Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BADMOOD
"Maaf, za, aku belum sempat pamit padamu tapi aku ada urusan sebentar di universitas dan akan kembali sebelum kita pergi ke Mekkah."
Adza menatap ponselnya yang menampilkan pesan dari Azka. Sejak bangun pria itu seolah sudah menghindarinya, seperti tak mau dekat-dekat dengannya dan itu membuat adza sedikit heran dan juga agak tidak nyaman.
Namun, mau bagaimana lagi? Azka sudah pergi setelah mereka selesai shalat subuh di masjid Nabawi. Dia bangun tadi Azka sudah selesai mandi dan berpakaian makanya adza tak sempat melihat wajah pria itu ketika bangun.
"Huft, tidak apa-apa." adza menghela napasnya dan memakai sepatu. "Makan pagi ini di mana, ya?"
Entah mengapa secara sadar atau tidak, adza merasa semangatnya sedikit hilang hanya karena Azka pergi tanpa izin secara langsung darinya dan hanya menggunakan pesan untuk pamit.
Padahal tadi malam mereka seperti sudah dekat dan mau bicara segala macam yang ditanyakan dan itu bisa dikatakan seperti pendekatan, tapi pagi ini pria itu seperti membuat kejutan padanya dan adza tak percaya dia pergi tanpa pamit secara langsung.
Walaupun pernikahan ini dilakukan tanpa ada rencana dari jauh-jauh hari, tapi tidak bisakah Azka meminta izin padanya layaknya seorang suami?
"Kenapa masih ada disini?"
adza mendongak lalu memalingkan wajahnya saat tahu kalau itu Faiz. Dia ada di depan pintu kamarnya saat ini dan berniat keluar setelah dia tadi masuk lagi untuk mengambil ponsel, karena dia sengaja tidak membawa ponselnya ketika shalat subuh.
"Saya sudah mau turun kok," ujarnya seraya berdiri setelah memakai sepatu.
Faiz menatapnya yang sudah membenahi tas lalu berjalan lebih dulu tanpa basa-basi. Faiz yang sengaja naik karena tidak melihat di rombongan keluarganya, akhirnya berjalan mengikuti adza yang sudah masuk lift hingga gadis itu agak menyingkir ke samping.
"Kamu adalah adik ipar saya, kenapa seperti sengaja menyingkir begitu?"
adza menatapnya lalu memalingkan wajah. Dia sudah tahu kalau pria ini agak aneh, makanya dia tidak mau bicara dengannya dan mengabaikannya saja tanpa peduli.
"Apakah kamu mulai tahu bagaimana sikap Azka yang sedikit cuek? Dia bahkan pergi ke universitas tanpa izin-"
"Dia izin," sela adza dengan suara serius. "Kata siapa dia tidak izin?"
Faiz mengerutkan dahinya mendengar itu. "Dia saja berjalan keluar saat kamu belum masuk kamar. Bagaimana bisa kamu mengatakan dia izin?" tanyanya membuat adza tersenyum kecil.
"Kenapa seorang Gus yang saya kira terhormat sangat suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain?" tanyanya membuat Faiz tertampar telak.
"Hargai privasi orang lain dan tidak usah terlalu banyak komentar. Saya bersikap tidak sopan karena Gus duluan yang bersikap seperti ini, saya tidak tahu apa sebenarnya niatan Gus makanya terus berusaha mengadu domba saya dengan suami saya yang notabene-nya adalah adik Gus sendiri. Sikap Gus ini sangat tidak dibenarkan karena sudah melewati batas."
Faiz memejamkan matanya lalu tersenyum.
"Saya tidak peduli dengan apa tanggapan kamu pada saya. Saya sudah memintamu untuk berpikir lagi agar tidak menikah dengannya, tapi kamu tidak peduli sama sekali dengan apa yang saya katakan. Maka dari itu, selama kamu dan Azka tidak bersama, saya akan menggunakan kesempatan ini untuk berusaha mengambilmu darinya," jawabnya enteng membuat adza menggeleng pelan.
"Astaghfirullahal'adzim, apakah Gus sadar dengan apa yang sudah Gus katakan? Sadar dengan apa yang Gus lakukan dosa?" tanya adza tak percaya.
Bahkan dia sampai berhenti ketika sudah melangkah keluar dari dalam lift hanya untuk memperjelas apa yang dikatakan pria ini.
