaelen meraih tangan Elara, meletakkannya di dadanya sendiri.
"Selama kau ada di sini... di dalam jangkauan mereka... kau adalah kelemahanku. Vane akan menggunakanmu untuk menghancurkanku. Dia akan menyiksamu untuk memaksaku menyerahkan takhta. Dia akan membunuhmu untuk membuatku gila."
Kaelen menangkup wajah Elara, ibu jarinya menghapus air mata gadis itu.
"Jika kau pergi... jika aku tahu kau aman, jauh dari sini... maka aku bisa bertarung tanpa rasa takut. Aku bisa menjadi monster yang mereka butuhkan untuk merebut kembali kerajaanku. Tapi aku tidak bisa melakukannya jika aku harus melindungimu setiap detik."
Elara terisak. Logika Kaelen benar. Sangat benar dan sangat menyakitkan. Cintanya adalah beban bagi Kaelen saat ini.
"Ke mana aku harus pergi?" tanya Elara dengan suara kecil.
"Ke Timur. Ke Hutan Silverwood. Cari Dewan Penyihir Putih," Kaelen merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana perak berlambang bunga mawar berduri—lambang pribadi ibunya. "Tunjukkan ini pada Tetua Agung di sana. Mereka berhutang budi pada ibuku. Mereka akan melindungimu."
"Dan kau?" tanya Elara. "Apa yang akan kau lakukan?"
Kaelen tersenyum tipis—senyum yang penuh dengan bahaya dan janji pembalasan dendam.
"Aku akan kembali ke dalam. Aku akan mengingatkan Baron Thorne dan pamanku mengapa mereka seharusnya membunuhku saat aku masih bayi."
Kaelen mengangkat tubuh Elara—menggunakan sisa tenaga terakhirnya—dan mendudukkannya di atas pelana kuda.
Dia menyerahkan tali kekang pada Elara.
"Pergilah, Elara Vance. Hiduplah. Tumbuhkan bungamu. Jadilah bahagia."
"Kau berjanji akan menyusulku?" tuntut Elara, menunduk menatap Kaelen.
Kaelen terdiam sejenak. Dia tidak mau berbohong. Peluangnya untuk selamat dari ini sangat tipis.
"Aku berjanji," kata Kaelen akhirnya, sebuah kebohongan putih yang indah. "Aku akan menemukanmu. Entah di kehidupan ini, atau di taman abadi selanjutnya."
Dia menarik tengkuk Elara turun dan menciumnya.
Ciuman perpisahan.
Rasanya asin karena air mata, dingin karena angin malam, dan pahit karena rasa kehilangan. Itu adalah ciuman yang mengatakan 'aku mencintaimu' dan 'selamat tinggal' dalam satu napas.
Kaelen melepaskannya. Dia menepuk pinggul kuda itu keras.
"Hah!"
Kuda itu melonjak maju, memacu langkahnya menembus kegelapan hutan.
"Kaelen!" teriak Elara, menoleh ke belakang.
Dia melihat sosok Kaelen berdiri di mulut terowongan, didampingi Vorian. Sosok itu semakin kecil, semakin gelap, hingga akhirnya tertelan oleh bayangan malam dan pepohonan.
Elara memacu kudanya sambil menangis tersedu-sedu. Dia memegang lencana perak itu di dadanya begitu erat hingga ujungnya melukai kulitnya.
Dia tidak berhenti. Dia memacu kudanya menjauh dari satu-satunya pria yang pernah dia cintai, menjauh dari neraka yang dia sebut rumah.
Di mulut terowongan, Kaelen mengawasi sampai suara tapak kuda Elara tak terdengar lagi.
Begitu Elara benar-benar pergi, kekuatan yang menopang Kaelen runtuh.
Dia ambruk ke tanah, muntah darah. Tubuhnya mengejang hebat.
"Yang Mulia!" Vorian berlutut di sampingnya.
"Dia... aman?" tanya Kaelen, suaranya berdeguk.
"Dia aman. Kuda itu yang tercepat di kandang," jawab Vorian.
Kaelen mengangguk. Dia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Mata merah di sisi kanannya mulai menyala kembali, kali ini lebih terang, lebih panas. Rasa sakit di tubuhnya berubah menjadi bahan bakar.
"Bagus," desis Kaelen. Dia mencengkeram lengan Vorian untuk membantunya berdiri.
"Sekarang... ayo kita buat Baron Thorne menyesal telah dilahirkan."
Kaelen berbalik menatap kastil Shadowfall yang menjulang di atas mereka. Menara-menaranya terlihat seperti gigi monster yang siap menggigit.
Raja Duri kembali ke sarangnya. Sendirian. Terluka. Dan sangat, sangat marah.
BERSAMBUNG.....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️