"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARMA
"Dokter, muda, tampan, uluh uluh. Beruntungnya yang jadi istri." Mbok Darsih terus mengoceh di sebelahku. Bahkan, hingga cup kopi kubuang, ia tak berhenti mengagumi dokter ingusan itu. Aku mencebikkan bibir setiap kali Mbok Darsih terus memujinya.
"Nya, enak kali ya jadi istri dokter. Apa lagi dokternya kayak yang tadi," lanjutannya lalu terkikik, membuat telingaku gatal. Aku pun berdecak kesal.
"Kaos palingan tu, bukan dokter. Inget umur, Mbok. Lagian istri dokter kok enak, yang ada enek. Apa lagi dokternya pelit seperti itu. Kopi aja dibikin ribut. Nggak berkelas, ribut gara-gara kopi. Kalau bawa dompet juga aku beli sepuluh. Barang kopi aja. Masih kuat beli," balasku pada Mbok Darsih, entah mengapa setiap teringat kejadian tadi membuat hatiku panas.
"Lah, kok, jadi Nyonya yang marah?"
"Ah, Mbok sudah lah, jangan dibahas, dia itu bikin malu, siapa coba yang nggak kalau digituin."
Tak mau membahas hal yang tak menyenangkan, aku pun segera mengajak Mbok Darsih dan kedua pengawal tanpa nyali ini kembali. Memastikan bayi Viona sudah lahir atau belum, sekalian mau pamit pulang, sebab, aku sudah bosan berada diantara manusia-manusia bermulut pedas ini. Batin dan ragaku sudah lelah menghadapi mereka. Lebih baik aku fokus untuk mencari cara agar bisa lari dari tempat memuakkan ini.
Namun, kenyataan berkata lain, sesampainya di depan ruang bersalin, aku melihat hal yang membuat lidahku kelu seketika. Aku harus menunda kepulanganku karena bayi yang dilahirkan oleh Viona mengalami masalah. Sedangkan Viona mengalami pendarahan dan masih ditangani. Apakah ini karma? Hatiku tentu menduga demikian.
Mas Pandu tergugu di depan pintu. Dokter dan perawat berlalu-lalang masuk ke ruangan NICU yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Miranti dan yang lainnya pun tersedu di dekat Mas Pandu. Suasana terlihat begitu menegangkan sekaligus mengharu biru.
Harusnya aku senang, melihat lawanku kelimpungan. Tapi, nyatanya sebaliknya. Hatiku ikut sesak kala kulihat bayi tak berdosa itu terkulai lemas, tak menangis, atau menggerakkan walau hanya jemarinya saja.
Dokter dan perawat terlihat begitu sibuk dan bekerja keras memasang berbagai alat bantu. Apakah hal buruk akan menimpa anak iru? Sontak mataku berkunang, membayangkan hal yang tak seharusnya terjadi. Ya, Allah, doaku hanya ingin terbebas dari hubungan ini, bukan untuk menyiksa anak tak berdosa yang bahkan tak bisa memilih harus dilahirkan dari rahim wanita mana.
"Maira." Suara Mas Pandu membuyarkan lamunanku. Mas Pandu berjalan cepat ke arahku, lalu memelukku erat dan tergugu di pundak yang sesungguhnya juga sangat rapuh ini. Aku hanya bisa berdiri, mematung, pikiranku melayang entah ke mana. Jika terjadi apa-apa pada bayi itu karena doa-doaku, maka aku akan sangat menyesalinya. Sungguh, aku tak menginginkan hal ini, urusanku dengan ibunya, bukan dengan anak tak berdosa ini. Yang bejat adalah Ibu dan Ayahnya bukan dia.
"Mai, anak aku, Mai ...," ujar Mas Pandu. Suaranya tak begitu jelas karena tersendat oleh isakan.
"Semua akan baik-baik saja, Mas. Tenanglah." Aku berujar, tanpa mengalihkan pandangan dari bayi yang saat ini mulai dimasukkan ke dalam inkubator dengan berbagai alat bantu entah apa terpasang di tubuh polosnya.
Saat ini yang bisa aku lakukan hanya menenangkan Mas Pandu yang terlihat begitu hancur sekaligus mendoakan dala hati bahwa semua akan baik-baik saja. Kita punya kendala, tapi Allah punya kendali. Apa aku sudah gila? Hingga hatiku terus berdoa untuknya? Tidak, hanya, nuraniku masih bekerja sebagaimana mestinya.