"Sadar, tapi bagi saya saya tidak bersalah. Bukankah seseorang boleh memperjuangkan cinta dan perasaannya?"
Adza tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria ini. "Demi Allah, Gus ternyata orang seperti ini," ujarnya tak percaya dan juga ilfeel.
"Segala puji bagi Allah dan segala petunjuk-Nya, karena saya diminta untuk menerima lamaran Gus Azka sehingga terhindar dari laki-laki seperti Gus."
Wajah Faiz memerah mendengar ucapan itu. "Kamu-"
"Malulah, Gus. Di negeri tempat Rasulullah hijrah, wafat dan dimakamkan, bagaimana bisa Gus tidak mampu menjaga hati dan perkataan? Saya yang mendengarnya saja malu," ujarnya lagi membuat Faiz terdiam.
Dia menatap wajah adza yang tampak kesal sebelum berjalan pergi meninggalkannya. Dia mengusap wajahnya dan terlihat menarik napas, sebelum akhirnya dia menatap kepergian adza yang sudah menjauh.
"Benar-benar keras kepala. Apa sih bagusnya Azka itu sampai kamu harus terus membelanya?" tanyanya kesal.
"Memangnya aku kurang apa dari Azka? Dia hanya belum melihat kekurangan pria itu. Memakai masker benar dia tampan, kalau tidak pakai kamu akan tahu sendiri bagaimana wajahnya. Aku hanya sedang membantumu agar kedepannya tidak menyesal."
Faiz seolah masuk ke dalam lingkup obsesi, terlihat sangat kesal dengan pilihan adza yang tak sesuai dengan keinginan hatinya.
Sementara itu adza makan tanpa semangat sama sekali. Perasaannya sempat berantakan dan dia terlihat seperti orang yang tidak bisa berpikir lain selain bingung dan gelisah.
Setelah makan pagi, adza memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar masjid untuk menenangkan dirinya. Dia menatap wajah orang-orang yang ada disana, lalu duduk di salah satu sisi masjid. Gadis itu sudah biasa dengan kesendirian, tapi kali ini perasaannya seperti berantakan saat Azka pergi begitu saja dan Faiz yang membuatnya semakin badmood.
Rahman yang mencari keberadaannya, akhirnya menemukan sang majikan yang sedang duduk sendirian. Dia berjalan mendekati adza yang sedang diam disana seperti menahan rasa sedih.
"Nona ..."
adza menoleh dan menemukan Rahman mendekatinya. Dia sedang malas bicara saat ini tapi kedatangan Rahman cukup membuatnya merasa lebih baik.
"Apartemen saya sudah siap ditempati 'kan, Pak?" tanyanya membuat Rahman tersenyum dan mengangguk.
"Ya, sudah Nona. Bahkan sesuai dengan permintaan Anda, kami juga sudah memindahkan banyak barang-barang berharga dan menjaga apartemen itu dua puluh empat jam. Nanti kami juga akan menjaga Nona disana dan itu penting karena Nona adalah pemilik perusahaan."
adza mengangguk lalu menghela napasnya. "Saya akan di apartemen dan tinggal di sana setelah lulus nanti."
"Tidak ada niatan untuk tinggal di rumah Kyai?"
Adza menggeleng pelan. "Saya hanya seorang istri dan tidak ada suami di sana. Saya malas dan lebih memilih untuk tinggal di tempat yang sendiri dan sepi. Kalau di rumah mertua maka harus menyesuaikan diri, lalu melihat pesantren tiap hari yang di mana belum tentu banyak orang yang suka dengan saya nasab saya sudah terputus dan tidak ada lagi, saya malas mendengar ucapan orang-orang kenapa bisa menikah dengan Gus," ujarnya membuat Rahman mengangguk paham.
Dia menatap wajah adza yang terlihat tak bersemangat, hingga dia menunduk sendiri.
"Nona tidak bahagia dengan pernikahan ini?" tanyanya sopan membuat adza menghela napas.
"Wajah Nona tertekuk terus sejak tadi." adza menggeleng. "Saya baik-baik saja, lebih tepatnya mencoba untuk baik-baik saja. Entahlah, saya agak badmood sedikit, mungkin setelah ini akan membaik."
Ayo! Jangan sedih lagi. Cepat atau lambat bahagia sedang menantimu di depan.