NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:697
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Laboratorium Vincent

Part 24

Mobil melaju perlahan di jalanan retak yang dikelilingi semak liar, sementara layar navigasi digital di dashboard memancarkan cahaya biru pucat. Mirai menatap petunjuk arah dengan seksama, hingga sebuah ikon bangunan kecil muncul disertai tulisan samar: Sunset Motel - 2 km. Tak butuh waktu lama, bangunan tua dua lantai dengan papan nama berkarat itu muncul di balik rerimbunan pohon. Meski tampak usang, pintunya masih utuh dan parkirannya kosong. "Kayaknya cukup aman untuk sementara," gumam Nero seraya mematikan mesin. "Kamu tunggu sini, aku cek dulu. Oke?"

"Inget, ya. Kalo ada zombie kita kabur aja. Gak usah dilawan."

Nero hanya tersenyum menyetujui tak mau mendebat kekhawatiran Mirai. Sepuluh menit kemudian lampu papan nama berkedip, menyala, lantas mati setelah muncul percikan api. Tak lama Nero kembali dan memberi tahu kalau semua ruang dalam area motel aman. Begitu pula dengan fasilitasnya. Hanya tinggal menyalakan listrik dari generator yang sudah dilakukannya tadi.

Sesudah mengambil dua tas ransel dari bagasi, Nero menuntun Mirai ke lantai dua. Di jarinya menggantung master key. Dari sepuluh kamar yang diperiksa, hanya ada satu kamar yang layak huni, berada paling ujung seolah belum sempat terpakai oleh tamu. Kamar itu hanya berisi ranjang queen-size berseprai kusam, lemari kecil, dan meja rias berdebu.

Tidur seruangan bahkan seranjang adalah hal yang biasa buat mereka. Tetapi entah mengapa kali ini terasa agak canggung. Mungkin karena ini motel, bukan gudang, rumah, tenda atau toko seperti yang sudah-sudah. Cukup lama Mirai terpaku menatap ranjang.

"Kalo gak nyaman, aku bisa tidur di sofa," ucap Nero.

"Eh! Bu-bukan itu. Cuma ... udah lama banget gak tidur di kasur. Selama ini kita lebih sering tidur di tumpukan kardus. Lagian apa-apaan kamu tidur di sofa, status kamu masih pasien ya!"

Nero meringis. "Iyaaa, Bu Dokteeer." Mirai hanya cemberut menanggapinya. "Aku cari sprei sama handuk bersih di laundry room. Kamu mandi aja dulu sekalian cek airnya ngalir gak."

"Okeh."

Malam itu terasa berbeda.

Air mengalir hangat, menenangkan otot-otot tegang yang sekian lama tak diberi kesempatan istirahat layak. Setelah mandi, Mirai mengenakan kaos longgar dan menyusul Nero yang tengah memasang sprei bersih di ranjang. Aroma sabun murah dari handuk motel justru memberi kesan nostalgik, seperti ingatan samar dari dunia lama, dunia yang tenang.

Lampu kamar diredupkan. Hanya cahaya dari lampu tidur di meja rias yang menyala, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin malam tak terdengar, tak ada lolongan zombie, tak ada suara alarm, tak ada detak cemas di dada.

Untuk pertama kalinya, dunia memberi mereka jeda.

Nero tertidur lebih dulu, wajahnya tenang, dadanya naik turun perlahan. Mirai duduk bersila di tepi ranjang, memandangi sosok yang selama ini selalu berdiri di antara dirinya dan kematian. Ia tak berkata apa-apa, hanya menunduk, lalu perlahan berbaring di samping Nero.

Tak ada percakapan, tak ada janji. Hanya kehangatan senyap yang menyelimuti malam itu. Untuk pertama kalinya, mereka beristirahat bukan sebagai pejuang, tapi sebagai manusia.

Paginya Nero terbangun lebih dulu. Dibuka sedikit tirai jendela sambil mengamati jalan. Masih sunyi tak ada tanda gerakan kecuali suara burung parkit yang berterbangan. Sesekali rasa nyeri luka di bahu kanannya sedikit mengganggu. Matanya beralih pada mobil yang sedang mengisi daya di parkiran motel. Itu mobil guna banget navigasinya. Apa gue keliling liat situasi kota. Kali aja ada petunjuk lagi.

Pagi itu saat sarapan mie instan dan secangkir kopi di kantin motel, Nero mengutarakan niatnya untuk sekadar berkeliling melihat situasi menggunakan mobil seorang diri.

"Sendirian?" ulang Mirai dengan nada tidak senang.

"Iya. Sebentar aja. Cuma cek dua kilometer. Cek ombak buat jalur keluar kota. Lagian kita gak mungkin terlalu lama di sini."

Mirai sempat terdiam dan menduga kalau Nero hanya ingin berjalan-jalan dengan mobil itu. "Okey. Setengah jam aja."

Itu lebih dari cukup. Tapi sebelum berangkat Mirai mengecek kondisi luka bahunya terlebih dulu dan mengganti perban. Selama itu Nero mewanti-wanti Mirai agar tetap berada di kamar saja.