Beberapa saat kemudian, salah seorang perawat tampak berjalan ke arah kami, debaran jantungku semakin tak beraturan, segala pikiran berkecamuk,
Memikirkan kabar apa yang akan dia berikan.
"Mas, ada perawat," ujarku lirih. Aku mengurai pelukan Mas Pandu. Ia mengusap air mata dan bergegas
menemui perawat yang saat ini menuju ke arah kami dengan tak sabar. Aku pun mengekori.
"Gimana kondisi anak saya?" tanya Mas Pandu dengan dengan raut cemas.
"Bayi bapak masih harus diobservasi 24 jam di sana, sementara kami pasang ventilator."
"Ventilator." Lirih Mas Padu lalu menyugar rambutnya dengan kasar, seperti orang yang sedang frustasi. Ia terlihat begitu kacau.
"Apa ada kasus seperti ini sebelumnya?" tanyaku memperjelas.
"Ada, Mbak."
"Bisa tertolong, kan?" tanyaku ragu. Ia tersenyum.
"Tadi memang ada sedikit masalah di paru-parunya. Tapi kata dokter nggak perlu khawatir. Berdoa saja."
"Dia bahkan nggak nangis, Sus, gimana kami nggak khawatir?" protes Mas Pandu.
Aku menggigit bibir bawah, pikiranku sama dengan Mas Pandu. Aku tak kalah cemas, padahal dia bukan anakku, tapi rasa ibaku begitu tinggi. Apa karena baru kali ini aku melihat kelahiran seorang bayi.
"Tenang, Pak, Mbak. Anak bapak sudah ditangani dokter anak terbaik di rumah sakit ini. Oh, ya, saya ke sini juga mau menyampaikan. Silahkan bapak masuk, dokter ingin bicara pada orang tua bayi. Tapi maksimal 2 orang saja ya, yang masuk. Permisi."
Perawat tersebut pamit undur diri dan meninggalkan kami menuju ruangan lain. Dari apa yang ia sampaikan sekaligus raut wajahnya yang terlihat begitu tenang, sepertinya memang tidak akan terjadi apa-apa dengan bayi tersebut, bayi itu sudah ditangani dengan baik oleh dokter terbaik di rumah sakit ini. Syukurlah.
"Ayo, Mai, ikut masuk." Mas Pandu berseru, meraih tanganku dan mengajakku untuk segera masuk menemui dokter.
"Ndu, Mama aja yang ikut, Mama mau lihat cucu Mama." Namun, Miranti mencegah kami yang hendak melangkah pergi. Sudah kuduga. Wanita ini memang tak mau kalah dariku.
"Tapi, Ma. Maira juga ibunya...."
"Apa kamu bilang? Ibu? Mama lebih berhak, darah Mama. mengalir dalam darahnya. Wanita ini jelas tidak punya hak. Kenapa kamu utamakan? Bahkan, Viona belum sempat melihat bayinya."
"Siapa bilang? Pandu dan Viona bahkan sudah sepakat."
"Maaf, apa pendonornya sudah ada?" Perawat yang lain tiba-tiba menghampiri kami dengan tergesa. Menanyakan perihal donor darah dan perdebatan kami pun terpaksa harus dihentikan.
"Astaga, Viona...." Mas Pandu memijat keningnya.
Begitu khawatirnya ia terhadap sang bayi hingga ia lupa bahwa Viona juga sedang berjuang.
Sampai detik ini aku masih menganggap ini adalah karma.
"Saya akan cari di rumah sakit lain dan saya akan hubungi orang-orang saya."
"Tadi pihak rumah akit sudah menghubungi bank darah cuma, golongan darah AB resus positif kosong."
Aku mengernyit, AB positif? Bukankah itu sama dengan golongan darahku? Mas Pandu pun tahu akan hal itu. Lalu kenapa tidak memintaku?
"Kita butuh secepatnya karena keadaan pasien sudah sangat drop, mungkin ada keluarga atau teman yang golongan darahnya sama?" lanjut perawat.
"Keluarga Viona hanya saya, Sus, Mamanya." Kini Miranti angkat bicara dengan terus mengeluarkan air matanya. Bisa nangis nangis juga rupanya nenek-nenek ini.
Aku menghela napas. Seperti inikah jika Tuhan mulai ikut andil? Sekali bekerja, semua kelabakan. Bahkan, Miranti yang baru beberapa menit yang lalu menghinaku habis-habisan, sekarang menangis habis-habisan.
