Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Setelah kepergian Tiyas, Rizal kembali mengajak istrinya untuk makan.
Rizal menenangkan istrinya yang masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh Tiyas.
"Mas, aku tidak merebut kamu. A-aku...,"
Rizal tersenyum tipis dan memeluk tubuh istrinya.
Rizal menarik Hayu kembali ke meja makan, memeluknya erat sejenak untuk menenangkan gemetar di tubuh istrinya.
Ia mengangkat dagu Hayu lembut, menyeka sisa air mata di pipi Hayu dengan ibu jarinya.
"Sstt, Sayang. Jangan ulangi kata-kata itu lagi. Kamu tidak merebut siapa-siapa. Aku yang memilihmu. Aku yang melamarmu di saat terberatku. Tiyas yang pergi, Tiyas yang mengkhianati, dan Tiyas yang menghancurkan pernikahannya sendiri. Kamu adalah istri sahku, Ratu di rumah ini. Apa pun yang dia katakan tidak akan pernah mengubah kenyataan itu."
Hayu memeluk pinggang suaminya, mencari ketenangan di dada bidang Rizal.
"Aku hanya takut, Mas. Aku takut dia akan mengganggumu lagi."
"Dia tidak akan bisa. Aku sudah putuskan semua jalur komunikasi dengannya, dan jalur hukum sedang berjalan. Sekarang, tugas kita adalah fokus pada kebahagiaan kita. Lupakan Tiyas, ya? Masakan Cumi Asam Manismu terlalu enak untuk dilewatkan hanya karena wanita yang tidak tahu diri," goda Rizal, berusaha mencairkan suasana.
Hayu tersenyum tipis dan merasa lebih tenang setelah mendengar ketegasan suaminya.
Ia mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Rizal pun duduk di sampingnya, bukan lagi di seberang, menunjukkan keintiman baru mereka.
Mereka melanjutkan sarapan, meskipun aura tegang dari insiden Tiyas masih terasa. Rizal terus menyuapi Hayu, memastikan istrinya menghabiskan makanannya.
Selesai sarapan Hayu mengambil piring kotor dan membawanya ke belakang.
Setelah piring-piring dibersihkan dan suasana hati Hayu sedikit membaik, Rizal menggandeng tangan istrinya menuju sofa di ruang tamu yang sudah kembali rapi.
Rizal menarik Hayu untuk duduk di sofa ruang tamu.
Ia memeluk Hayu, membiarkan istrinya bersandar di dadanya, mencium puncak kepala Hayu yang masih harum aroma sampo.
"Aku senang melihat kamu kembali tenang, Sayang. Jangan biarkan insiden kecil itu merusak hari pertama kita sebagai suami istri," ujar Rizal lembut.
Hayu mendongak, menatap suaminya dengan mata berbinar penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih, Mas. Aku merasa sangat aman bersamamu."
Rizal tersenyum ke arah istrinya, ia melepaskan pelukan sejenak, merogoh saku jas yang tergeletak di sandaran sofa, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal yang disegel.
"Aku punya satu kejutan kecil untukmu," ucap Rizal, menyodorkan amplop itu ke tangan Hayu.
Hayu menatap amplop itu dengan wajah kebingungan.
"Kejutan apa, Mas?"
"Buka saja, Sayang."
Dengan perasaan penasaran, Hayu merobek segel amplop itu dengan hati-hati.
Ia mengeluarkan isinya: sepasang tiket pesawat dengan kertas boarding pass yang elegan.
Hayu membaca tujuan yang tertulis di tiket itu: Bali.
Matanya langsung membelalak kaget, lalu beralih menatap Rizal.
"Mas, ini tiket ke Bali?" tanya Hayu.
Rizal menganggukkan kepalanya dengan senyumnya mengembang puas melihat ekspresi istrinya.
"Ya, Sayang. Tiket bulan madu kita. Aku sudah merencanakan ini sejak aku melamarmu. Aku ingin kita meninggalkan semua kenangan buruk di sini sejenak dan benar-benar fokus pada awal baru kita."