Nero menyusuri jalur sempit di antara reruntuhan, sementara layar transparan di dashboard menampilkan peta tiga dimensi dengan radius pemindaian 500 meter. Bio-radar kendaraan itu secara berkala memancarkan denyut cahaya biru, memindai keberadaan makhluk hidup di sekitarnya. Hingga ia menempuh jarak dua kilometer penuh, layar tetap bersih, tak ada tanda-tanda zombie atau aktivitas biologis lain, hanya bayangan angin yang menari di antara bangunan kosong.

Nero menghentikan mobil di bawah rimbunnya pohon tua, menatap layar navigasi yang menampilkan simbol berbentuk tabung reaksi-ikon laboratorium. Lokasinya cukup jauh, terletak lebih dari dua puluh kilometer dari titik mereka sekarang, tersembunyi di antara reruntuhan kawasan industri. Sekilas, hasrat untuk meluncur ke sana berkobar. Barangkali ada petunjuk, atau bahkan persediaan penting yang bisa menyelamatkan. Tapi tatapan Mirai yang tertanam kuat di benaknya menahan langkahnya. Besok akan ia lanjutkan setelah meminta tambahan waktu.

Hari berikutnya perdebatan kecil yang tidak diharapkan pun terjadi, namun Nero berhasil meyakinkan Mirai bahwa ia hanya memantau kondisi jalan dan tidak mengungkapkan misi yang sebenarnya. Gadis itu merengut marah.

"Terserah! Lakukan aja apa yang kamu mau! Kamu mana pernah dengerin kata-kata aku!" tandasnya.

Nero menghela napas pendek. "Aku janji bakal balik dua jam lagi," ucapnya lembut namun dihiraukan. Ia pun pamit dan pergi.

Di balik tirai jendela kamar, Mirai hanya menatap kesal bercampur sedih saat melihat mobil hitam itu melaju keluar dari halaman motel. Matanya menatap langit gelap di ujung cakrawala, sepertinya hujan akan turun siang ini. Entah mengapa perasaannya terasa tidak mengenakkan. Ia harap Nero menepati janjinya.

Nero mengemudikan mobil dengan kecepatan lambat, mata terpaku pada bio-radar di dashboard yang terus-menerus memunculkan titik-titik merah-indikasi aktivitas makhluk hidup di sekitar laboratorium. Beberapa kali ia terpaksa mengubah rute, memutar arah, dan mengambil jalur alternatif karena radar menunjukkan gerakan mencurigakan terlalu dekat di jalur utama. Meski jaraknya tak jauh, ia harus berputar-putar di antara bangunan runtuh dan jalanan terblokir, membuat perjalanan terasa jauh lebih panjang dan menegangkan dari seharusnya.

Bahkan hanya untuk mendekati wilayah sekitar laboratorium ia terpaksa mengabaikan janjinya. Langit semakin gelap karena awan mendung pada pukul empat sore saat Nero berhasil mendekat. Mobil itu berhenti di area perkantoran, gedung-gedung melebihi lima lantai mendominasi namun dalam keadaan yang mengenaskan. Sebagian hancur dan runtuh seolah pernah terjadi peperangan di sini.

Rahangnya mengeras kala menghadapi kenyataan yang menyebalkan. Bio radarnya menunjukkan banyaknya aktifitas di dalam laboratorium. Nero yakin mereka bukan manusia karena arah gerakan mereka abnormal. Bibirnya terkatup rapat, kesal karena tidak bisa menyusup ke dalam sana untuk mencari informasi. Kalo maksain sama aja nganter nyawa. Ah, susah bener. Gue yakin ada petunjuk di sana! Tapi gimana caranya masuk? Napasnya terhela panjang. Balik aja dulu deh, pikirin ntar.

Ketika akan memutar mobil, sesuatu hal di luar nalar terjadi. Mobilnya bergetar diiringi suara langkah berdebum yang cukup besar.

Gempa?!

Bukan. Sesosok zombie berukuran tiga lantai muncul dari balik gedung yang runtuh separuh. Di tangannya tergenggam tubuh zombie lain berukuran normal yang tinggal separuh. Sisa kepala hingga badan itu sedang menggeliat, meronta seolah ingin lepas dari cengkeraman.

Sontak Nero mematikan mesin mobil. Napasnya tertahan, meyakinkan dirinya sendiri bahwa kaca mobil ini cukup gelap menyamarkan keberadaannya. Jantungnya berdebar keras. Entah mengapa Nero merasa familiar akan sosok zombie tersebut. Eh! Itu zombie level 20 yang mesti di reli!

Tetiba hujan turun begitu deras. Dan zombie raksasa itu terdiam dari aktifitas mengunyah zombie di tangannya. Nero terpaksa menunggu sampai makhluk itu pergi. Terlalu beresiko jika ia kabur sekarang. Takut zombie itu mengejarnya dan malah menuntunnya ke arah motel. Suara bisingnya nanti pasti akan menarik perhatian zombie lain.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!