"Kami juga nggak ada yang darah AB." Mbak Rani berseru.
Mas Pandu lalu merogoh ponsel dari dalam saku, ia segera menghubungi seseorang entah siapa. Ia terus
menghubungi, namun, dari yang aku dengar, tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Wajah Mas Pandu terlihat begitu sendu sekaligus kacau, sesekali ia memukul tembok sebagai bentuk kekesalan setiap telepon berakhir gagal. Meski demikian, ia tetap tak mau meminta tolong padaku. Sengaja atau memang dia sudah lupa kalau golongan darah istrinya sama?
Sementara Mas Pandu dan yang lain sibuk, aku pun sibuk memikirkan cara jitu.
Perlahan kudekati wanita yang saat ini tengah tergugu di kursi tunggu. "Nyonya, apa kesombonganmu sudah tergerus oleh rasa takut kehilangan anak tersayang? Kasihan."
Ia melotot ke arahku. "Jangan berlebihan, nanti jantungan," ucapku pelan seraya tersenyum remeh. Ia pun semakin geram.
"Kurang...."
"Sttt...." Dengan cepat aku menyela, sebelum suaranya memekakkan telinga. "Saya AB positif. Mau saya bantu?" bisikku pada Miranti, Wajah yang sebelumnya terlihat begitu marah dan ingin menelanku mentah-mentah, seketika berubah pasi.
"Lihat, mereka nggak ada satu pun yang bisa menolong Anda. Menantu Anda, tidak. Besan? Apalagi. Dua orang itu? Mana mungkin." Aku menutup mulut, menahan agar tawaku tak keluar dan didengar oleh yang lain.
Ia terdiam cukup lama.
"Mai, tolong anak Tante." Akhirnya, suara itu keluar dengan nada bergetar. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Aku pun tersenyum menang.
"Mintalah maaf pada saya dan ikuti semua permintaan saya. Tapi, jangan pernah mempermainkan atau membohongi saya," ujarku dengan suara pelan agar tak ada yang bisa mendengar.
Mas Pandu sibuk, ibu, Mas Tama, dan Mbak Rani juga
terlihat sibuk menghubungi para kerabat mereka, sehingga aku bisa lebih leluasa, tapi harus tetap waspada.
Ia tak lantas menjawab, ia terlihat mematung.
Mungkin takut dengan apa yang akan aku lakukan setelah ini.
"Gimana? Setelah ini saya mau pulang, lo. Mau nggak?
Sebelum saya berubah pikiran?" desakku.
Detik berselang, Ia pun menganggukkan kepalanya pelan. "Maaf."
"Bagus. Oke."
"Mas, darahku dan darah Viona sama, aku akan mendonorkan untuknya," celetukku tak mau membuang banyak waktu.
Mas Pandu menoleh ke arahku, tak terkecuali ketiga keluarga yang dulu dekat dengaanku namun sekarang merenggang itu.
Aku berjalan mendekati Mas Pandu.
"Mai, Mas nggak mau kamu...."
"Pandu, Viona sedang sekarat, jangan terlalu banyak berpikir." Ibu mertuaku kini menyela. Tampaknya dia sangat bahagia dengan berita ini.
"Tapi, Bu, Maira akan ...."
"Nggak, Mas, aku nggak keberatan dan nggak akan terluka. Aku masih punya hati, nggak mungkin membiarkan Viona mati," ujarku tanpa mengalihkan pandang dari Miranti yang kini mulai tertunduk dalam. Senyumku pun mengembang melihat Miranti yang sebentar lagi akan menerima balasan atas semua perkataan buruknya terhadapku. Ya, siapa tahu juga aku bisa memanfaatkan Miranti untuk membantuku lari dari tempat ini. Kalaupun tidak, setidaknya setidaknya dia tahu siapa ratu dan siapa babu.
"Sus, saya yang akan donor. Kamu nemuin dokter anak kamu aja, Mas. Sepertinya mereka sudah menunggu di dalam," ucapku mengingatkan. Sebab, kulihat sekilas dokter sudah hampir keluar ruangan NICU.
"Mari," kata perawat mempersilahkan aku untuk mengikuti, aku tersenyum meninggalkan mereka yang terlihat mematung. Tampaknya, permainan akan semakin menyenangkan setelah ini. Lihat apa yang akan aku lakukan Miranti. Kata-kata pedasmu menusuk ke ulu hati ini dan aku akan menusuk jantungmu hingga kau tahu rasanya mati membawa hati yang tak utuh lagi.