Hayu menatap tanggal keberangkatan yang tercetak di tiket.
"Tapi, Mas, tanggalnya?"
"Sekarang," potong Rizal.
"Sekarang? Mas, tapi kita belum menyiapkan apa-apa! Koper, baju..."
Rizal tertawa kecil, meraih tangan Hayu dan menciumnya.
"Tenang, Ratu-ku. Semuanya sudah diurus. Riska, sekretarisku yang ajaib itu, sudah menyiapkan koper kita di bagasi mobil. Pakaian dan kebutuhanmu sudah lengkap, aku minta Desi (WO) untuk membelikannya kemarin. Kita hanya perlu mengambil koper dan langsung berangkat."
Ia menatap Hayu dan memintanya untuk kembali duduk.
"Kita akan menghabiskan seminggu di vila pribadi di Uluwatu. Tidak ada pekerjaan, tidak ada panggilan telepon, dan yang paling penting, tidak ada Tiyas. Hanya ada aku, dan istri baruku."
Mendengar semua kepastian dan ketulusan itu, rasa lelah dan cemas Hayu langsung lenyap digantikan oleh kebahagiaan yang meluap-luap.
Ia tahu Rizal melakukan ini untuk melindunginya dan memastikan mereka benar-benar bisa memulai segalanya dari nol.
Tanpa berpikir panjang, Hayu menjatuhkan tiket dan amplop itu ke sofa.
Ia langsung menerjang tubuh Rizal, memeluk suaminya dengan erat dan penuh syukur.
"Ya ampun, Mas! Terima kasih! Ini kejutan terbaik yang pernah ada!" seru Hayu.
Rizal membalas pelukan itu tak kalah erat.
"Apapun untuk istriku, Sayang. Kamu pantas mendapatkannya."
Hayu mendongak, menatap bibir suaminya. Dorongan rasa cinta dan syukur yang membuncah membuatnya tak ragu.
Ia menangkup wajah Rizal dengan kedua tangan, mencium bibir suaminya dengan lembut namun penuh gairah.
Ciuman itu adalah ciuman pertama yang sepenuhnya diinisiasi oleh Hayu.
Rizal terkejut sesaat, namun kemudian membalas ciuman Hayu dengan kelembutan yang lebih dalam dan penuh penghormatan, membiarkan ciuman itu menjadi penanda pasti bahwa babak baru kebahagiaan mereka telah dimulai.
"Ayo, Sayang. Pesawat kita menunggu," bisik Rizal setelah ciuman mereka mereda.
"Ayo, Mas!"
Hayu mengambil tasnya dan ia juga mengambil tas dan jaket suaminya.
Setelah mengunci pintu rumah, mereka berdua masuk kedalam mobil.
Segera Rizal melajukan mobilnya menuju ke bandara.
Di sisinya, Hayu tersenyum bahagia, memegang erat tiket pesawat di tangannya.
Mobil itu terasa penuh dengan aura kebahagiaan yang kontras dengan suasana tegang yang baru saja mereka lewati.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, semua berjalan mulus.
Rizal dan Hayu tidak perlu repot mengurus apa pun.
Riska benar-benar telah menyiapkan segalanya dengan sempurna, mulai dari koper yang sudah terdaftar, jalur fast track, hingga boarding pass yang sudah dicetak.
"Mas Rizal, Riska benar-benar luar biasa," puji Hayu saat mereka berjalan santai menuju ruang tunggu eksekutif.
"Aku tahu, Sayang. Dia sekretarisku yang sangat kompeten. Dia tahu aku tidak mau ada gangguan sedikit pun di awal pernikahan kita," jawab Rizal sambil menggenggam tangan Hayu erat-erat.
Mereka duduk bersantai di ruang tunggu yang mewah.
Rizal memesankan jus buah segar untuk Hayu dan kopi tanpa gula untuk dirinya sendiri.
"Mas, apa tidak apa-apa meninggalkan rumah begitu saja? Maksudku, pekerjaan dan pertemuan dengan klien" tanya Hayu dengan wajah sedikit cemas.
"Sayang, pekerjaan bisa menunggu. Aku Direktur, bukan karyawan biasa. Dan untuk rumah, aku sudah meminta petugas keamanan untuk mengunci semua gerbang dan memastikan tidak ada siapa-siapa yang bisa masuk, terutama Tiyas. Selama seminggu ini, hanya ada kita."
Hayu tersenyum lega saat mendengar perkataan dari suaminya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk berdampingan di kursi kelas bisnis.
Hayu menatap ke luar jendela, melihat awan putih yang luas, melambangkan harapan baru yang kini ia rasakan.
"Aku tidak pernah membayangkan akan merasakan ini, Mas," bisik Hayu.
Rizal meraih tangan Hayu dan mencium punggung tangannya.
"Ini adalah awal dari semua yang pantas kamu dapatkan, Sayang. Percayalah, ini baru permulaan."
Rizal meminta agar istrinya menyandarkan kepalanya di bahu Rizal.
"Tidurlah dulu, sayang. Nanti Aku akan membangunkanmu." ucap Rizal.
Hayu menganggukkan kepalanya dan langsung memejamkan matanya.
Rizal mencium punggung tangan istrinya yang sudah tertidur.
Detik detik demi berganti dan tiga jam kemudian, pesawat mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.
"Sayang, ayo bangun. Kita sudah sampai." ucap Rizal.
Hayu membuka matanya dan melihat suaminya yang tersenyum kearahnya.
Kemudian Riza menggenggam tangan istrinya dan mengajaknya keluar dari pesawat.
Di luar gerbang kedatangan, seorang sopir berpakaian tradisional Bali telah menunggu, memegang papan nama bertuliskan "Mr. & Mrs. Rizal F."
Mereka langsung dibawa menuju Uluwatu, tempat di mana vila pribadi mereka telah disiapkan.
Perjalanan itu melewati jalanan yang berkelok, menyuguhkan pemandangan tebing kapur yang sangat menakjubkan.
Tepat saat matahari mulai condong ke barat, mobil berhenti di depan gerbang kayu ukir yang besar.
Ketika gerbang terbuka, Hayu menahan napasnya .
Ia melihat bangunan minimalis dengan atap alang-alang yang luas, dikelilingi taman tropis yang rimbun, dan yang paling memukau adalah kolam renang tak bertepi (infinity pool) yang seolah menyatu langsung dengan lautan di bawahnya.
Seorang butler menyambut mereka dengan senyum ramah dan segelas minuman selamat datang.
"Selamat datang, Bapak dan Ibu Rizal. Semua sudah siap," sapa butler itu.
Rizal tersenyum ke arah Hayu, yang matanya masih terpaku pada pemandangan spektakuler di depan mereka.
"Lihatlah, Sayang. Ini adalah tempat kita untuk melupakan segalanya," bisik Rizal, merangkul pinggang Hayu.
Mereka dibawa ke kamar utama. Kamar itu memiliki dinding kaca penuh yang menghadap langsung ke lautan, sebuah ranjang besar dengan kanopi putih, dan kamar mandi marmer mewah.
Di atas ranjang, kelopak mawar kembali tertata rapi, dan sebotol champagne diletakkan di meja samping.
Hayu berjalan ke teras, berdiri di tepi infinity pool. Angin laut menerpa wajahnya, membawakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Rizal mendekat dan memeluk tubuh istrinya dari belakang.
"Bagaimana? Kamu suka?"
"Sangat suka, Mas. Ini terlalu indah," jawab Hayu, suaranya bergetar haru.
Rizal membalikkan tubuh Hayu, menatapnya dalam-dalam.
"Tidak ada yang terlalu indah untuk istriku. Sekarang, mari kita tinggalkan pakaian formal itu. Aku sudah tidak sabar untuk memulai liburan ini."
Rizal membopong tubuh istrinya dan membawanya ke kamar mandi.